🕊Ucap Perpisahan 🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

💫Terkadang kita memilih diam dan pura-pura tak tahu apa-apa.
Akan tetapi hanya menjadi perasaan agar lebih tenang dan baik-baik saja.💫

Happy reading jangan lupa vote

Kiran sengaja memilih duduk di bangku belakang mobil sambil menyandarkan kepalanya yang terasa berat. Hari ini cukup melelahkan, dua masalah datang bertubi-tubi. Lagi-lagi  bulir bening itu datang kembali, cepat-cepat jemarinya mengusap karena tatapan dari kaca depan terus mengarahnya. Bahkan kadang-kadang tatapan mereka bertemu membuat Kiran lebih memilih memejamkan kedua matanya yang sangat berat.

Keinginan selepas magrib bisa berbaring di kamar yang ia rindukan tetapi kedua mata diharuskan terjaga bahkan terasa letih untuk menitikkan air mata.  Untuk hari ini ia semua pasrahkan sama Allah karena ia sendiri tak tahu harus berbuat apa.

Mobil yang dikendarai Alif sengaja masuk melalui pintu belakang agar nantinya berhenti tepat di tempat tinggalnya. Ia sudah menduga berita kepergian Kiran pergi pasti sudah menjadi trending topik di pesantren. Entah apa yang akan terjadi, jika nantinya semua santri tahu jika Kiran bukan anak kandung Abah. Pasti ini pukulan yang berat untuk adiknya.

Mata Alif melirik ke belakang, ia mendapati Kiran tengah tertidur memeluk jubah miliknya yang ia taruh di belakang. Alif mengamati Kiran yang tertidur pulas, bekas air mata masih tercetak jelas di pipi Kiran.

Alif mengubah posisi menghadap depan, memeluk setir dan membenamkan wajah di sana.

“Masih pantaskah aku di sebut seorang Gus? Begitu pandainya menasihati orang lain untuk selalu taat, sedangkan aku sendiri tidak bisa menasihati hati sendiri yang begitu lancangnya menaruh rasa suka pada sosok perempuan. Apa salah laki-laki seperti aku merasakan jatuh cinta seperti yang lain?” batin Alif.

“ADIT!”

Suara teriakan melengking membuyarkan lamunan Alif. Ia terkejut karena suara itu sangat lantang memanggil seseorang tetapi bukan namanya. Sepertinya Alif paham untuk menyudahi harapannya.

“Ada apa?” tanya Alif menoleh ke belakang melihat Kiran terbangun dari mimpi buruknya. Peluh membanjiri wajah yang sangat panik dan bingung.

“A-Adit, Mas,” ucap Kiran terbata-bata memanggil sebuah nama. Alif berdecak lirih sambil memutar tubuhnya kembali ke depan. Dipegang kembali setir mobil dan dicengkeram erat.

“Kamu mimpi buruk.”

“Tidak, Mas? Mimpi itu seperti nyata. Adit berlumuran darah jatuh dari mobil. Pasti terjadi sesuatu dengan dia,” sangkal Kiran sambil menggoyangkan kursi yang diduduki Alif.

Jangan tanya bagaimana perasaan Alif. Laki-laki itu semakin sadar, ke mana hati Kiran berlabuh. Walaupun ia sudah menyediakan tempat tetapi jika pilihan Kiran jatuh pada yang lain, ia bisa berbuat apa.

“Kamu belum salat Isya, bisa jadi itu mimpi buruk semata. Segera salat, setelah itu temui Abah dan Umi karena beliau masih menunggu kamu,” ucap Alif sambil membuka pintu kemudian ia pergi tanpa menunggu Kiran turun. Ia tak takut jika perempuan itu pergi. Lagian pintu belakang sudah di kunci santri karena sudah larut malam.

Bibir Kiran terus melisankan istigfar, entah mengapa mimpi barusan sangat nyata. Tubuh Adit yang bersimbah darah dan tertutup kain putih. Sebagian orang yang tak ia kenal tampak menangis dan menyebutkan jika Adit sudah tiada. Kiran semakin bersalah, seharusnya ia tak memberikan keputusan yang serba mendadak sebelum dimusyawarahkan terlebih dahulu. Pantas saja Adit tampak kecewa dan pergi begitu saja.

Perlahan tangan menggapai pintu mobil kemudian ia buka, suasana kental pesantren menyambut kedatangannya. Sayup-sayup salawat dan murojaah terdengar dari beberapa santri yang masih bertahan di masjid. Mungkin suasana seperti ini akan ia kenang selamanya,  jika nanti ia sudah tak berada di tempat ini, pasti akan merindukan suasana hangat di pesantren.

Ia berjalan melalui pintu belakang yang terbuka karena  Alif baru saja melewatinya. Melangkah sambil menunduk melewati ruang keluarga yang di sana masih tampak beberapa orang yang masih terjaga.  Namun, Kiran melewatinya karena tujuannya saat ini adalah salat Isya untuk menenangkan hatinya.

Setengah jam berlalu, berharap orang-orang di sana sudah pergi ke tempat masing-masing, sayangnya ketika Kiran membuka pintu semua pasang mata mengarah padanya membuat Kiran mau tak mau bergabung ke arah mereka.

“Kiran  duduklah,” ucap Abah dengan pandangan tak pernah lepas dari sosok putrinya.

Kiran berjalan dengan menunduk, namun ia paham di sini tak hanya ada Abah, Umi dan Mas Alif, masih ada satu perempuan seorang santriwati yang tengah duduk di bawah sambil memijit tangan Umi. Aroma rempah menyeruak di ruangan ini, Kiran menatap botol kaca yang berisi #ramuan minyak urut di atas meja.

Kiran bisa melihat  berapa terpuruknya wanita itu yang tengah berbaring  di atas sofa. Matanya yang basah mengisyaratkan jika Umi terus-menerus menangisinya. Ia memilih duduk di atas lantai,  di bawah kursi Umi yang tengah berbaring, tepatnya di samping santriwati yang tengah menatapnya terkejut.

“Ning,” ucap perempuan itu berusaha mengajak untuk duduk di atas kursi karena masih ada beberapa kursi yang masih kosong, sayangnya Kiran menggeleng lemah sambil menatap bawah.

Alif semakin gusar dan panik, ia mengira Kiran akan mengurungkan niatnya pergi tetapi melihat sikap Kiran barusan, Alif bisa menduga jika ucapan Kiran tadi di taman tidak main-main.

“Pak Kyai? Bu Nyai?” sapa Kiran dengan sangat lirih tetapi masih terdengar orang-orang di sini. Semunya berjingkat sangat kaget bahkan Umi kembali menangis. Ini adalah panggilan yang sangat menyakitkan. Bagaimana tidak seorang anak yang bisa memanggilnya Umi, sekarang menyebutnya lain, sama seperti para santri memanggilnya.

Dada Alif berkecamuk, tubuhnya tak tenang dan gusar. Ia tak mau melihat kelanjutannya karena pastinya Umi tambah terpuruk.

“Kamu ikut saya. Setor hafalan sesuai yang saya perintahkan tadi!” perintah Alif pada perempuan yang duduk di samping Kiran. Terlihat dari raut wajah yang panik dan pasrah, perempuan itu bangkit berdiri sambil menunduk ke arah pasangan paruh baya yang dihormati di tempat ini.

Alif sengaja menghindar agar tak mau melihat kelanjutan Kiran,  dengan memilih menyingkir ke ruangan samping. Walaupun sebenarnya di tempat itu masih bisa mendengarkan pembicaraan di sana.

“Nama kamu siapa?” tanya Alif dengan otak yang masih tertuju pada Abah dan Umi.

“Nama saya Dewi, Gus,” ucap perempuan itu dengan ketakutan. Pasalnya baru kali ini setor hafalan kepada Gus Alif karena setiap harinya Gus Alif bukan pengampu hafalannya melainkan Ustazah Hanifah. Namun, Dewi pasrah karena ini kesalahannya.

“Hafalan sampai juz berapa?”

“Sa-saya baru juz 23.” Entah mengapa hafalan yang sudah melekat di kepalanya tiba-tiba lesap entah ke mana. Padahal ia sudah semaksimal mungkin belajar menghafal.

“Wama 'anzalna 'alaa qaumihiۦ minۢ ba'dihiۦ min jundin min as-sama'i wama kunaa munziliin.” Alif sengaja memancing santriwarinya untuk meneruskan ayat yang barusan ia ucapkan dan setelah itu hafalan Dewi mengalir begitu saja. Jika perempuan itu lupa, Gus juga menuntunnya kembali agar satu juz itu bisa terselesaikan.

“Alhamdulilah, kamu lolos,” ucap Alif dengan bangga ketika perempuan itu menyelesaikan hafalannya.

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Sementara di ruangan samping, Kiran masih duduk di bawah sambil memegang kedua lutut Umi padahal wanita itu terus mengajaknya duduk di samping seperti biasa tetapi selalu ditolaknya. Hati Umi sangat sakit, anak perempuan yang suka duduk dan bermanja tiba-tiba memilih menjaga jarak.

“Sebelumnya saya minta maaf atas sikap saya selama ini di pesantren. Insyaallah saya akan membalas kebaikan Pak Kyai dan Bu Nyai selama ini. Izinkan saya untuk pergi karena saya tak pantas berada di pesantren ini,” ucap Kiran dengan berderai air mata.

Abah menarik napas panjang karena rasa sesak  di dadanya. Bagaimana mungkin ia melepas Kiran begitu saja, entah apa yang akan terjadi dengan istrinya nanti. “Sudah mantap dengan keputusan kamu itu?”

Kiran mengangguk. “Insyaallah, Pak Kyai.”

Dada Umi bergetar karena tak kuasa menahan tangisnya yang sudah menjadi. Ia menatap Abah yang matanya terpejam dengan kepala menghadap atas bersandar pada kursi.

“Silakan pergi jika kamu lebih bahagia di luar sana bukan di pesantren, Umi ikhlas,” tukas Umi dengan suara bergetar membuat Abah dan Kiran terkejut bukan main. Alif sendiri yang ikut mendengar, menyayangkan keputusan Umi.

¤To be continue ¤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro