🕊Saling Menerima🕊

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Jika memang namanya yang tercatat di takdirnya, maka Allah tahu kapan menempatkan nama yang sesungguhnya dalam hatiku. Dan aku yakin, tidak akan ada keraguan dalam langkahku~

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Happy reading jangan lupa vote

Kiran menatap kakaknya berharap ini adalah candaan semata agar Abah terhibur. Namun, melihat kontak mata Mas Alif yang tak berkedip menyiratkan jika laki-laki itu penuh keseriusan.

“Apa maksud Mas Alif?” Kiran balik bertanya. Raut wajah tidak suka terpancar jelas di wajah Kiran. Abah dan Umi saling bertatap muka karena saking terkejut dengan keputusan putra kandungnya secara tiba-tiba. Untung saja dua santriwati tadi langsung pergi, sehingga tidak tahu masalah yang terjadi di keluarga ini.

“Saya yang akan menikah dan saya yang akan menjadi mempelai laki-lakinya,” balas Alif sambil memberikan senyum hangat pada adiknya.

Seketika Kiran menggeleng keras sambil perlahan bangkit setelah berlutut di depan Abah. “Tidak. Ini tidak boleh terjadi,” sahut Kiran sambil memegang kepalanya yang tertutup kerudung.

“Maaf, Mas terpaksa ambil keputusan ini. Demi menyelamatkan nama baik Abah,” terang Alif sambil mendekati Kiran yang mencoba menghindarinya.

“Batalkan saja, Mas?” tolak Kiran masih bersikukuh pada pendiriannya.

Gantian Alif yang menggeleng menolak keras. Ia tak mungkin membuat nama Abah buruk, mengingat yang diundang nanti adalah para Ulama dan Kyai pemilik pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

“Tidak. Keputusan Mas tidak dapat diganggu gugat,” balas Alif dengan mantap dan wajah yang sangat serius.

Kiran berlari hendak menuju pintu keluar dari belakang. Namun, suara Abah sudah menggelegar membuat kaki Kiran seketika berhenti. “Patuhi perintah Abah dan Mas kamu!”

Kiran melangkah terseok menuju teras belakang rumah. Tubuh bergetar karena isak tangis. Air mata di wajahnya sama saja derasnya dengan hujan siang ini. Hatinya hancur lebur. Bayangan Adit yang sedang berjuang melawan sakitnya kembali terlintas di otaknya. Andai saja tadi mengikuti saran Mas Alif ikut menyusul ke Semarang mungkin tak ada keputusan secara tiba-tiba seperti ini.

Derap langkah di belakang tak membuat Kiran berpaling karena tahu siapa sosok di belakangnya. Ia mengusap air mata dengan punggung tangan bersiap untuk pergi. Namun, suara lembut itu membuat tubuh Kiran terpaksa mengurungkan niatnya, tapi masih enggan menatap ke belakang.

“Dek, dengarkan Mas Alif dulu.”

Sekali lagi Alif memanggil dengan panggilan seperti itu,  membuat Kiran mau tak mau mengubah posisi tubuhnya. Sayangnya, Alif berdiri tepat di belakang Kiran  sehingga mereka saling berhadapan sangat dekat.

Di bawah hujan yang terus membasahi bumi, Alif menjelaskan dan meyakinkan Kiran jika keputusan yang diambil adalah keputusan paling tepat. Kapan lagi mereka bisa membahagiakan Abah dan Umi? Mengembalikan senyum mereka kembali seperti satu jam yang lalu, sebelum Kiran berlutut dan minta maaf pada Abah. Kiran mengangguk dan pasrah terhadap keputusan kakaknya.

“Kamu ikhlas ‘kan?” tanya Alif menatap manik mata hitam milik Kiran dengan lekat.

Kiran mengangguk sambil mencoba tersenyum. Alif membalas senyuman itu lebih hangat.

“Masuk yuk, Dek,” ajak Alif sambil mengarahkan tangan kanan di depan Kiran mempersilakan untuk masuk kembali ke rumah.

“Nanti kalau sudah menikah jangan panggil kaya gitu lagi,” sungut perempuan itu sambil cemberut. Alif tertawa lirih, cuma dia yang bisa menghentikan kesedihan Kiran yaitu membuatnya jengkel, pasti duka itu langsung berganti dengan bibir Kiran yang dimajukan beberapa senti.

═════⊰◍●❁  𝒮𝓉𝒶𝓎 𝓌𝒾𝓉𝒽 𝓂𝑒  ❁●◍⊱═════

Waktu bergulir begitu cepat, besok adalah satu hari sebelum acara hajatan digelar. Sikap Abah sudah mulai melunak kepada Kiran, walaupun belum sepenuhnya total bisa kembali semula. Sikap Kiran seperti kemarin masih sedikit menoreh kecewa di hati Abah. Saking emosi membuat pria yang disegani di lingkungan pesantren hampir mengucapkan sesuatu hal yang sangat tabu untuk diucapkan.

Panggung utama sudah didekorasi begitu cantiknya karena besok akan ada pengajian sebelum pernikahan. Kali ini Alif menyerahkan sepenuhnya pada Kiran karena untuk hal ini Alif angkat tangan. Santri putri banyak membantu Umi mengurus keperluan, agar nantinya bisa menghidangkan makanan #lezat saat acara hajatan.

Kiran kali ini berdiri di depan panggung, ada rasa kecewa menyelinap di dada. Ingin berandai lebih jauh tetapi takut dijatuhkan kembali seperti sekarang. Sebuah gulungan kertas kecil jatuh tepat mengenai kepala Kiran membuat perempuan itu mengaduh dengan kesal. Siapa lagi kalau bukan kakaknya yang terkenal jahil. Entah mengapa,  sejak peristiwa kemarin, Mas Alif yang terkenal pendiam, sekarang lebih ceria dan senyum juga selalu tersungging di bibir laki-laki itu. Tatapan Kiran tertuju pada mata Mas Alif yang terlihat sayu, mungkin saja efek terlalu lelah mempersiapkan pernikahan yang sudah di depan mata.

“Mas punya kabar bagus untuk kamu,” tukas Alif sambil mengambil sesuatu di saku baju koko.

“Apa?” tanya Kiran dengan malas. Kakaknya mengganggu saja padahal tadi bayang-bayang Adit berhasil menghiasi pikirannya.

“Ada syaratnya,” balas Alif dengan senyum jahil.

“Heh, sejak kapan pakai syarat segala,” timpal Kiran kembali dengan wajah cemberut.

“Oke, Mas tidak jadi menunjukkan kabar bagus,” goda Alif sambil pura-pura pergi padahal ia ingin membuat Kiran penasaran saja.

“Mas?” panggil Kiran dengan nada merayu membuat Alif berbalik dan tersenyum penuh kemenangan.

“Bilang dulu kalau kamu sayang Mas.”

Kiran wajahnya berubah kesal.  Sejak kapan Mas Alif jadi bucin seperti ini. Tubuh Kiran bergidik ngeri membayangkan yang tidak-tidak. “Ogah.”

Rasa penasaran itu datang kembali karena Alif masih memamerkan ponselnya membuat Kiran menyerah. “Kiran sayang sama Mas Alif. Sudah mana ponselnya,” rengek Kiran merebut ponsel milik kakaknya.

Alif tersenyum mendengar ucapan Kiran. “Seandainya dari dulu bilang seperti itu mungkin tak berlarut-larut dalam kesedihan,” batin Alif.

Senyum terpancar dari bibir Kiran, ia tak menyangka dengan apa yang ia lihat di ponsel kakaknya. “A-abah sudah tahu?”

Alif mengangguk sambil membalas senyum Kiran, apalagi sekarang perempuan itu tengah berlompatan menyambut bahagianya. Kiran memang bukan Ning seperti pada umumnya, dia berbeda. Namun, dari perbedaan itu membuat Alif bahagia memiliki Kiran.

“Mas, ada sesuatu yang sekarang harus aku beli, besok sudah tak boleh pergi mengingat besok pengajian dan tamu juga sudah pada datang,” sahut Kiran bermaksud meminta izin.

Alif mengernyit sambil berpikir keras. Ia menoleh ke arah Abah yang sedang berjalan mendekati mereka. Tanpa bertanya pada Abah, pasti beliau melarang Kiran untuk pergi. Biasanya orang yang akan menikah selalu ada saja cobaan datang. Alif tak ingin pernikahannya batal karena terjadi sesuatu yang buruk dengan Kiran.

“Abah, Alif mau mengantar Kiran sebentar ke supermarket karena masih ada sesuatu yang harus dibeli,” ucap Alif dengan sedikit takut karena perubahan wajah Abah.

“Kalian sebentar lagi akan menikah, tak baik terus berduaan. Apalagi masih keluyuran di luar,” elak Abah keberatan mereka pergi keluar. Apa kata orang-orang karena mereka sudah waktunya dipingit.

“Satu jam saja, setelah itu kita balik lagi ke pesantren,” balas Abah terpaksa membiarkan mereka pergi. Apalagi sekarang sudah ada Salim yang ingin bertemu dengan Abah mengingat pemuda itu didaulat sebagai ketua panitia untuk acara besok.

****

Alif memilih menunggu di mobil saja karena enggan keluar. Bukan tak ingin menemani Kiran belanja, tapi karena Alif hanya memakai kaos pendek saja mengingat tak ada rencana untuk pergi. Alif memilih memejamkan mata sekejap saja karena fisiknya sudah meminta untuk diajak istirahat.

Di dalam supermarket, Kiran memilih barang secepat mungkin karena hanya diberi waktu satu jam saja. Setelah membayar di kasir, buru-buru keluar dikarenakan sedari tadi ponsel di tas berdering. Siapa lagi kalau bukan Mas Alif karena sosok kakaknya selalu tepat waktu jika sudah berjanji.

“Tidak sabar banget sih,” gerutu Kiran sambil mencari ponsel di dalam tasnya yang menyelip di kantong dalam tas. Kiran yang sedari tadi mencari ponsel tak melihat jalan di depan sehingga menabrak seseorang. Sebuah botol air mineral tumpah membasahi lantai depan supermarket. Kiran terbelalak kaget sambil meminta maaf pada pria paruh baya yang ia tabrak.

“Maaf, Pak. Biar saya ganti,” ucap Kiran sambil berbalik masuk kembali ke supermarket.

“Tidak usah, Nduk?”

Kiran berbalik karena terkejut dengan panggilan barusan. Ia mengamati sosok tersebut yang sepertinya ia pernah lihat tetapi entah di mana. Mungkin saja mereka pernah ketemu tapi tak tahu kapan.

“Tidak perlu. Tidak apa-apa. Bapak juga sudah minum,” tukas pria itu menyadari kesalahan dalam memanggil.

Kiran undur diri sambil sekali lagi minta maaf. Sedangkan pria paruh baya tersebut terus melihat  Kiran sampai melesap masuk mobil. Pria itu tersenyum sambil berucap lirih, “Tunggu Bapak di acara akad besok, Nduk?”

♡To be continue ♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro