For Best Friend's Sake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Songlit: D' Paspor~Demi Sahabat
Penulis: LeeAdis_

"Key! Cepetan turun! Sarapannya udah jadi nih!" Gadis berambut sebahu bercat merah itu berseru dari ruang makan. Harum nasi goreng telur dadar merebak ke setiap sudut ruangan. Ah, Zanna memang unggul dalam hal memasak dibanding Keysa.

Tidak ada sahutan dari lantai atas. Zanna berdecak, sahabatnya itu pasti belum bangun. Bergegas ia menaiki anak tangga, jika tidak dibangunkan Keysa tidak akan bangun hingga pukul dua belas siang. Belum lagi mereka ada mata kuliah tepat pukul delapan, sedangkan saat ini menunjukkan pukul tujuh.

Zanna menerobos masuk pintu kamar Keysa yang tidak pernah dikunci. Dilihatnya sang sahabat sudah terduduk manis di depan meja rias dengan headset menyumpali telinganya. "Pantas saja," gumamnya.

Zanna menarik paksa headset Keysa. Tentu saja gadis yang sedang asyik berdendang itu kaget. "Na, apaan sih?"

"Aku panggil pantesan nggak dengar. Aku kira kamu masih tidur," omel Zanna.

Keysa nyengir kuda.

Zanna menggeleng. "Ya udah, buruan turun yuk! Keburu dingin sarapannya."

"Iya, masak nasi goreng, ya?" Keysa menebak tepat sekali.

"That's right." Zanna mengembangkan senyum manisnya, lantas bergegas keluar kamar. Keysa menyusul setelah kegiatan merias wajahnya selesai.

Setelah selesai sarapan, dua gadis cantik nan modis itu buru-buru keluar rumah. Pasalnya jarum jam menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit, sedangkan untuk sampai di kampus memerlukan waktu tiga puluh menit. Obrolan mereka saat sarapan tadi membuat waktu terbuang sia-sia.

"Jangan ngebut banget, Key," ujar Zanna ngeri. Keysa mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, berkejaran dengan waktu.

"Baca doa aja kamu biar selamat. Kita nggak boleh telat tau." Keysa mengindahkan protes Zanna. "Kamu kan tau Bu Resi itu nggak pernah main-main dengan nilai," lanjutnya sambil melirik sahabatnya sekilas.

Zanna meneguk salivanya. Entahlah, ia merasa wajahnya sudah memucat saat ini. Perasaannya tidak enak. Jantungnya berdebar tak karuan. Namun gadis bernetra hazel itu memilih bungkam. Tidak ingin konsentrasi Keysa pada kemudi terganggu yang nantinya akan membuat kesalahan yang fatal.

Lampu merah menyala, Keysa tidak sempat menginjak rem. Akhirnya sedan berwarna silver itu meluncur mulus melanggar lampu merah, dan di saat bersamaan sebuah mobil truk bermuatan penuh datang dari arah samping kiri. Klakson panjang berbunyi memekakkan telinga. Keysa ketakutan setengah mati, bahkan tanpa ia sadari kakinya menginjak rem yang menyebabkan mobilnya berhenti tepat di depan truk tersebut.

"KEYSAAA!!!!!" jerit Zanna histeris.

BRAKK!!!

Kecelakaan itu tak dapat dihindari. Truk nyaris melindas sedan mewah itu. Kerusakan cukup parah dialami mobil yang dikendarai Keysa dan Zanna, beruntung mobil tidak terlempar. Pun luka serius dialami keduanya. Sedangkan truk hanya remuk pada bagian depan, pengemudinya sama sekali tidak cidera. Hanya shock.

Kemacetan segera tercipta, para pengendara lainnya secara sukarela menolong, ada yang menelpon ambulans, ada juga yang menelpon polisi. Semua bergegas membantu korban yang terjebak di dalam mobil. Berharap mereka masih bernyawa.

***

Keysa mengerjapkan kedua matanya. Menyesuaikan dengan pencahayaan di sekitarnya yang menyilaukan. Kepalanya terasa nyeri ketika ia menoleh. Dilihatnya seorang wanita paruh baya tengah bersimpuh memanjatkan doa pada yang Maha Kuasa.

"Mama," lirih Keysa.

Wanita paruh baya yang disebut 'Mama' itu membuka kedua mata sembapnya. Sepertinya sudah berhari-hari mata sendu itu menangisi putrinya, berhari-hari bibirnya tak putus merapalkan doa demi kesembuhan putri semata wayangnya. Dan kini apakah doanya terjawab sudah? Apakah benar itu suara Keysa? Apakah dirinya tidak bermimpi?

"K-keysa? Itu kamu, Nak? Kamu udah sadar? Sayang?" Suara Desta terdengar parau. Air matanya mengalir kembali membasahi kedua pipinya. Namun kali ini tangis bahagia. Doanya didengar Tuhan.

"Zanna mana, Ma?"

Desta berjalan mendekat setelah melipat mukena asal. Tak menjawab pertanyaan putrinya. Wanita yang berusia kepala tiga itu mengelus kepala Keysa pelan. Menatap anak gadisnya sendu. Berat rasanya bibir mengatakan keadaan Zanna yang sebenarnya pada Keysa yang baru saja siuman setelah seminggu tak sadarkan diri.

"Mama, Zanna mana?" kejar Keysa. Gadis yang kepalanya dililit perban itu mengabaikan rasa nyeri yang menyerang kepala bagian belakang. Yang terpenting sekarang ia harus tahu kabar Zanna. Sahabat yang ia abaikan tegurannya hanya karena tidak ingin terlambat sampai di kampus.

Desta menggeleng prihatin. Isakannya mengeras, hingga kedua bahunya bergetar.

"Di mana Zanna, Ma? Kasih tau Key!"

"Zanna ..." Ucapan sang ibu mengambang.

"Zanna kenapa, Ma? Dia baik-baik aja, kan? Bilang aja, Ma." Keysa memburu, memaksa Desta untuk buka suara. Bahkan gadis itu meremas lengan ibunya tanpa sadar.

"Zanna ... diamputasi."

"A-a-amputasi?"

Keysa terdiam. Cengkramannya pada lengan Desta mengendur. Seketika ia kehilangan kekuatan. Netra cokelat tuanya membasah. Bibir pucatnya bergetar menahan tangis.

"Iya. Zanna mengalami remuk pada tulang tungkainya. Saat kecelakaan kaki kanannya terjepit diantara dua besi, dan tidak ada pilihan lain selain amputasi. Itu yang terbaik, Key," papar Desta. Mengelus kepala putrinya, menenangkannya.

"Ini salahku, Ma. Kalo aja aku dengarin dia, kecelakaan ini nggak bakalan terjadi. Dan Zanna ... dan Zanna nggak perlu kehilangan kakinya," ujar Keysa lirih, tangisnya pecah. Desta merasa hancur melihat anak tunggalnya seperti sekarang.

Diraihnya tubuh ramping Keysa, memeluknya erat. Mengusap pelan punggungnya. Memberikan ketenangan. Menguatkan putrinya. Ia tahu Keysa merasa sangat bersalah.

"Nggak ada yang salah. Percaya sama Mama semua akan baik-baik saja," hibur Desta.

***

Beberapa bulan setelah kecelakaan maut itu.

"Na, Na, Na!" seru Keysa dengan wajah berseri. Gadis itu mendekati Zanna yang terduduk di kursi rodanya.

"Apaan? Heboh banget."

"Aku ketemu cowok di mall tadi. Ganteng banget. Dia bantuin aku waktu dia nggak sengaja nabrak pas aku mau keluar."

"Bantuin apaan?" tanya Zanna tak tertarik.

"Pungutin barang bawaanku. Uhh, dia baik banget." Keysa merebahkan tubuhnya di sofa ruang televisi, menerawang jauh sambil mesam-mesem tidak jelas.

"Dih, lebay. Awas, baper akhirnya kecewa sendiri." Peringatan singkat namun menusuk. Keysa mendengus.

"Aku ke kamar dulu, ya," pamit Zanna sembari memutar kursi rodanya.

"Eh, sini aku anterin." Buru-buru gadis cantik itu meraih pegangan pada kursi roda, mendorongnya pelan menuju kamar Zanna. Semenjak kehilangan kaki kanannya, kamar Zanna dipindah ke lantai dasar.

"Makasih, Sayangku," ucap Zanna sambil tersenyum simpul. Ia menepuk pipi sahabatnya pelan.

Keysa menatap sedih Zanna. Perasaan bersalah itu belum juga menghilang. Apalagi jika ia melihat kaki kanan Zanna yang buntung. Berkali-kali gadis bersurai cokelat itu merutuki kebodohannya. Bertanya-tanya kenapa harus Zanna yang kehilangan kaki? Kenapa bukan ia saja?

"Jangan melihatku kayak gitu. Aku jadi merasa dikasihani tau nggak. Udah deh. Lupain. Udah lewat, kan? Toh, sekarang aku masih hidup," tutur Zanna tulus. Senyum manis terlukis di wajahnya.

"Maaf."

"Hei, kamu nangis lagi." Dengan sigap tangannya menghapus buliran kristal yang jatuh di pipi sohibnya. "Udah dong. Kamu nggak salah tau. Nggak ada yang nyalahin kamu kok. Keluarga aku juga tau itu murni kecelakaan. Jadi, berhenti merasa bersalah, Keysa." Zanna menegaskan.

Keysa menekuk wajahnya. Tidak mengiyakan, tidak juga menolak. Gadis tinggi itu malah berlari keluar kamar. Zanna tidak bisa mencegahnya. Keysa butuh waktu. Gadis yang kini menderita cacat seumur hidup itu hanya menggeleng pelan. Ia menggerakkan kursi rodanya mendekati ranjang, kemudian pelan-pelan memindahkan tubuhnya. Baru saja membaringkan tubuhnya, tiba-tiba Zanna merasakan nyeri di kaki kanannya. Ia meringis tanpa suara. Untungnya hanya sebentar.

***

"Hei! Kamu Keysa, kan?" Suara bariton yang tak asing di pendengaran Keysa menyapanya yang sedang duduk di halte menunggu angkot. Mobilnya sedang di bengkel, bannya bocor.

"Iya. Kamu ... yang waktu itu di mall?" Keysa memastikan. Takut salah orang.

Pemuda itu tersenyum lebar. "Wah, kebetulan yang menyenangkan. Kamu kuliah di sini juga? Astaga, dunia sempit sekali ternyata." Pemuda bersurai hitam pekat itu tertawa kecil. Ramah sekali. Tidak gengsi. Pantas saja Keysa langsung jatuh hati.

"Iya. Aku juga nggak tau kalo kamu kuliah di sini," ujar Keysa malu-malu.

"Sendirian aja?"

"Emang aku kelihatan sama orang lain gitu?"

"Ya nggak sih."

"Ya udah."

"Boleh aku temani?"

"Kalau nggak boleh, udah kuusir dari tadi."

Pemuda itu terkekeh. "Masih ingat namaku, kan?"

"Branden?"

Pemuda bernama Branden itu menjentikkan jarinya. "Kenalan lebih dekat, mau?"

Terdengar seperti tawaran juga meminta izin. Kedua mata cantik Keysa memicing.

Branden mengangkat kedua tangannya. "Oke, kalau nggak mau, nggak masalah."

Keysa menautkan dua alis bagusnya. "Emang aku bilang apa tadi?"

"Nggak ada."

"Terus kenapa main ambil kesimpulan sendiri?"

"Antisipasi."

Keysa menjitak kepala Branden tanpa izin. Pemuda tampan itu melotot sebagai bentuk protes. Keysa tak peduli.

"Angkotku datang. Sampai jumpa!" Keysa berdiri menyambut angkot yang datang.

"Hei, tunggu!" seru Branden seraya menyusul masuk dan duduk di sebelah Keysa tanpa izin.

"Kenapa mengikutiku?"

"Kita searah."

Keysa membulatkan mulutnya.

Keakraban mereka dari waktu ke waktu semakin terlihat. Posisi Branden yang sebagai senior di kampus Keysa pun tidak menjadi masalah keduanya. Mereka tampak seperti pasangan serasi jika sedang berjalan beriringan. Beberapa orang hanya bisa memandang iri jika sejoli itu melewati mereka.

***

"Key!" seru Zanna tergesa-gesa menghampiri Keysa yang sedang memasak di dapur.

"Ada apa? Kamu nggak apa-apa, kan?"

"Aku baik-baik aja. Aku tadi ketemu cowok baik banget."

"Oh ya? Emang kamu dari mana tadi?"

"Dari minimarket di ujung komplek."

"Jauh banget. Kenapa nggak bilang aku sih? Kan aku bisa bantu."

Zanna nyengir kuda. Memamerkan deretan giginya yang bersih dan rapi.

"Terus?" Keysa meminta Zanna melanjutkan ceritanya.

"Dia nganterin aku sampai depan pagar, malah mau ke dalam. Untung aja aku cepat nolak."

"Kenapa nggak disuruh masuk?"

"Nggak. Ntar kamu tikung. Ganteng banget habisnya," gurau Zanna seraya berlalu pergi. Tidak mengacuhkan pelototan Keysa yang seolah ingin merobek tubuhnya.

"Sempat kenalan nggak?" Pertanyaan Keysa membuat Zanna mengurungkan niatnya menuju kamar.

"Namanya Branden."

Mata Keysa membulat dengan sempurna. "Branden?" Zanna mengangguk.

"Ada yang salah?"

"No. Namanya sama dengan seniorku."

"Hah? Seriusan?"

"Iya. Astaga, saking dekatnya nama cowok pun sama persis."

Kedua mata Zanna berbinar mendengarnya.

"Dan lagi, aku jadian sama dia."

"Sama Branden seniormu?"

Keysa mengangguk-angguk senang.

"Wah, selamat! Kutunggu PJ kalian," ujar Zanna tak kalah senang.

Keysa terkekeh. "Tinggal kamu jadian sama Branden minimarket," katanya santai.

"Astaga! Ya kalau dipertemukan lagi."

Keysa tertawa lagi, disusul Zanna. Tawa keduanya terdengar renyah.

***

Tak terasa sudah enam bulan Branden dan Keysa bersama. Selama enam bulan itu mereka menjalaninya dengan baik. Menghadapi setiap masalah dengan tegar. Menyikapi masalah dengan sikap dewasa. Meski ada perdebatan kecil di antara keduanya, hingga akhirnya salah satu dari mereka mengalah. Branden lebih sering mengalah. Ia lah yang mengajari Keysa tentang banyak hal. Mulai dari hal kecil sampai yang paling besar. Saling memberikan pengertian dan perhatian. Percaya satu sama lain. Hubungan seperti itu sulit untuk dipisahkan jika bukan karena keinginan dari sebelah pihak.

"Zanna! Bangun, Na!" seru Keysa seraya mengetuk pintu kamar Zanna. Gadis itu merasa cemas, sebab jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi akan tetapi, Zanna belum bangun juga. Itu jelas bukan kebiasaannya.

"Na!"

Keysa memutar handel pintu. Terkunci. Gadis semampai itu menghela napas kasar. Membuang pikiran buruk yang hinggap di kepalanya. Ia mencoba memanggil Zanna lagi.

"Na, bangun! Jangan bikin aku cemas!"

Terdengar kunci diputar. Keysa menghela napas lega. Zanna keluar dengan wajah pias.

"Ada apa, Na? Aku lagi nggak enak badan. Maaf buat kamu cemas," ujar Zanna tertawa kecut.

"Ya ampun, Zanna. Kamu pucat banget. Kita ke rumah sakit, ya?" Keysa panik luar biasa.

Zanna tersenyum lemah. "Nggak usah. Aku cuma demam kok, nanti juga sembuh sendiri habis minum obat," tolaknya. Gadis bernetra hazel itu terbatuk kecil.

"Nggak nggak. Kamu harus diperiksa. Aku telepon taksi dulu." Keysa mengeluarkan ponselnya, menghubungi taksi online.

"Nggak-"

"Zanna!!!" Keysa histeris melihat Zanna tak sadarkan diri di kursi rodanya. Cepat-cepat ia mendorong kursi roda sahabatnya, bergegas keluar rumah.

Lima belas menit menunggu bukanlah waktu yang sebentar bagi Keysa yang sedang dilanda kepanikan luar biasa. Berkali-kali ia memburu supir taksi agar menambah kecepatan.

"Pak, bisa dipercepat lagi nggak? Sahabat saya butuh pertolongan segera."

"Iya, Mbak."

Akhirnya taksi tiba di rumah sakit terdekat. Supir taksi tersebut segera membantu Keysa membopong tubuh Zanna ke dalam.

"Sus, tolong, Sus!" seru Keysa pada empat perawat yang kebetulan menyeret brankar kosong. Tanpa ba-bi-bu lagi perawat-perawat itu cekatan mengambil alih tubuh lemah Zanna.

"Mbak, kursi rodanya masih di mobil," ujar supir taksi itu mengingatkan ketika Keysa hendak mengikuti para perawat itu membawa Zanna.

"Taruh saja di depan, Pak."

Tanpa menunggu alasan dari supir taksi itu lagi, Keysa lekas berlalu. Mengejar brankar Zanna yang sudah jauh di depannya. Tanpa sadar pipinya sudah basah oleh air mata. Ia khawatir Zanna koma lagi. Keysa takut kehilangan sahabat terbaiknya. Kenapa aku sampai lengah sih? Harusnya aku lebih perhatian lagi, batin Keysa. Rasa bersalah kembali menghinggapinya. Kaki Zanna sudah ia hilangkan, kali ini ia lalai memperhatikan Zanna. Sahabat macam apa aku ini? Keysa menghela napas frustrasi.

Zanna dimasukkan ke ruang UGD. Langkah Keysa terhenti sebab perawat menghalanginya. Menyuruhnya menunggu di luar.

Ponselnya berdering. Dari Branden. Keysa menghempaskan tubuhnya di kursi tunggu. Mengangkat telpon dari kekasihnya.

"Halo."

"..."

"Aku lagi di rumah sakit. Sori, tadi panik jadi nggak tau kalau kamu nelpon."

"..."

"Teman aku pingsan."

"..."

"Iya. Rumah Sakit Kartini."

"..."

"Daaah. Hati-hati."

Sambungan diputuskan. Keysa menghela napas lelah. Ia mengusap wajahnya yang terasa kebas.

Tak lama kemudian, seorang dokter perempuan keluar dari ruang UGD. Keysa buru-buru menghampirinya.

"Gimana keadaan Zanna, Dok?"

Dokter bernama Denita itu menghela napas berat. "Mari ikut ke ruangan saya!" ajaknya.

Keysa menurut. Jantungnya berdetak lebih kencang. Rasa takut, bingung, kesal, khawatir bercampur menjadi satu.

Entah di menit ke berapa Keysa keluar dari ruang dokter dengan langkah gontai. Wajahnya sembap. Bibirnya terkatup rapat. Kabar buruk dari Dokter Danita membuatnya seperti tidak memiliki tulang-belulang lagi.

"Keysa?"

Keysa mengangkat wajahnya ketika namanya disebut. Branden sudah berdiri di hadapannya. Tepat waktu. Keysa butuh penopang. Gadis itu mendadak merasa lemah. Tanpa tedeng aling-aling Keysa memeluk Branden erat. Menangis. Lagi.

Branden yang tidak tahu apa-apa memilih diam. Membalas pelukan gadisnya, memberikan ketenangan. Mengelus kepalanya penuh perhatian. Menghiburnya dengan kata-kata yang menguatkan.

"Di mana kamar temanmu?" tanya Branden setelah pasangannya itu mulai tenang.

"Ikut aku!" Keysa menarik tangan Branden. Branden menurut.

"Di sini dulu," ujar Keysa ketika tiba di depan ruang UGD.

"Kamu kenapa? Parahkah sakitnya?" tanya Branden yang sedari tadi menahan diri.

"Hampir mencapai titik akhir, Branden." Tangis Keysa nyaris pecah lagi.

"Astaga!"

"Kata dokter dia terinfeksi. Kaki kanannya yang menyebabkan itu terjadi. Seharusnya dia merasakan nyeri di kakinya sebelum ini. Tapi dia nggak pernah cerita apa-apa ke aku. Dia nggak pernah ngeluhin apapun soal kakinya," tutur Keysa. Bendungan air matanya sudah jebol.

"Sssstt ... jangan nangis terus." Branden merangkul pundak kekasihnya, mengusapnya lembut.

"Aku nggak mau kehilangan dia."

"Nggak. Dia bakal sembuh kok."

"Tapi dokter bilang udah nggak ada harapan lagi."

"Hei," Branden menangkup kedua pipi Keysa agar menatapnya. "Lihat aku. Percaya semua bakal baik-baik aja. Vonis dokter nggak selalu benar, dokter bukan Tuhan, Sayang." Sesaat sepasang mata itu bertemu. Mata teduh Branden mampu meluluhkan Keysa.

Gadis itu mengangguk paham. Berusaha meyakinkan hati bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa Zanna akan segera pulih.

"Tolong liatin, Zanna. Aku mau beli air sebentar," pinta Keysa.

"Zanna?"

"Iya. Itu nama dia. Kenapa?"

"Oh, aku kira siapa."

"Titip Zanna, ya." Keysa melenggang pergi.

Sementara Branden sibuk dengan pikirannya sendiri. "Zanna? Aku merasa nggak asing dengan nama itu," gumamnya. Branden beranjak menuju kamar Zanna.

"Ah, rupanya dia. Kalian sahabatan ternyata." Branden bergumam lagi ketika dilihatnya gadis yang terbaring di ranjang. Matanya terpejam, wajahnya sepucat mayat. Terlihat damai jika sedang tertidur seperti ini.

Baru saja pemuda itu meletakkan bokongnya di kursi dekat ranjang, terdengar lenguhan lirih dari bibir Zanna. Ia siuman. Branden diam menunggu. Perlahan kelopak mata Zanna membuka.

"A-aku ... dimana?" Suara serak Zanna berbicara terbata.

"Di rumah sakit."

Zanna menoleh ke samping kanan. "B-branden? G-gimana kamu bisa disini? Keysa mana?" tanya Zanna kebingungan.

"Ssstt ... tenang dulu. Kamu baru siuman. Keysa lagi keluar beli minum." Branden menenangkan gadis di hadapannya.

Zanna menghela napas. "Aku kenapa?"

Branden terkekeh. "Kamu nggak amnesia, kan?"

Zanna menggeleng. "Setauku, aku masih di rumah tadi." Ia memegangi kepalanya yang berdenyut sakit.

"Kamu pingsan."

"Makasih, ya udah mau jenguk aku," ucap Zanna sambil mengukir senyum tipis.

"Sama-sama."

Obrolan mereka berlanjut seru. Branden berhasil menghibur gadis cacat itu. Menciptakan senyum bahagia di bibir.

Tanpa keduanya sadari, sepasang mata memperhatikan dengan saksama. Saat hendak melangkah masuk tadi, Keysa sayup-sayup mendengar gelak tawa. Gadis berambut lurus itu mengurungkan niatnya untuk masuk dan mengintip dari celah daun pintu yang terbuka sedikit. Ada rasa nyeri menyerang hatinya. Namun ia tak ingin merusak kebahagiaan Zanna. Ia tidak ingin melakukan kesalahan yang sama. Keysa membalik tubuhnya, hendak meninggalkan ruang UGD.

Kututup kisah cinta di antara kita
Kubiarkan kau jadi milik sahabatku
Dia yang tak tahu tentang hubungan kita
Menyimpan perasaan cinta untukmu~

Keysa mengirimkan pesan pada Branden, berisi:

Titip Zanna, ya. Aku harus pulang sebentar.

Tuhan benarkah semua yang aku lakukan?
Meninggalkan kasihku demi sahabatku
Kuingin melihatnya hidup bahagia
Di dalam menjalani di sisa hidupnya~

Gadis itu memilih pergi. Pergi jauh. Agar Branden tidak menemukannya. Agar Zanna bahagia. Semoga itu pilihan terbaik.

SELESAI

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro