🕊Ketabahan Hati Umi 🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Jam seolah tak berdetik. Jarumnya pun seakan enggan beranjak untuk kembali melanjutkan putaran. Begitu pun dengan ragaku yang seolah mati rasa kala kehilangan sosok yang senantiasa memberikan kenyamanan kala bersama untuk menghabiskan waktu~

🎀  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  🎀


Happy reading jangan lupa vote

Kiran menghapus air mata, berdiri perlahan dari lantai, tempat di mana ia duduk. Gerakan ini terasa lambat karena daksa seperti menentangnya untuk pergi dari tempat ini. Sekali lagi menatap Abah yang masih memilih diam tetapi raut kesedihan begitu terpancar dari sorot matanya.

Pandangan Kiran beralih pada sosok Umi yang tengah menghapus air matanya, salah satu tangan meraih lengan Abah seakan minta kekuatan untuk bisa tegar menghadapi ini semua.

Mata Kiran tertuju pada sosok laki-laki berdiri di ambang pintu tengah menatap ke arah Kiran dengan penuh kecewa. Tatapan mereka bertemu sekian detik saja, setelah itu Mas Alif memalingkan wajah dan memilih menatap Abah dan Umi.

“Assalamualaikum,” ucap Kiran dengan nada lirih serta enggan menatap kembali kedua pasangan paruh baya tersebut. Tubuh berbalik dan langkah kaki yang terasa berat seperti membawa beban sehingga sulit untuk melangkah. Baru dua langkah, dadanya bergetar hebat karena tangis meledak yang sedari tadi ditahan oleh Kiran.

Pintu keluar yang tinggal beberapa langkah lagi di depan mata tak membuatnya tertarik. Perempuan itu memilih berbalik sambil berlari merentangkan kedua tangannya sambil berteriak histeris.

“Umi!”

Tangis haru mewarnai dua perempuan yang hatinya sangat rapuh, saling membutuhkan satu sama lain walaupun darah yang mengalir tak sama. Bagi Umi sendiri, Kiran sudah sangat berati sama dengan separuh nyawanya, walaupun kiran tak pernah tinggal di rahimnya.

Umi melepas pelukan sambil menghapus air mata putrinya, memegang kedua pipi Kiran sambil terus mengusapnya lembut. “Sampai kapan pun, Kiran adalah anak Umi dan Abah. Kami tak melarang jika ingin bertemu dengan  orang tua kamu. Seorang anak berhak tahu siapa orang tuanya. Umi cuma berpesan jangan pernah membenci mereka, insyaallah mereka orang baik. Mereka mempunyai alasan khusus mengapa menitipkan kamu di pesantren. Bisa berjanji sama Umi untuk tidak membenci mereka?”

Kiran melepaskan tangan Umi kemudian berpaling. Hatinya belum bisa menerima permintaan Umi satu ini. Entah mengapa masih ada rasa sakit di dalam dada terhadap orang tua kandungnya.

“Sepertinya Kiran belum bisa,” lirih Kiran dengan mata yang kembali memerah, bukan karena sedih melainkan amarah yang sedari tadi ia tahan.

Suara tapak kaki Alif mendekat dan kembali bergabung dengan mereka bertiga. Ia paham betul dengan adiknya, sulit sekali untuk memaafkan atas sebuah kesalahan.

“Tidak ada orang yang benar-benar sempurna, sebaik apa pun di mata orang lain, pasti mereka mempunyai kekurangan. Bapak kamu sering kemari, melihat dari balik pagar pesantren dan memastikan kamu baik-baik saja. Apalagi melihat senyuman kamu itu saja sudah membuat mereka bahagia. Abah sering menyuruhnya untuk masuk tetapi beliau selalu menolak karena takut kamu membencinya,” ucap Alif ikut bersuara.

“Kenapa Abah tak pernah bilang dari dulu?” protes Kiran merasa tak suka apalagi sekarang Alif berbicara jika bapaknya sering ke pesantren.

“Permintaan Bapak kamu sendiri. Nanti kalau kamu menikah, dia juga datang yang akan menjadi wali nikah,” ucap Abah dengan hati-hati, apalagi perubahan wajah Kiran yang kembali tak bersahabat.

“Kenapa tidak wali hakim saja?” tukas Kiran sambil menghindari kontak mata dengan ketiga orang di sana.

“Tidak bisa, Nduk? Selama Bapak kamu ada, tetap dia yang berkewajiban menikahkan kamu dan tak bisa diganti oleh siapa pun.”

Kiran menelan kekecewaan karena menurutnya wali hakim lebih baik dibandingkan harus bertemu dengan laki-laki yang mengaku sebagai bapaknya. Kenapa ujian ini terasa sangat berat? Abah adalah sosok yang menjadi panutannya. Laki-laki yang menjadi cinta pertamanya sejak kecil sampai saat ini. Namun, ketika hendak menikah, bukan Abah yang menjabat tangan Adit. Ada orang lain dan asing menggantikan posisi Abah secara tiba-tiba. Pantaskah Kiran membenci laki-laki itu?

“Jika kamu tak keberatan, nanti Mas yang akan mengantarkan kamu ke rumah orang tua kamu. Kebetulan masih di daerah Solo,” saran Alif berusaha mendamaikan perasaan Kiran yang sedang berkecamuk terlihat dari tubuh perempuan itu yang sering bergerak tak menentu.

“Kiran pikirkan lagi kembali,” sahutnya mengalah karena ia merasa jawaban itu adalah yang terbaik.

“Sudah malam, lekaslah istirahat. Besok banyak yang harus kita kerjakan, mengingat acara pernikahan tinggal beberapa hari lagi. Tolong jangan ungkap lagi masalah ini, biarkan jadi pelajaran kita masing-masing untuk ke depannya. Maafkan Abah dan Umi  karena belum bisa menjadi orang tua yang baik.”

Sebenarnya masih ada kelanjutan lagi yang ingin Abah ucapkan,  tetapi ia mengurungkan. Kiran sendiri merasa tertampar dengan ucapan Abah barusan. Bagaimana dengan dirinya yang belum pernah menjadi yang terbaik di mata Abah? Selama ini hanya jadi beban dan belum pernah membahagiakan mereka, sampai kenyataan yang sebenarnya terungkap.

“Abah dan Umi sudah berbohong dan baru menceritakan sekarang. Padahal Alif sudah mengatakan jika sekarang waktunya tidak tepat, tapi Abah selalu dihantui perasaan bersalah. Biarkan hari ini dijadikan pelajaran untuk kita semua. Setiap masalah pasti bisa diselesaikan jika dihadapi dengan kepala dingin,” imbuh Abah sambil berdiri dan mengajak Umi untuk istirahat, apalagi sekarang terdengar jam antik yang sudah berdentang dua belas kali.

Kiran ikut berdiri kembali ke kamar yang berdampingan dengan kamar  Abah, perempuan itu memutar tubuh menatap pria paruh baya yang hendak masuk kamar. “Abah?”

Abah yang merasa terpanggil kemudian menoleh dan memberikan senyum terbaiknya kepada Kiran. “Ada apa, Nduk?”

“Kenapa Abah sebelumnya tak pernah menolak berjabat tangan dengan Kiran saat hendak salat?”

Pertanyaan itu yang membuat Kiran bertanya-tanya. Coba Abah bersikap seperti tadi dari dahulu, mungkin Kiran akan curiga jika dirinya bukan anak Abah.

“Abah selalu ambil wudu lagi, Abah tetap jaga perasaan kamu, Nduk.”

Lagi-lagi mata Kiran sembab, bahkan air mata kembali menari di pelupuk matanya. “A-Abah tetap ambil wudu beberapa kali setelah Kiran bolak-balik menyentuh Abah?” tanya Kiran dengan menahan mati-matian agar air mata tak jatuh. Bagaimana mungkin, Abah selalu basah oleh air wudu karena Kiran dari dulu suka bergelayut manja di lengan Abah ketika mau salat.

Abah tak membalas hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Terima kasih, Abah. Semoga surga untuk Abah,” balas Kiran sambil menitikkan air mata karena haru. Kiran melangkah masuk ke kamar, sebelum menutup pintu tiba-tiba melihat kakaknya tengah menatap ke arahnya sambil tersenyum dengan hangat. Kiran hanya membalas sekilas saja karena mulai saat ini, ia harus bisa menjaga jarak dengan Mas Alif.

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Keesokan pagi hari, bagaskara muncul dari persembunyian menampakkan sinar hangatnya. Suara riuh para santri bersama Gus Alif di halaman depan masjid tampak sedang bergotong royong membangun sebuah tenda yang besar sama seperti saat kajian akbar digelar. Tenda itu memang nantinya akan  digunakan untuk kajian, saat satu hari sebelum akad putri Pak Kyai. Sementara santri putri juga sudah menyiapkan minuman untuk yang sedang mendirikan tenda.

Kiran tampak berjalan tergesa-gesa melewati sekelompok para santri. Kiran pergi bukan untuk melarikan diri tetapi ia lupa mengganti kartu telepon karena masih memakai kartu buatan Jepang, pantas saja sinyal tidak ada sama sekali. Padahal benda itu sangat dibutuhkan untuk menelepon Adit. Kiran akan mengabarkan jika pernikahan mereka tak jadi ditunda. Kiran masih ingat bagaimana kecewanya laki-laki itu karena keputusan darinya, untung saja tidak ada kata #putus di antara mereka.

Baru tiba di pintu gerbang, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang tengah menatapnya dengan penuh kecurigaan apalagi terlihat dari gelagat tubuhnya. Kiran merasa risi mendapatkan tatapan seperti itu. Untung Mas Alif di belakang sana, kalau tidak pasti sudah diusir oleh Mas Alif.

“Afwan. Apa betul ini dengan Ning Kiran?” tanya laki-laki di sana dengan wajah panik dan cemas.

Kiran menatap belakang dan melihat Mas Alif tengah memperhatikan dari jatuh. “Betul. Maaf, Anda siapa?”

Ada perasaan takut menghadapi laki-laki yang baru ia temui dan tak dikenal, ada trauma sendiri saat masa lalunya.

“Afwan, saya Bayu, teman Adit,” ucap laki-laki itu memperkenalkan diri. Kiran mengingat satu nama yang pernah Adit ucapkan dulu. Saat sebelum pertama kali ke pesantren, Adit pernah singgah ke tempat temannya yang bernama Bayu.

“Ada apa?” tanya Alif yang sedari tadi curiga dengan kedatangan orang asing ini. Oleh  sebab itu,  Alif ikut bergabung daripada bertanya-tanya dari kejauhan.

“Afwan, Gus. Saya Bayu, teman Adit. Ingin mengabarkan jika Adit kecelakaan dan luka parah. Sekarang sedang berada di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif.”

Tubuh Kiran seketika langsung lemas tetapi kedua mata masih terbuka. Apa yang ia impikan semalam ternyata menjadi kenyataan, pantas saja mimpi itu terasa sangat nyata. Namun, yang Kiran paling takutkan adalah Adit  akan meninggalkannya terlebih dahulu, tertutup kain putih seperti dalam mimpinya.

~To be continue~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro