21. Menyendiri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah lebih dari dua hari, Erland terus mengurung dirinya di kamar. Linda sampai dibuat kebingungan mengapa anaknya bisa seperti itu. Dia terus berusaha mengobrol dengan Erland, tapi selalu ditolak mentah-mentah.

Ia hanya akan makan saat malam tiba. Selanjutnya, Erland lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar.

"Yah, Erland kenapa sih? Dari kemarin gak mau keluar. Kalau ditanyain cuman nganggukin kepala doang."

"Gak tahu, Ma. Paling juga ada masalah sama temen-temennya." Dari semua anggota Erland, hanya Wijaya yang tampak santai. Seolah-olah masalah Erland sangat kecil. "Nanti dia bakal ceria lagi kalau masalahnya udah selesai."

"Apa gak sebaiknya Ayah tanyain aja? Aku khawatir kalau terjadi sesuatu sama dia."

Wijaya menghela napas panjang. Anaknya itu memang suka sekali mencari masalah. Membuat Wijaya repot saja. Jika Linda sudah khawatir seperti ini, maka ia harus segera bergerak agar istrinya tidak lagi cerewet.

"Ya udah, Ayah pergi ke kamarnya dulu."

"Sekalian ajak makan ya, Yah. Dari tadi dia belum makan."

"Iyaaa."

Pintu diketuk dengan tidak sabaran. Erland yang saat itu tengah melamun terusik dengan suara pintu tersebut. Mau tak mau, ia harus bangkit karena mendengar suara gedoran disertai panggilan namanya.

"Ada apa?" tanya Erland malas. Hatinya sudah sakit, eh Wijaya malah datang ke sini. Marah-marah pula.

"Ngapain di kamar terus?" Bukan pertanyaan lembut yang dilayangkan, tapi sarkas dan penuh intimidasi.

Jika boleh jujur, Erland tidak akan membuka pintu untuk Wijaya andai saja mereka bukan Ayah dan anak.

"Gak papa," jawabnya singkat. "Ayah kenapa datang ke—"

"Ada masalah sama pacar kamu?"

Deg.

Tebakan itu benar. Bahkan tidak melenceng sekalipun.

"Nggak." Terpaksa Erland berbohong. Dia sudah tahu akhirnya akan seperti apa.

"Lemah. Cuman karena cewek aja sampai ngurung diri di kamar."

Lemah? Tidak-tidak. Erland tidak seperti itu. Dia hanya ingin mengurung diri di kamar agar tidak menyakiti orang lain hanya karena emosi sesaat.

"Terserah Ayah aja mau bilang kayak gimana." Sekarang ia pasrah, mau disebut apa pun, Erland terima. Asal Wijaya cepat keluar dari sini.

"Cepet keluar. Mamamu nyuruh makan."

"Nanti."

"Awas aja kalau nggak keluar."

Helaan napas Erland terdengar begitu Wijaya sudah hilang dari pandangan. Bukannya ikut menenangkan, ucapan Wijaya malah menambah beban tersendiri di kepala Erland.

"Erland."

Kakinya berhenti bergerak mendengar namanya disebut. Rupanya ada Marta di belakangnya. Wanita itu tampak membawa makanan dan segelas air putih.

"Iya, Bi?"

Marta berjalan, meletakkan makanan di meja dekat tempat tidur. Erland bahkan sampai tidak menyangka akan dibawakan seperti ini.

"Makan dulu, ya? Dari tadi Mama kamu sedih karena kamu gak makan."

Erland membuang pandangannya ke samping. Bagaimana dia mau makan jika kesedihan itu terus hadir di benaknya?

Luka yang digores Vina benar-benar membuat kehidupan Erland berantakan. Tidak ada gairah hidup lagi.

"Gak harus semuanya, Land. Cukup 2-3 sendok aja. Supaya tubuh kamu ada energinya." Erland terenyuh mendengar penuturan itu. Padahal Marta hanya teman ibunya dari jauh. Tapi perhatiannya melebih Linda.

Tanpa diketahui keduanya, sepasang mata mengintip mereka dari luar.

Berkat Marta, Erland berhasil menghabiskan separuh makanan di piringnya. Memang tidak membuat masalahnya hilang, tapi setidaknya energi Erland sudah terisi penuh.

"Tante tinggal dulu, ya. Kalau ada apa-apa panggil aja."

"Iya, Tan."

Sepeninggal Marta, Erland mencoba mencari ponselnya. Tapi pergerakannya itu terhenti karena mendengar suara langkah seseorang. Saat dilihat, ada Naina yang tampak membawa segelas teh hangat di tangannya.

"Ngapain lo di sini?"

- To Be Continued -

sarkas bet wkwk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro