Perihal Satu Nyawa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Songlit: Sebujur Bangkai
Penulis: kiki_TaU

Tidak ku sangka langit bertabur cahaya menyinari pelupuk mataku. Menyilaukan pandangan menjadi gelap sesaat. Mengingatkanku pada sebuah diafragma yang tidak lagi berfungsi mengambil napas.

Waktu itu, dia memanggilku untuk sesuatu yang menyebalkan. Memperlihatkan segala kekayaan, taburan kebahagiaan yang dia miliki.

Dia bilang sesuatu yang dia dapat adalah kerja. Aku tertawakan dia sejenak. Dia fikir tidak ada campur tangan tuhan? Hingga sebuah pulpen yang kupegang menuliskan sebujur kalimat fana.

Sejenak hatiku menjadi ngilu mendera sejagat pikirian yang mengambang. Tidak bisa kulupakan kejadian yang merenggut separuh nyawaku.

Waktu yang telah lalu, dia duduk di taman dekat orang berlalu lalang dengan kendaraan. Duduk di bangku dengan pena dan buku catatan.

"Hey Res," panggilku.

Dia menoleh memamerkan keterbingungannya. Aku berkerut dahi sesaat sebelum duduk tepat di sampingnya.

"Kamu tahu, Res?" Aku memegangi kepalaku dengan kedua tangan. Sikuku hampir menyentuh rambut kilaunya. Bersender di bangku itu dan memandang langit.

Dia tidak menggubris seakan atmosfernya perlu ditanyakan.

"Res. Aku sedang bicara denganmu." Dengan nada kesal aku memerintahkan hatiku agar lebih bersabar.

Dia semakin diam dengan kesibukkan mencatat sesuatu di bukunya. Perasanku agak kacau balau.

"Aku suka kamu Res. Aku mencintaimu." Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Menolehpun dia enggan.

"Res! Aku serius," kataku sebelum menutup buku catatan yang dia pegang dengan tanganku.

Dia tersenyum bahagia lalu memegang tanganku. Dia menjauhkan tangan ini agar dia dapat melanjutkan sebuah catatannya.

Aku menunggunya sejenak. Mencoba menceritakan semua perasaan ini hingga muncul benih-benih cinta. Termasuk perkataan arogannya terhadapku dulu. Cacian memang, tapi sekarang dia telah beda. Aku mencintainya dengan sepenuh hati.

Beberapa menit aku lalui untuk menceritakan semua kekacauan hati yang dia lakukan terhadapku. Mengapa aku jatuh cinta  sampai aku menginginkan dia sebagai pasangan hidupku.

"Aku mencintaimu. Aku yakin dapat membahagiakanmu. Aku ingin kita menikah," ucapku.

Tolong jangan membuatku dalam keadaan bingung. Dia diam seakan kehadiranku tidak pernah ada. Saat ini aku memang belum mapan. Tapi percayalah aku akan berjuang menghidupinya.

"Resya!" panggilku keras.

Sebegitu berhargakah buku itu? Hingga aku tidak di perdulikan.

Aku mengambil pena miliknya lalu melempar sembarang arah.

"Ku mohon. Aku tahu aku sering bercanda denganmu. Tapi perasaanku ini sebuah keseriusan. Ku mohon jangan mendiamkanku seperti ini," kataku panjang.

Aku menarik gelisah napasku yang sedikit memburu. Tatkala dia memandangku dengan intens. Senyumnya menerobos setiap inci mataku. Masuk kedalam pikiran lalu mencerna seakan sebuah tumbukkan maha dasyat. Menghancurkan berbagai pandangan buruk tentangnya. Tuhan terima kasih telah menciptakan dirinya sebagai orang yang ku kenal.

Dia berdiri memegang buku catatan itu dengan erat. Lalu melangkah ketengah jalan raya, tepat di mana aku melempar pena miliknya.

Tuhan marah padaku. Dia menghukumku terhadap ketidak sabaranku menunggu jawaban. Sebuah truk melaju menghantam tubuhnya. Badanku bergetir hebat. Buku catatan itu terlempar kehadapanku dengan bercak darah menyelimuti buku yang terbuka itu.

Tidak! Perasaanku makin hancur ketika tulisan tintah hitam dapat terbaca mataku dengan jelas. "Dava, aku sangat mencintaimu ..."

Dengan kalimat terusan yang belum sempat ia selesaikan. Mataku sembab ketika badannya yang sudah kaku tertangkap oleh padanganku dari kejauhan.

Air mataku luruh. Dengan langkah yang terbata bata aku menemui tubuhnya yang sudah tidak bernyawa. Atmosfer menjadi dingin mencengkam dengan darah darah yang menyelubungin pandanganku. Ya! Aku memeluknya dengan tangis yang tidak perlu di pertanyakan kesedihannya.

Bahkan saat pemakaman dia aku tidak berani menginjakkan kakiku di tanah di tempat di mana ia di kubur. Satu tahun sudah berlalu setelah kejadian itu menimpaku. Menyadarkan bahwa rasa sabar adalah kekuatan terbesar yang dimiliki manusia. Sabar adalah anugrah, sayangnya tidak datang padaku waktu itu.

Di sini aku sekarang berdiri. Cahaya mentari semakin menyengat tubuh milikku. Aku berjalan mencari keberadaan di mana Resya di kubur. Melalui setiap makam agar tidak menginjakknya.

Sampailah aku di pemakaman di mana dia istirahat. Jangan tanyakan air mataku saat ini. Tidak tertahankan, memporak porandakan perasaan.

"Maaf Res. Aku datang terlambat. Setelah setahun kau meninggalkanku. Aku baru sekarang berani menemuimu. Saat itu aku terlalu hancur."

Tangisku semakin pecah dengan bulir air yang semakin banyak jatuh ke tanah.

"Aku tahu kau mencintaiku Res. Aku tahu itu, jangan mentertawakanku karena menangis. Aku kuat, bahkan setelah satu tahun kau menghilang. Lebih tepatnya selamanya kau akan menghilang dari hidupku. Aku sudah mengihlaskanmu. Tapi jangan khawatir! Aku selalu menyangimu, sangat menyangimu sampai kapanpun."

Aku memngusap lembut batu nisan yang bertuliskan namanya. Kuletakkan dua tangkai mawar merah. Bunga kesukaan yang dia katakan sewaktu masih hidup.

"Sekarang Res. Aku membawakanmu dua mawar merah. Satu sebagai permintaan maafku karena aku tidak datang waktu pemakamanmu. Dan, mawar satunya lagi untuk minta maaf karena aku jatuh cinta pada seseorang. Semacam cinta padamu waktu itu. Aku tidak begitu mengenalnya memang. Tapi nanti akan ku ceritakan tentang dirinya. Sekali lagi aku ingin mengatakan jangan kewatir. Aku akan tetap mengenangmu dalam hatiku yang teramat dalam. Semoga cinta baruku tidak berujung teragis seperti dirimu dan aku. Kali ini aku akan lebih bersabar."

Duniaku seakan runtuh saat ini. Menatap tanah yang menguburnya saja aku sudah sangat merasakan kesedihan yang teramat dalam. Apalagi saat rohnya yang mendatangiku setiap malam. Tidak pernah akan hilang rasa bersalah ini.

"Maaf aku tidak bisa lama menyapamu. Kini aku sedang berkerja menjadi dokter. Seperti yang aku impikan dan aku ceritakan dulu padamu. Maaf! Nanti kalau ada waktu lagi, aku akan menjengukmu. Mungkin bersama dengan wanita baru yang membuatku jatuh seperti aku menjatuhkan hatiku dulu padamu. Kuharap kau tidak cemburu saat aku membawanya ke sini."

Aku menatap nanar langit yang seketika menjadi mendung. Seakan tahu saja perasaanku saat ini. Perasaan hancur yang sehancur-hancurnya. Aku meninggalkan gundukkan tanah yang mengubur sebujur bangkai raganya.

Aku berlari ke tempat dimana mobilku terparkir. Hujan turun sederas kesedihanku. Langit mengerti. Terima kasih tuhan.

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro