39. Masa Lalu Yang Mengintip

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Megan tak berhenti berjalan mondar-mandir di tengah ruang kerja Mikail. Kedua tangannya saling meremas satu sama lain. Kegelisahan tak berhenti menguasai dadanya. Kenapa pria itu masih saja datang mengganggu kehidupannya. Seolah semua derita yang menemani sepanjang perjalanannya menjauh dari kehidupan Mikail masih belum cukup dijadikan hukuman baginya.

"Karena dia lebih segala-galanya dariku dan memutuskan untuk memilihnya, bukan?"

"Kalian perlu belajar, bahwa apa yang kalian inginkan terkadang tak bisa didapatkan. Meski dengan cara yang sangat sulit sekalipun. Dan akulah yang akan mengajari dan memastikan kalian berdua memahami pelajaran yang satu ini."

Megan membanting pantatnya dengan keras di sofa, remasan di kedua tangannya semakin menguat dan keduanya kakinya bergetar dengan hebat.

Bayangan ketika tubuhnya dibanting dengan keras di dinding, kedua tangannya dicengkeram dengan keras hingga nyaris meremukkan tulang pergelangan tangannya. Dipaku di atas kepalanya dengan kekuatan penuh. Rintih kesakitannya tak dipedulikan oleh pria itu. Yang bergerak menghimpit tubuhnya hingga ia kesulitan bernapas. Dan udara yang masih tersisa di paru-parunya pun direnggut habis-habisan ketika pria itu melumat bibirnya. Melumatnya dalam-dalam dan semakin panas. Hingga ia benar-benar kehabisan napas dan pria itu melepaskan pertautan bibir mereka, membuat Megan megap-megap berusaha mendapatkan udara sebanyak mungkin.

"Aku akan menghancurkanmu. Jika aku tak bisa memilikimu, maka akulah satu-satunya yang akan menghancurkanmu."

Ancaman itu bergema di kepalanya. Ia baru saja kembali di hidup Mikail, dan seolah batu besar langsung menghadang langkahnya. Menutup masa depan yang memang sudah buram di hadapannya.

Marcel Matteo, tak akan membiarkannya lolos jika tahu dirinya kembali berkeliling di dunia Mikail. Apalagi kembali terjebak dalam pernikahan kedua mereka. Ada banyak alasan kenapa pernikahan ini harus terus tersembunyi rapat-rapat dari siapa pun. Jika tidak, setelah mengetahui tentang Kiano, Marcel akan mengalihkan perhatian pria itu pada Kiano. Tidak, mereka tak mungkin meletakkan Kiano berada dalam bahaya.

***

Keheningan di ruang makan itu bertahan dalam satu menit yang penuh. Keduanya saling melemparkan tatapan membunuh. Memastikan tak akak mengalah pada masing-masing.

"Sama seperti urusan kita tak akan menjadi urusan Megan, urusan kami juga bukan urusanmu, Marcel," desis Mikail penuh peringatan yang tajam.

Marcel tertawa, terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat. Yang membuat wajah Mikail semakin mengeras. Hingga tawa tersebut terhenti, menyisakan ketegangan di udara antara mereka. Marcel terlihat begitu santai dan terlalu tenang menghadapi sang saudara yang begitu tegang. Seringai tersungging tajam melihat kedua kepalan Mikail di sisi tubuh sang saudara tercinta.

"Dan urusanku dan Megan tak akan menjadi urusanmu, kan?" Seringai tersungging di salah satu ujung bibir Marcel, beserta kelicikan yang berkilat di kedua mata pria itu.

Mikail menggeram, menggebrak meja makan hingga piring yang memenuhi permukaan meja bergetar hingga bergeser ke samping. Marcel sengaja membuatnya terusik dengan kata-kata pria itu dan harapan tersebut terkabul. Kata-kata Marcel berhasil membuat dadanya menggerung marah akan kata-kata tersebut. Dengan bibir yang menipis tajam, pria itu mendesiskan kalimat penegasannya. "Tidak. Semua urusan tentang Megan akan menjadi urusanku."

Tentu saja kalimat tersebut malah membuat Marcel terbahak. "Kau tak berubah, Mikail. Masih saja melemah jika berhubungan dengan Megan."

"Pergilah, Marcel. Sebelum aku menyuruh orang-orangku untuk menyeretmu keluar," ancam Mikail tak main-main.

Marcel masih terbahak untuk sejenak, sampai tawa pria itu benar-benar berhenti dan keseriusan tertampil di wajahnya. "Baiklah. Aku akan mengatakan apa yang kuinginkan?"

Mikail terdiam, menekan kuat-kuat amarah yang semakin meruncing. Memberi kesempatan untuk bicara.

"Aku ingin kembali ke perusahaan."

Kedua mata Mikail melebar, terkejut dengan keinginan sang saudara yang begitu tiba-tiba. Dan tak mampu menahan kecurigaan yang mengentali tatapannya.

"Aku sudah mulai bosan melakukan hal-hal yang tidak berguna. Sepertinya aku sudah cukup bersenang-senang dengan hidupku dan memutuskan untuk berhenti."

"Kenapa begitu tiba-tiba?" Tatapan Mikail menyipit. Tak melepaskan tatapannya yang masih melekat kuat pada sang saudara.

"Kenapa?" Salah satu alis Marcel terangkat. "Kau terlihat terkejut yang mengarah ke tidak setuju ketika aku memutuskan untuk berhenti bermain-main. Kau tak mungkin berpikir aku akan membuang seluruh hidupku untuk berada di bawah bayang-bayangmu, kan, Mikail?"

Mikail mengerjap sekali. Mencerna kalimat Marcel sekali lagi dan tampak mempertimbangkannya untuk sejenak. "Aku akan mengurusnya dalam tiga hari."

"Satu hari?"

"Kau tak bisa mengejutkan kami para dewan direksi dengan kehadiranmu yang begitu tiba-tiba, Marcel."

"Kaulah si pemegang keputusan, Tuan Presiden Direktur." Marcel sengaja menyelipkan nada mengejek dalam suaranya.

"Tetap saja itu tak memberiku hak untuk bersikap sesuka hatiku. Aku tetap harus profesional jika itu berhubungan dengan perusahaan."

Seringai Marcel tersungging lebih tinggi. Tatapannya menatap lurus kedua mata Mikail dalam-dalam. "Ah, apakah itu alasan yang kau gunakan untuk membawa mantan istrimu ke dalam perusahaan?"

Wajah Mikail seketika kembali mengeras. Sekali lagi mendobrak meja dan kali ini sendok dan garpu yang diletakkan di pinggiran meja oleh Marcel jatuh ke lantai. Menciptakan bunyi denting yang bergema memenuhi seluruh ruangan. Di antara ketegangan di antara kedua saudara kandung tersebut.

"Ada alasan Megan mendapatkan dan menerima penawaran kami. Dan semua itu semata-mata karena dia memang begitu profesional. Begitu pun dengan kami. Keputusan kami memilihnya dengan banyak pertimbangan yang matang. Yang sama sekali tak ada hubungannya dengan urusan pribadiku dan Megan."

Bibir Marcel memberengut, mendengarkan dengan saksama sebelum memutuskan untuk mengangguk dan menerima apa pun alasan dan dalih yang dikatakan oleh Mikail. "Kau tak perlu seemosional itu, Mikail. Aku hanya mengatakan apa yang muncul di benakku."

Raut wajah Mikail membeku, mengedip sekali dan kembali menatap wajah Marcel. Menyadari emosinya yang terlalu berlebihan. "Tiga hari," putusnya tegas. "Dan kau perlu membuktikan pada kami kinerjamu terlebih dulu untuk meyakinkan para dewan direksi bahwa kau layak kembali ke perusahaan."

Masih dengan senyum yang mengembang di wajahnya, Marcel mengedikkan bahunya dengan ringan. "Tak masalah," jawabnya dengan tenang. "Kalau begitu aku akan datang dalam tiga hari."

"Tidak. Aku yang akan menemuimu. Jangan pernah menginjakkan kakimu di rumah ini, Marcel. Kau tak berhak menginjakkan kaki di rumah ini, setelah semua yang kau lakukan pada kami."

Marcel terdiam, dengan tatapan keduanya yang saling mengunci satu sama lain. Kemudian mengangguk. "Baiklah. Tapi... itu yang ingin kubicarakan denganmu. Aku butuh satu unit apartemen di gedungmu."

Mikail mengangguk tanpa ragu untuk mengiyakannya.

"Di gedung Royal Gold," tambah Marcel kemudian. Yang seketika membekukan wajah Mikail.

Royal Gold adalah nama gedung apartemen tempat Megan tinggal, hingga tadi ia menjemput wanita itu di sana. Matanya seketika memicing curiga, mencoba mengelupas emosi dan tujuan sang saudara kembar menginginkan tempat itu. Apakah Marcel tahu di mana Megan tinggal?

Senyum Marcel naik lebih tinggi, menangkap dengan jelas tanya yang muncul di benak Mikail.

"Kau cemburu kami tinggal di tempat yang saling berdekatan?"

Mikail kembali menata ekspresi wajahnya seapik mungkin. Marcel jelas telah menyelidiki beberapa hal tentang Megan, yang luput dari pengamatannya.

"Menjauhlah darinya, Marcel. Kau tak berhak kembali ke hidupnya."

Marcel tersenyum. "Dan kau lebih berhak dariku?"

Mikail terdiam.

Marcel bangkit berdiri, berjalan memutari meja makan dan menghampiri sang saudara. "Jika kau memiliki hak kembali ke hidupnya, aku pun demikian, Mikail. Ingat?"

Mikail tetap bergeming. Bahkan ketika Marcel berdiri di sampingnya, menepuk pundaknya. "Jika kau tidak mendapatkan tempat itu untukku, aku yang akan mendapatkannya untuk diriku sendiri. Dan kau tahu kerumitan apa yang menunggu kita bertiga, ah tidak. Kita berempat. Kita memiliki anggota baru, bukan?"

Wajah Mikail semakin menggelap dengan ancaman Marcel, tetapi ia tak bisa bersikap sembrono yang pada akhirnya akan membahayakan Kiano dan Megan.

"Juga, aku akan datang di pesta perusahaan yang ke 20. Aku akan membuktikan kualitas diriku dengan meyakinkan para pemegang saham, bahwa aku akan memenuhi kriteria mereka. Memastikan mereka semua tak punya dalih untuk menolak keberadaanku."

Mikail masih bergeming, kegelapan di raut wajahnya semakin memekat. Akan tetapi ia tak memiliki daya untuk menentang keinginan adiknya tersebut. Tekad adiknya sudah bulat dan membantah hanya akan membuang waktu dan tenaganya untuk hal tidak penting lainnya yang akan menyusul. Adiknya jelas pembuat onar yang sangat lihai dan licin seperti ular. Ia sedang butuh ketenangan, dengan rumah tangganya yang baru saja kembali terbangun.

"Malam ini aku ingin tidur dengan nyenyak di sana. Kau bisa mengirim salah satu bawahanmu untuk mengurusnya nanti sore. Aku akan mengirim tempat di mana kami akan bertemu nanti. Sekarang aku sedang ada sedikit urusan dengan temanku." Sekali lagi Marcel menepuk pundak sang kakak. Sebelum kemudian meninggalkan Mikail dalam keterpakuan.

Mikail baru saja keluar dari ruang tamu ketika dua pengawalnya datang menghadap dengan penuh sesal. "Maafkan kami, Tuan. Tuan Marcel ternyata menyusup lewat pagar di halaman belakang."

Mikail hanya mendesah pendek. Tak pernah memperkirakan adiknya akan senekat itu untuk menerobos masuk rumahnya dengan menaiki pagar dinding setinggi tiga meter di halaman belakangnya, yang entah dengan menggunakan apa. Pantas saja ia melihat beberapa luka di tubuh Marcel, yang pasti didapatkan Marcel dari pecahan kaca dan duri besi yang ada di puncak dinding pagarnya. "Mulai hari ini, tingkatkan keamanan tiga kali lipat. Pastikan ada orang yang berjaga di halaman belakang tanpa melewatkan sudut manapun di setiap jengkal rumah ini."

"Baik, Tuan," jawab kedua pengawal itu secara bersamaan.

Dan belum sempat Mikail melanjutkan perintah selanjutnya, suara benda pecah dari arah pintu kamar Alicia mengalihkan perhatian Mikail.

Mikail pun bergegas berlari untuk melihat apa yang terjadi. Akan tetapi pintu kamar wanita itu dikunci dari dalam, yang membuat kepanikan Mikail semakin bertambah. Pria itu mengetuk pintu dengan kerasa dan memanggil-manggil nama wanita itu. "Alicia? Alicia?! Alicia!!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro