13) Reason to Smile

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SPACE



"Gwen, udah sampe di rumah lo, ni."

Entah sudah keberapa kalinya Zacky mendengkus, berusaha lebih sabar lagi melihat Gwen yang tidak kunjung bangun dari tidurnya.

Cowok itu lalu menepuk kepala Gwen pelan yang kebetulan sedang bersandar di punggungnya. Bukan berniat modus atau apa, dia hanya ingin membangunkan Gwen dengan cara halus. Kalau saja perumahan ini tidak sepi, Zacky pasti sudah dibuat kalang kabut sekarang.

"Hm ...."

Suara Gwen tiba-tiba terdengar. Zacky yang mendengar itu langsung lega. Setidaknya, usahanya barusan tidak sia-sia.

"Lo nggak mau pulang?" tanya Zacky, menatap lurus ke depan. Dipeluk seorang gadis memang bukan keinginannya, tetapi dia merasa tidak enak kalau melapas tangan Gwen secara paksa.

"Rumah lo udah ada di depan, Gwen."

"Ha? Udah sampe?"

Sadar bahwa motor yang ditumpanginya tidak lagi berjalan, Gwen mengusap wajahnya sesegera mungkin. Cewek itu lalu menengok ke arah kiri, mendapati sebuah bangunan mewah yang ternyata adalah rumahnya sendiri.

"Iya, dari tadi." Zacky berdecak, mulai kesal karena Gwen tidak juga melepas pegangan tangan kirinya pada jaket. "Buruan turun, gih. Punggung gue nyeri."

"Eh? Kok?"

Alih-alih menuruti perintah Zacky dengan santai, Gwen langsung terkejut saat menyadari sesuatu. Segera saja dia menjauh, menarik tangannya, lalu turun dari motor tiba-tiba.

"Jangan ngira yang macem-macem, gue cuma nggak mau lo jatuh di tengah jalan." Peka dengan ekspresi Gwen saat ini, Zacky berusaha memperjelas semua.

"Sialan," umpat Gwen. "Ngomong yang bener napa!"

Zacky berdeham, malas. "Makanya, lain kali jangan tidur pas lagi di jalan. Nyusahin aja lo."

"Iya, iya, haduh. Bawel lo," cibir Gwen, mengiakan saja apa kata cowok itu.

Beberapa detik berselang, tidak ada sepatah kata pun yang terdengar. Keheningan tiba-tiba tercipta di antara mereka, hingga Gwen-lah yang kemudian memecahkannya.

"Ah, btw ... thanks, ya. Udah nganterin," ucap Gwen sambil tersenyum, meski kini dia sedang berusaha mati-matian menahan panas pada pipi.

Helaian rambutnya tampak melayang diterpa angin, berhasil membuat Zacky menahan napas walau kemudian langsung mengalihkan pandangan.

"Iya, sama-sama," jawabnya. Dia sungguh tidak tahu harus bagaimana lagi.

"Kalau gitu, gue masuk dulu." Gwen melambaikan tangan, berjalan lalu membuka pagar tinggi yang memang sudah ada di sampingnya sejak tadi.

Zacky tersenyum, tipis sekali. Kalau saja Gwen masih berdiri dengan jarak yang berdekatan, sudah pasti cewek itu akan makin memerah melihatnya.

"Sekali lagi makasih!" ucap Gwen yang baru saja masuk ke halaman rumah.

Namun, belum lagi cewek itu sempat menutup rapat pagarnya, Zacky lebih dulu menyerukan suara.

"Gwen!" panggilnya dengan suara berat.

"Iya?" Kepala Gwen menyembul dari balik pagar. Tampangnya menandakan kalau dia tengah bertanya-tanya.

"Jangan baper, ya."

Terkejut seketika, Gwen mendelik.

Bagaimana bisa cowok itu kembali menyebalkan setelah membuat pipinya merona?

"Idih, siapa juga yang baper. B aja gue, mah," balas Gwen sembari memutar bola mata.

Di sisi lain, sudut bibir Zacky terangkat mendengarnya.

Antara lega dan miris.



🍀🍀🍀



"Zack, nanti malem mau lanjut kerkom, nggak? Gue udah ngomong ke Keira tadi."

Suara seseorang terdengar dari ponsel Zacky yang dibiarkan di atas nakas. Cowok yang baru saja selesai salat Magrib itu duduk, merapikan beberapa buku OSN-nya yang berantakan.

"Kerkom, ya ...." Zacky menggantungkan kalimatnya. "Emangnya lo kemarin ke mana aja? Pada ngilang semua, heran."

"Gue ketiduran, elah. Sialan juga si Zelin ngunciin gue di kamar."

"Lo aja yang kebanyakan tingkah."

"Ngasal lo," decak seseorang di seberang sana, dia Zen. "Jadi, gimana ni? Mau kerkom nggak?"

"Kalau gue terserah, sih. Tapi jangan di rumahnya Gwen lagi."

"Terus di mana?"

"Kaf--"

"Bosen, woi. Jangan di kafe gue mulu napa."

"Terus di mana? Taman?" saran Zacky asal. Memang hanya itu yang terlintas di pikirannya.

"Lu kira kita mau piknik?" sahut Zen yang langsung dihadiahi Zacky dengan decakan ringan.

Sudah dia duga, Zen memang rempong. Apa pun yang cowok itu sarankan, Zen selalu komentar. Butuh obrolan yang cukup panjang jika dia ingin mempertahankan pendapatnya.

"Kan, bisa sambil refreshing juga, Zen. Nanti cari gazebo atau apa gitu."

"Ha? Kanebo?"

Zacky refleks berdecak. Temannya yang satu itu memang pantas jika disandingkan dengan Keira karena sama-sama lola. "Gazebo, nyet."

"Ya, maap. Nggak kedengaran," balas Zen sambil tertawa. Namun, belum lagi Zacky menjawab, lawan bicaranya itu lebih dulu memotong, "Tapi, Zack ... gue rasa di sana nggak nyaman, deh."

Alis Zacky berkerut, meski dia tahu Zen tidak akan bisa melihatnya. "Kenapa?"

"Gelaplah, bego."

"Nyari yang teranglah, bego," timpal Zacky kesal bukan main. Sedetik kemudian, cowok langsung tersadar kalau dia baru saja berbuat dosa. Seutas bacaan istigfar pun langsung lolos diucapkannya.

"Ya udah, serah," putus Zen pada akhirnya. Lagi pula kalau percakapan ini diteruskan, pasti tidak akan ada ujungnya nanti. "Habis isya, ya?"

"Hm."

Layar ponsel Zacky kini tidak lagi menunjukkan durasi panggilan, melainkan sudah tergantikan dengan lock screen hitam dengan sebait kata memotivasi.

Zacky pun merebahkan badannya di atas kasur, menerawang sejenak langit-langit kamarnya hingga beralih menatap jendela.

Masih dalam keadaan menatap, tiba-tiba ada sesuatu yang melintas dalam pikirannya.

Berulang kali Zacky menepis, membuang jauh-jauh bayangan familier itu dari depan mata. Ini sungguh jauh lebih menyebalkan daripada berhadapan langsung dengan sosoknya.

Bersamaan dengan gerakannya bangkit dari tiduran, Zacky menggeram, "Argh! Gue mikirin apa, sih?!"

Segera saja dia menyambar ponsel yang tadi diletakkan di atas nakas, mencari kontak WA Gwen dengan foto profil berupa potret diri.

Zacky berusaha mati-matian untuk tidak me-zoom-nya. Bisa gawat kalau nanti kebablasan mengoleksi foto cewek itu di galeri.


Gwen, entar malem ke taman |


Zacky masih diam menatap tanda pesan yang tak kunjung berubah warna. Karena tidak punya pekerjaan lain, cowok itu memutuskan untuk menunggu balasan Gwen saja.

Lagi pula, cewek itu sedang online sekarang. Tanggung kalau dibiarkan.


Gwen
| Eh? Ngapain?


Itulah dua kata yang dikirimkan oleh Gwen setelah satu menit lebih mengetik. Zacky sempat heran melihatnya. Namun, senyumanlah yang terbit sebagai reaksinya.

Meski dia tahu itu tidak baik, tetapi alam bawah sadarnya tetap menolak.

Bagaimana pun juga, pesona Gwen memang punya efek tersendiri bagi Zacky. Tidak peduli seberapa sering mereka berdebat dan mempermasalahan hal-hal yang tidak perlu, pertengkaran itu akan selalu padam dengan sendirinya.

Justru dari sanalah rasa yang tak pernah mereka sadari perlahan tumbuh.

Mengabaikan sebuah tembok raksasa yang mungkin akan menjadi saksi bisu perpisahannya.

Jalan sama gw [deleted] |
Kerkomlah |



🍀🍀🍀



Beberapa kilometer dari tempat Zacky berada, Gwen mengerjapkan mata ketika melihat satu pesan dihapus. Penasaran, gadis itu mencoba menebak-nebak kalimat apa yang barusan dikirim itu.

Namun, nihil. Dia tidak bisa. Cewek itu tidak ingin berharap lebih pada sesuatu yang sudah jelas belum pasti.

Ah, Gwen menyesal karena sempat keluar dari chatroom ini tadi.

"Kenapa dihapus, sih? Bikin orang penasaran aja," gumamnya jengkel. Bantal yang semenjak tadi dia jadikan tumpuan kedua lengan, kini dilemparkan asal saking kesalnya.

Namun, Gwen kesal bukan berarti marah. Entah kenapa, cewek itu justru tersenyum melihat Zacky yang tiba-tiba men-chat-nya lebih dulu.

Oke |
Jam berapa? |

Zackentucky
| Habis isya

Habis isya itu jam berapa? |
Di sini nggak seberapa kedengeran azan|

Zackentucky
| Entar gue jemput, mau nggak?

Serah lu, deh, Tong. Gue ngikut |

Zackentucky
| Sialan
| Panggilan apa lagi itu?
| Tong? Gentong?
| Lo ngatain gue gentong?



Gwen sontak tertawa membaca respons dari Zacky. Cewek itu tidak menyangka akan ditanggapi begitu, padahal jempolnya hanya mengetik tanpa ada niat untuk menghujat yang tidak-tidak.

Sungguh, chating-an bersama Zacky memang selalu punya kesan tersendiri bagi Gwen. Meskipun di dalam chatroom itu selalu ada pertengkaran yang membuat giginya bergemelatuk, Gwen justru sangat menyukainya.

Jujur saja, hari-hari yang semula kelam karena sering dikecam untuk tampil sempurna, kini sedikit lebih berwarna karena kehadiran cowok itu dan beberapa teman dalam hidupnya.

Tak peduli rasa sedih yang sering membuncah acap kali dipaksa, Gwen masih bisa bersenda gurau meski harus berpura-pura untuk terlihat baik-baik saja.

Lagi pula kehidupannya, kan, bisa diubah kalau dia memang berniat untuk melakukannya. Alasannya tersenyum juga bukan sebatas topeng untuk menyamarkan rasa dan kelesah.

Gwen hanya ingin mereka bahagia, sungguh.


🍀🍀🍀


Holaaa!

Welcome back to our story!

Di sini nggak ada yang seberapa greget, sih. Wkwkw ...

Tapi, semoga kalian tetap suka. Tunggu kelanjutannya dan stay tune sampe akhir!

Jangan lupa vote biar kami makin semangka! ❤

Thanks!

Ah, ya. Welcome back juga buat achacamarica yang balik lagi ke tim✨


Tertanda,
All Authors.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro