🕊Temu untuk pisah🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


~Tak usah berlalut-larut dalam kesedihan karena sebuah perpisahan. Yang perlu di lakukan hanyalah mensyukuri atas sebuah kebersamaan yang pernah terjalin walaupun itu singkat~


Happy reading jangan lupa vote

Kiran dari semalam terus berpikir keras karena masih saja keberatan jika yang menjadi wali nikah bukan Abah, tapi lebih baik menurut saja karena Kiran tak ingin lagi mengecewakan Abah. Sebuah senyuman  terpancar ketika Kiran mau mengikuti semua keinginan Abah, kapan lagi ia bisa membahagiakan laki-laki yang sudah merawatnya sampai sekarang.

Abah dengan wajah berbinar langsung menyuruh santri untuk mendirikan tenda sebagai tanda hajatan akan segera digelar. Kapan lagi Abah bisa mengundang para sohib datang di acara putrinya, umur tidak akan tahu sampai kapan masih bisa bernapas.

Apalagi Abah tak mempunyai anak perempuan lagi, oleh sebab itu beliau mati-matian meminta acara hajatan digelar di pesantren. Sebelumnya, pihak mempelai laki-laki bersikukuh meminta resepsi digelar di hotel bintang lima di Solo. Untung saja keluarga Adit mau menerima keputusan ini. Abah memberikan alasan yang kuat karena jika nantinya Alif menikah pasti acara dilakukan di mempelai perempuan. Oleh sebab itu, Abah meminta acara di gelar di pesantren.

Baru saja kebahagiaan itu datang, tapi ternyata takdir belum bisa berpihak pada Kiran. Berita kecelakaan Adit membuatnya syok, tubuhnya kaku dan otaknya tak mampu bisa berpikir apa yang harus ia lakukan.

“Kakak.” Satu kata lolos dari mulut Kiran masih dengan tubuh mematung.

“Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, saya ambil mobil,” saran Alif sambil berlari menuju area belakang karena semalam menempatkan mobil di sana.

Sekarang Kiran tinggal berdua sama Bayu. “Kamu tidak bohong, ‘kan? Tidak sedang mengerjai kami?” tanya Kiran masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Jelas-jelas beberapa hari lagi hubungan dengan Adit menuju ikatan yang halal. Setelah berbagai rintangan dan penundaan dirinya harus belajar terlebih dahulu di Jepang.

Kiran menatap ke belakang, tampak Abah dengan gagah dan tersenyum bangga melihat tenda berwarna putih berpadu keemasan menghias pelataran Masjid.

Lantas apa yang nanti Kiran katakan pada Abah? Apalagi Bayu berkata jika Adit luka parah dan sepertinya sampai beberapa hari lagi tidak mungkin datang ke tempat ini untuk menghalalkannya.

“Astagfirullah. Untuk apa saya berbohong, Ning? Adit sudah saya anggap seperti saudara sendiri. Dia sudah banyak membantu ekonomi orang tua saya,” tutur Bayu antusias agar Ning di depannya percaya.

Kiran hanya bisa mengembuskan napas kasar dari mulutnya. Deru mobil melaju dari samping membuat Kiran dan Bayu langsung menoleh.

“Ayo, naik!” pekik Alif pada Kiran kemudian mata tertuju pada Bayu yang tengah kebingungan. Alif ikutan menyuruh Bayu untuk naik sebagai petunjuk di mana Adit dirawat.

“Bagaimana dengan Abah, Mas? Apa kita beritahu sekarang?” tanya Kiran yang duduk di samping Alif sedangkan Bayu duduk di kursi mobil belakang.

“Nanti saja, kita lihat kondisi Adit terlebih dahulu. Semoga dia  hanya luka ringan saja.” Alif memutar mobil menuju jalan raya depan pesantren untuk segera ke rumah sakit.

“Adit luka parah, terutama di bagian kepala. Sampai saat ini belum sadar. Semalam pihak rumah sakit menelepon Ning tetapi ponsel Ning tidak aktif, akhirnya pihak rumah sakit menghubungi nomor saya.”

“Astagfirullah,” bisik Kiran lirih mendapatkan kabar jika Adit sedang berjuang melawan sakitnya. Kepala tertunduk lunglai bersandar pada sandaran mobil dengan telapak tangan menutup wajahnya. “Kapan Adit kecelakaan?”

“Sekitar jam sembilan malam di perempatan dekat patung kuda,” sahut Bayu mengingat kembali bagaimana semalam ia sangat panik menerima telepon dari pihak rumah sakit.

Kiran tertunduk lemas, waktu itu pas sekali setelah dirinya bertengkar dengan Adit.  Laki-laki itu marah dan pergi begitu saja, melaju bersama dengan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Kiran sangat paham, Adit dalam kondisi seperti itu pasti mengendarai mobil seperti sedang balapan.

“Sebenarnya saya dilarang oleh Mamahnya Adit untuk memberitahu Ning.” Bayu agak ketakutan mengatakan itu, ada rasa tertekan dalam hatinya.

Kiran mengerutkan kening tanda tak paham, berbalik kembali ke belakang menatap laki-laki teman Adit. “Kenapa Mamah melarang saya untuk bertemu dengan Adit? Saya berhak tahu apa yang terjadi dengan calon suami saya,” protes Kiran merasa tak terima dan tak suka.

Alif berdehem lirih karena kurang suka penyebutan Kiran di akhir kalimat tadi. Alif yang sedang menyetir sempat menatap Kiran, sialnya adiknya malah tengah menatapnya gara-gara deheman barusan. Untung saja, Bayu langsung bersuara kembali membuat suasana canggung langsung hilang.

“Adit setelah kecelakaan sempat sadar dan berkata sama Mamahnya jika Ning membatalkan pernikahan. Oleh sebab itu, keluarga Adit yang baru datang merasa tak suka dengan keputusan Ning.”

Kiran memegang kepalanya. Masalah semakin rumit, tadinya berpikir untuk fokus penyembuhan Adit, tapi sepertinya masalah baru akan timbul dari keluarga Adit. Dari pertama mengenal Adit, keluarga mereka kurang menyetujui karena perbedaan mereka.

Kiran kembali berbalik ke depan sambil menyandarkan tubuhnya. “Saya cuma bilang ditunda, bukan dibatalkan,” sesal Kiran sambil menekankan kata paling akhir.

Tak ada yang berani bersuara, hanya murotal di mp3  mobil mengalun untuk menenangkan pikiran yang mendengarnya. Mobil terus melaju memasuki Rumah Sakit Moewardi Solo. Bayu menginformasikan jika Adit masih ditangani di ruang IGD, belum dipindah ke ruang rawat inap agar selalu terpantau oleh petugas medis.

Mereka berjalan beriringan dengan perasaan tak menentu, lebih-lebih untuk Kiran sendiri karena ia harus siap menata hati melihat Adit terluka parah dan juga siap mental bertemu dengan mamah Adit. Kiran sebenarnya enggan ke rumah sakit karena trauma masa lalunya. Bau obat-obatan yang sangat ia hindari. Untung selama di Jepang, ia benar-benar bisa menjauhi rumah sakit di sana. Berkat kakaknya yang selalu rutin mengirimkan vitamin dan obat-obatan dikarenakan Kiran tak paham obat-obatan di Jepang.

Sebuah papan bertuliskan ruangan yang mereka tuju sudah di depan mata. Jantung Kiran berdebar kencang, wajah panik dan keringat bercucuran. Pikirannya selalu tertuju pada sosok tertutup kain putih. Lisan kembali mengucapkan istigfar agar diberi kekuatan menerima ini semua. Baru juga melangkah masuk, tiba-tiba brankar berisi pasien sedang di dorong oleh dua orang perawat menuju pintu keluar, di sana sudah bersiap mobil ambulans  dengan pintu belakang yang sudah terbuka. Kiran langsung menoleh ke samping karena ia takut jika pasien itu adalah Adit.

Suara isak tangis di belakang pasien itu membuat Kiran menoleh kembali dan mendapati wanita paruh baya yang tengah menghapus air matanya. Dia  tak sendirian karena ada perempuan cantik yang tengah sabar menenangkan wanita itu.

“Mamah? Kak Putri?” sapa Kiran dengan wajah panik. Jika kedua orang itu adalah kerabat Adit, berarti pasien tadi adalah Adit. Butuh kekuatan yang sangat berat untuk menatap tubuh lemah di atas brankar di sana yang terpaksa berhenti karena perintah Alif pada dua perawat di sana.

Kiran berjalan pelan sambil tak percaya dengan apa yang dilihat. Semuanya nyata karena bukan mimpi. Adit terbaring lemah dengan mata terpejam. Kiran menatap lekat sambil berjalan pelan, tangan hendak mengusap wajah di sana tetapi ia urungkan karena di wajah itu terdapat luka sehingga memilih untuk tak menyentuh.

“Kak, bangun. Kita akan segera menikah. Ayok kak, bangun,” lirih Kiran sambil bercucuran air mata. Ia sangat menyesal karena ucapannya saat itu membuat Adit seperti ini.

“Pasien langsung bawa mobil ambulans saja!” perintah Mamah menyuruh kedua perawat di sana. Wanita itu kembali berjalan di belakang pasien dan tak peduli dengan Kiran yang sudah menangis tersedu. Alif iba melihat kondisi Kiran, sudah berapa banyak air mata yang ia keluarkan setiba di kota ini.

“Kita berdoa saja untuk kesembuhan Adit,” tutur Alif yang belum bisa menenangkan tangis Adiknya.

Dengan mata yang masih sembab, Kiran perlahan menaikkan pandangannya karena Putri—kakak tiri Adit sudah berdiri dengan wajah datar dan kurang  bersahabat. “Kak, Adit mau dibawa ke mana?” tanya Kiran sambil berusaha menenangkan dirinya.

Putri yang merasa ditanya, belum membuka suaranya, ada api amarah tertahan di dada ketika dipertemukan lagi dengan Kiran. Ia hanya menatap perempuan yang dicintai setengah mati oleh adiknya. Hanya perempuan biasa tetapi entah mengapa Adit begitu ingin memilikinya. “Mamah ingin Adit ditangani dokter khusus dengan peralatan yang lebih canggih agar cepat sembuh.”

“Adit mau dirujuk ke rumah sakit mana? Biar Kiran ikut menemani Adit,” saran Kiran sambil mengusap air matanya bersiap ikut pergi mengikuti Mamah yang sudah jauh di depan. Tak apa Mamah mendiamkannya, asalkan saat Adit sadar, Kiran ada di samping Adit.

“Tak perlu.”

Lengan Kiran dicegah oleh Putri membuat Kiran mengernyit kening, ia menatap Putri. “Kenapa?”

Putri menarik napas dalam-dalam. “Bukankah kamu sendiri yang membatalkan pernikahan agar tak terjadi? Tuhan sudah menjawabnya. Acara kalian benar-benar tak terjadi karena Adit kecelakaan. Saya sangat kecewa sama kamu.”

Kiran menutup mulutnya untuk menahan tangisnya. Mata yang sudah basah melihat Putri pergi begitu saja sampai menghilang di ujung pintu. Suara sirene meraung-meraung menggetarkan jiwa siapa yang mendengarnya. Kiran hanya bisa pasrah melihat mobil itu membawa Adit yang sedang berjuang melawan hidupnya. Bisa saja ia sembuh seperti sedia kala atau tinggal nama saja.

To be continue


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro