🕊PERGI 🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Pada akhirnya tak semua mimpi di takdirkan untuk menjadi nyata.
Aku percaya Allah telah merencanakan hal-hal baik untuk masing-masing dari kita~


═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Happy reading jangan lupa

Alif berinisiatif menuju meja perawat yang tak jauh dari mereka berdiri, Bayu sendiri masih bingung dengan apa yang harus dilakukan. Apalagi baru pernah ketemu Ning dalam keadaan seperti ini. Pantas saja, Adit memperjuangkan cintanya karena Ning sendiri tulus mau menerima mantan preman itu apa adanya. Adit sendiri pernah bercerita jika Ning tak tahu apa pekerjaan Adit sebenarnya.

“Maaf boleh tahu informasi tentang pasien barusan yang bernama Adit?” tanya Alif kepada salah satu perawat yang tengah mengecek beberapa berkas di atas meja kerja mereka.

“Boleh. Ada yang bisa saya bantu,” balas perawat berkerudung putih dengan sopan.

“Kalau boleh tahu pasien bernama Adit dirujuk ke rumah sakit mana?”

“Maaf kalau boleh tahu Anda siapa?”

Alif sedikit gugup membalas pertanyaan perawat. Ia menoleh ke arah Kiran yang sekarang sudah berdiri sejajar dengan dirinya. Kiran juga sama saja terlihat bingung harus mengungkap siapa identitasnya karena sampai detik ini adalah tetap orang lain bagi Adit. Bahkan ucapan Putri yang mengatakan jika pernikahan tak akan terjadi membuat Kiran semakin sedih.

“Saya calon kakak ipar dan adik saya sebentar lagi akan menjadi calon istri Adit,” tukas Alif berharap mendapatkan info sedikit saja tentang dibawa ke mana Adit akan dirawat.

Perawat itu agak ragu untuk mengungkap identitas pasien begitu saja. Untung saja Bayu maju bergabung dengan mereka.

“Maaf ini yang bernama Ning Kiran. Nomor pertama yang dihubungi pihak rumah sakit kemarin malam,  sebelum rumah sakit menghubungi nomor saya. Ning Kiran adalah calon istri Adit,” ucap Bayu membuat perawat di sana mengangguk.

Alif bernapas lega, setidaknya kehadiran Bayu bisa membantu memuluskan mendapatkan informasi. Apalagi perawat tersebut sempat terkejut setelah mendengar siapa status Kiran.

“Rumah Sakit Karyadi Semarang. Permintaan dari orang tua pasien untuk dirujuk ke sana dengan alasan untuk mendapatkan penanganan lebih bagus. Kebetulan juga, kakak dari pasien adalah dokter bedah di rumah sakit Semarang,” tutur perawat membaca data di buku pasien.

“Kakak Adit seorang dokter?” Kiran berbalik bertanya kemudian dibalas anggukan oleh perawat tadi.

Kiran dan Alif sama-sama terbelalak mendengar kejutan barusan. Jadi selama ini Adit mempunyai saudara kandung. Setahu Kiran, Adit mempunyai kakak tiri yaitu Haris dan Putri, selain itu laki-laki itu tak pernah menceritakan mempunyai kakak kandung. Teka-teki tentang siapa saja keluarga Adit terutama ayahnya yang sudah meninggal belum sama sekali Adit ceritakan pada Kiran. Adit berjanji akan menceritakan semuanya setelah mereka nanti menikah. Entah nanti atau kapan, sekarang saja tak ada kepastian. Kiran kembali teringat bagaimana senyuman Abah melihat persiapan acara besok, sedangkan beliau tak tahu apa yang terjadi saat ini.

Alif dan Kiran langsung menatap Bayu yang sedang salah tingkah, apalagi sorot mata Alif memaksa agar Bayu menceritakan semuanya.

“Afwan Gus, saya tak bisa mengatakan siapa Adit sebenarnya. Biar Adit saja yang berhak mengatakan semuanya kepada Ning,” tolak Bayu secara halus agar tak menyakiti kedua orang terpandang di depannya.

Perawat tadi mengeluarkan sesuatu dari balik meja dan menyerahkan kepada Kiran. Sebuah tas selempang dada warna hitam yang biasa digunakan Adit serta sebuah ponsel Android. Tak sengaja perawat itu menyentuh layar ponsel sehingga terpampang gambar perempuan dengan latar bunga sakura membuat perawat itu yakin jika Kiran masih kerabat pasien tadi.

Alif mengajak Kiran untuk segera ke tempat parkir, sedangkan Bayu sendiri izin undur diri karena harus mengecek batik di sekitar kecamatan Jebres. Alif bisa memahami bagaimana terpuruknya Kiran ditinggal Adit, walaupun sudah tak meneteskan air mata, tapi dari sorot mata terpancar kehilangan yang teramat sangat.

Kiran mendekap erat tas milik Adit di depan dada, menatap ke atas melihat awan hitam yang bergelayut pada langit hendak menumpahkan air hujan.

“Kita pergi ke Semarang saat ini juga,” ajak Alif sambil mengambil jaket di dalam mobil kemudian memakaikan pada tubuh adiknya yang sekarang agak kurusan.

Kiran menatap lurus manik mata di sana, lagi-lagi kakaknya memandang dengan sangat aneh. Kiran mundur satu langkah ketika Mas Alif berlutut di hadapannya. Kiran memejamkan mata berharap Mas Alif tak berbuat aneh-aneh, apalagi status hubungan dengan Adit sedang tak jelas. Pelan-pelan mata terbuka, ada semburat rasa malu ketika Mas Alif dengan posisi berlutut sambil menyerahkan sesuatu pada Kiran.

Tangan Kiran menggapai benda melingkar di telapak tangan Alif, buru-buru benda kesayangan Adit segera dimasukkan  tas. Gara-gara tadi saking paniknya, lupa menutup tas sehingga sebuah tasbih jatuh dari tas milik Adit.

“Se-Semarang? Untuk apa?” Kiran balik ke pertanyaan awal sambil menata deru jantung yang sudah berlompatan.

“Kita susul Adit. Nanti Mas telepon santri agar segera memberitahukan Abah kalau kita mendadak keluar kota? Bilang saja kita cari suvenir untuk acara resepsi besok,” saran Alif yang sudah bersiap dengan seat belt ketika sudah berada di dalam mobil.

“Tidak, Mas,” elak Kiran dengan mata terpejam. Bayang-bayang Adit kembali mampir di otaknya. Kiran tak bisa mengalihkan pikiran dari sosok tersebut. Semakin mengenyahkan pikiran yang ada semakin terbelenggu.

“Kenapa?” Alif balik bertanya karena tumben adiknya menyerah sebelum berjuang. Alif sendiri paham bagaimana  sikap mamah Adit kepada Kiran barusan.

“Tidak perlu. Kita akhiri saja semuanya, mungkin Adit bukan takdir Kiran lagi,” lirih Kiran sambil mengambil tisu di atas dashboard kemudian menyapukan di ujung mata yang kembali basah.

Bagi Alif entah ini berita baik atau bukan. Laki-laki itu mengembuskan napas kasar, padahal ia sudah bersiap mengebut agar tak kehilangan jejak mobil ambulans tadi. Raut wajah Alif yang berkerut menegaskan bahwa ia terkejut mendengar kata-kata barusan. Namun, adiknya sudah mengisyaratkan agar tak kembali meneruskan kisah dengan Adit.

“Apa kamu akan kembali mengecewakan Abah? Apa kamu tidak lihat raut wajah Abah yang tampak bahagia untuk hajatan besok? Apa yang harus kita katakan kepada Abah jika acara besok gagal?” berondong Alif.

“Kiran saja nanti yang akan bicara pelan-pelan sama Abah.”

Alif hanya bisa diam, ia melirik sekilas ke wajah di sampingnya yang terus berpikir keras menemukan jalan dari masalah yang sedang dihadapi. Mobil melesat pelan di jalan raya untuk menuju kembali ke pesantren.

Perjalanan kali ini diisi dengan keheningan. Kiran menimang ponsel milik Adit di sana, siapa tahu di sana banyak info tentang siapa Adit sebenarnya. Teka-teki kakak kandung Adit sudah terbuka, entah rahasia apalagi yang disimpan Adit dan belum diketahui oleh Kiran. Dua sisi batin saling bertentangan, satu sisi ingin membuka ponsel itu sedangkan sisi lain mengatakan jangan karena status Kiran saat ini bukan siapa-siapa Adit.

Mobil memasuki gerbang utama pesantren. Alif sengaja memarkir mobil tepat di bawah tenda, mengingat sebentar lagi akan turun hujan lebat.

“Sudah siap bicara sama Abah perihal Adit?” tanya Alif bersiap turun dari mobil sembari melihat adiknya yang masih melamun.

Kiran tersentak kaget, ia memilih diam dan tak membalas ucapan kakaknya. Sedari tadi di perjalanan belum menemukan kata-kata yang pas untuk disampaikan pada Abah.

Tenda sudah berdiri dengan megah. Tinggal dekorasi di panggung utama saja yang belum terpasang. Tempat yang tadi ramai berubah sepi mengingat santri sudah kembali ke kamar masing-masing sibuk mengejar setoran hafalan.

Kiran berdiri dengan lunglai tetap memeluk tas milik Adit, salam dari pada santriwati yang berpapasan hanya dijawab dalam hati.

“Assalamualaikum,” ucap Alif ketika sudah sampai di depan rumah. Sepi, tapi pintu terbuka menandakan ada orang di dalam.

“Abah? Umi?” panggil Alif masuk menuju ruangan tengah. Di sana Abah sudah sibuk dengan ratusan lembar kertas yang sedang ia tulis kepada penerima surat undangan itu nanti diberikan.

Kiran hanya berdiri, tak bersuara menatap Abah yang tengah menimang undangan pernikahan yang bertuliskan namanya dan nama Adit. Kiran tak tahu bagaimana menjelaskan kepada Abah.

“Umi di dapur pesantren tengah membuat wajik dan jadah buat acara besok.”

Seketika lidah Kiran langsung kelu, tatapan tertuju pada Mas Alif yang juga tengah menatap ke arahnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Alif, ini tolong undangan dikirim dulu buat sahabat Abah di Jember sama Madura. Kirim secepatnya, terserah mau pakai pos atau yang lain. Pokoknya pas hari H, sahabat Abah wajib datang,” sahut Abah sambil menyerahkan beberapa lembar undangan kepada Alif.

Alif menerima undangan itu dengan ragu kemudian menatap Kiran yang buru-buru masuk ke dalam kamar dengan raut wajah yang sudah memerah karena menahan tangis.

♡To be continue♡

M

inta doanya ya, semoga Stay with me lancar sampai PO bulan Mei. Yuk yang mau ikutan waiting List boleh banget biar dapat bonus khusus.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro