🕊Keputusan Gus Alif🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Hal yang paling dibenci adalah, ketika dua hal saling bertentangan.
Ketika mulut berkata ikhlas merelakan pergi, tetapi hati masih berharap kamu ada di sini~

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Kiran bersandar di balik pintu kamar, tubuhnya luruh ke bawah sampai akhirnya terduduk. Kepala dibenamkan di kedua lutut sambil dipeluknya erat. Hatinya mungkin bisa menerima keputusan menyakitkan ini, tapi bagaimana mungkin ia bisa bicara pada Abah. Bagaimana suka citanya beliau menulis nama-nama sahabat Abah di kertas undangan berwarna biru seperti novel yang ia tulis. Ini adalah hajatan pertama kali di pesantren, oleh karena itu Abah sangat bahagia menyambutnya.

“Kak?” bisik Kiran sambil kembali memeluk tas milik Adit. Ia kembali teringat benda yang sempat jatuh dan diambil oleh Mas Alif. Kiran pernah memberikan tasbih itu sebelum pergi ke Jepang. Mengamati tiap butir tasbih yang sudah terdapat cacat di tiap butirnya. Adit pasti menggunakan itu di setiap lantunan doanya. Kiran mendekatkan tasbih di depan matanya, air mata menyatu bersama tasbih itu. Entah mengapa bibir bisa berucap mengikhlaskan tetapi hati masih yakin jika takdir bisa bersatu dengan Adit.

Kiran melirik ke jam dinding, waktu Dhuha masih ada. Siapa tahu setelah salat, hatinya lebih tenang dan setelah itu ia akan bicara jujur kepada Abah. Kiran sudah siap dengan segala risiko yang diterima, termasuk keluar dari pesantren karena sudah mencoreng nama Abah. Apalagi beberapa undangan sudah meluncur ke penerima.

Dering telepon milik Adit terus berbunyi selama Kiran dalam menjalankan salatnya. Ada rasa ingin tahu yang hebat karena telepon terus berdering menandakan sesuatu hal yang sangat penting. Setelah salat, Kiran meraih ponsel itu. Membuka layar ponsel yang memang tak pernah terkunci. Banyak nama di sana yang menghubungi Adit. Namun, dua nama yang membuat Kiran tertarik untuk membuka pesan di sana.

“Anton,” bisik Kiran membaca pengirim pesan di sana. Laki-laki sahabat dekat Adit yang sudah seperti pengawal bahkan sering bertaruh nyawa untuk Adit. Kiran bisa membaca pesan yang dikirimkan Anton. Isi pesan tersebut seperti sumpah serapah yang ditujukan pada Kiran. Mungkin saja mamah Adit atau Putri yang memberitahukan kondisi Adit pada Anton. Oleh sebab itu, Anton sengaja datang ke Solo untuk menjenguk Adit.  Sayangnya, Anton tak tahu jika Adit sendiri sudah dibawa ke rumah Sakit di Semarang.

“Riska,” bisik Kiran membaca satu pesan di sana. Nama perempuan yang pernah di curigai Kiran. Perempuan ini mengira Adit berselingkuh dengan Riska, saat dirinya di Jepang. Riska entah sudah berapa kali berkirim pesan dan menelepon Adit. Kiran agak ragu membuka pesan di sana tetapi terpaksa dibaca dan tercengang dengan isi pesan di sana.

Tubuh Kiran sangat syok membaca satu pesan di sana. Ia baru tahu siapa Adit sebenarnya, laki-laki itu bukan orang biasa, juga bukan preman dengan pekerjaan tukang parkir supermarket. Bisnis yang dimiliki Adit ternyata sangat besar di bidang otomotif. Di pesan tersebut juga terdapat lampiran harta perusahaan di Jakarta dengan jumlah fantastis membuat Kiran tak percaya.

“Siapa kamu sebenarnya, Kak?” Kiran bertanya pada diri sendiri karena tak tahu harus bertanya pada siapa. Identitas siapa Adit terpaksa ia sampingkan karena ketukan pintu kamar. Panggilan dari Mas Alif mengharuskan untuk keluar dari kamar ini.

Pintu terbuka, laki-laki itu rambutnya basah, mungkin saja sama seperti Kiran telah menunaikan salat Dhuha. Kiran terus mengamati wajah di depan, tubuh tinggi dan rahang yang keras. Berhubung di rumah, laki-laki itu memakai kaos biasa dengan bawahan sarung yang menjadi andalannya. Sebenarnya wajah Mas Alif lumayan tetapi karena sikapnya yang pendiam membuat perempuan mana pun enggan mendekat. Entah perempuan seperti apa yang ditunggu Mas Alif sehingga masih betah untuk sendiri.

“Dek?” panggil Alif sambil melambaikan tangan tepat di depan wajah Kiran, sontak perempuan itu mundur karena kaget. Kiran mendengkus karena tak suka panggilan itu. Sudah seperti panggilan kepada anak balita saja. Entah mengapa Mas Alif selalu memanggil dengan panggilan itu.

Senyum terpancar dari wajah Alif karena sukses membuat Kiran cemberut. Alif hanya bisa melakukan itu karena untuk saat ini ia tak bisa membuat Kiran tersenyum atau bahagia. Ekor mata Alif menatap ke arah Abah kemudian melirik kembali ke arah Kiran. Perempuan itu paham jika  sekarang harus berbicara pada Abah, sebelum ribuan kartu undangan tersebar.

Wajah panik mengiringi langkah Kiran menuju Abah yang masih duduk di ruang keluarga. Tumpukan kartu undangan sudah semakin menyusut, barangkali Abah sudah menyuruh santri untuk mengantar undangan. Kiran menggigit bibirnya, pemandangan yang menyedihkan. Pernikahan di depan mata tapi mempelai pria tak akan datang.

“A-abah ada yang ingin Kiran bicarakan,” ucap Kiran dengan harap-harap cemas.

Abah melirik sekilas pada putrinya kemudian matanya kembali lagi menatap undangan yang lebih menarik perhatian Abah. Kiran duduk di sofa yang sama tetapi memilih duduk di paling ujung karena takut berdekatan dengan Abah.

Mata Kiran melirik ke arah Mas Alif yang masih berdiri di depan kamar sambil menyatukan kedua tangan di depan dada. Alif mengangguk sebagai syarat jika sekarang waktunya berterus terang pada Abah. Alif sendiri juga takut jika Abah akan murka, beliau jarang marah tetapi sekalinya marah pasti akan memilih diam kepada semuanya.

“Abah?” panggil Kiran sekali lagi masih dengan perasaan takut.

“Sebentar. Tunggu Abah selesai mengelompokkan undangan karena sebentar lagi Salim sama Fikri akan ke sini mengambil undangan,”  elak Abah sambil mengecek kembali nama-nama di sana.

“Tapi Abah ini sangat penting,” kilah Kiran semakin tak sabar karena sulit sekali menghentikan kegiatan Abah yang menurut Kiran adalah percuma dan sia-sia saja.

“Coba cek kembali. Ini undangan kamu untuk semua sahabat kamu. Beda dengan undangan yang diberikan untuk teman Abah. Simpel dan tidak neko-neko. Undangan sudah seperti buku saja saking tebalnya. Itu calon suami kamu yang pilih,” sindir Abah melihat undangan yang ada di tangan Kiran.

Alif yang mendengar itu hanya melengos, semakin geregetan mendengarnya karena semakin tak sabar. Kiran hanya bisa menunduk sambil menatap apa yang dipegang. Satu undangan saja bisa menyayat hati kecilnya, luka tak tampak tapi sangat terasa di mata yang sudah berkaca-kaca.

“Abah?” panggil Kiran dengan suara tercekat di tenggorokannya. Lagi-lagi gagal mengutarakan karena di hadapannya sudah datang dua santri menghadap Abah.

“Salim tugas kamu keliling di daerah Laweyan. Fikri, tugas kamu keliling Serangan sama Banyuanyar. Buruan berangkat sekarang, jangan lupa bawa mantel takut kehujanan di jalan!” perintah Abah sambil menyuruh dua orang santri itu pergi.

Alif hanya diam dan menyayangkan karena surat undangan itu sebentar lagi lolos dan diterima penerimanya. Kiran yang sudah berkaca-kaca menggeser tempat duduk kemudian mengayunkan lengan pria paruh baya tersebut. “Abah?”

Abah merasa bolak-balik dipanggil terbelalak kaget karena melihat wajah Kiran yang sudah seperti menangis. “Nduk?”

Kiran hanya mengangguk sambil menghapus air matanya. Belum berbicara saja sudah seperti ini. Dalam hati Kiran terus berdoa, semoga kali ini ucapannya tak terpotong lagi. Baru hendak membuka mulut terdengar tapak kaki Umi bersama dua orang santriwati membawa wajik yang diletakkan di sebuah tempat yang besar. Umi tampak tertawa dan bersenda gurau dengan dua orang yang membantunya.

“Umi habis buat wajik. Capek, tapi Umi senang. Kapan lagi buat seperti ini kalau bukan acara hajatan pernikahan,” ucap Umi sambil duduk dan mengusap peluh yang sudah membanjiri kerudungnya.

Kiran semakin terisak, betapa berdosanya telah memupuskan harapan orang tuanya. Suara tangis Kiran membuat ketiga orang di sana langsung tertuju pada Kiran.

“Umi? Abah? Tidak ada hajatan. Tidak ada pernikahan. Adit pergi dan dia tidak akan datang!” seru Kiran dalam satu tarikan napas.

Abah dan Umi sontak terkejut, suara putrinya bersamaan dengan guntur yang menggelegar di luar. Centong kayu yang dipegang Umi terjatuh karena tangan mendadak kaku.

“Tidak jadi? Apa maksud semua ini? Abah tidak paham?” Abah langsung berdiri dengan panik.

Kiran masih dengan isak tangisnya terus menggeleng sambil meracau tidak jelas. “Gagal, tidak ada pernikahan.”

Umi mengelus dada menahan nyeri sambil terus memohon ampun. Abah sudah sangat panik dan berjalan ke sana kemari. “SALIM? FIKRI? KEMBALIKAN UNDANGAN ITU, KALAU PERLU BAKAR SAJA!”

Suasana semakin tegang, Kiran berlutut dan memegang kedua lutut Abah sambil menyandarkan kepala di kaki Abah. Mulut tak henti-hentinya meminta maaf tetapi sayang pria paruh baya itu sudah murka. “Dasar anak—“

“ABAH!” pekik Alif yang ikut bersuara karena sedari tadi memilih diam. Jangan sampai Abah meneruskan perkataannya.

“Alif, mau ditaruh mana muka Abah. Undangan sudah sampai di mana-mana?”

Semuanya terdiam. Alif hanya bisa berpikir keras, jika ia di posisi Abah, pasti akan sama karena sangat malu. Akhirnya Alif bersuara karena semua larut dalam kesedihan.

“Alif yang akan menikah. Alif yang akan menjadi mempelai laki-lakinya,” celetuk Alif membuat ketiga orang di sana menatap Alif dengan tatapan tak percaya. Lebih-lebih untuk Kiran karena keputusan kakaknya membuat sekujur tubuhnya lemas seperti tak bertulang.

To be continue

Nah loh setelah baca ini siapa yang mau ngamuk sama authornya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro