1. Ekspetasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo serius putusin Mas Agam?" tanya Salma--sahabat Bina.

Bina berdecak. "Iya, Ama! Ngapain gue boong coba? Lagian salah dia sendiri terlalu ngekang ini itu sama gue. Udah tahu gue nggak suka dikekang."

"Tapi kalo dia sakit hati gimana, Bin?" seru Catra--sahabat lelaki Bina satu-satunya.

"Justru bagus, biar dia sadar diri kalau dia nggak cocok sama gue."

Salma dan Catra hanya geleng-geleng kepala mendengarnya. Mereka, terutama Salma tak habis pikir mengapa sang sahabat dengan mudahnya melepas seorang Agam yang notabenenya adalah lelaki incaran para wanita di luar sana.

Benar, Salma ingin menyukai Agam. Namun, sial. Agam adalah kakaknya. Sialnya juga, Agam memilih Bina daripada wanita lain. Entah apa yang disukainya dari Bina, padahal jika dilihat dari sisi mana pun, jelas masih banyak yang lebih baik yang tidak merokok dan aman dari minuman keras.

Duk

"Gaya lo kayak lagi mikir keras!" ketus Bina sembari menimpuk kepala Catra dengan buku yang ia gulung.

Lelaki tersebut mendelik tajam. "Nggak sopan!"

Bina berdecih. "Nggak usah sok imut gitu, deh! Jijik gue lihatnya."

"Salma! Urus tuh pacar lo, suruh biar jadi laki seutuhnya!" Bina bangkit dan pergi begitu saja.

Salma menghela napas sembari mengusap punggung tegap Catra. Benar, keduanya berpacaran. Namun, sayang, selama mereka berpacaran, selama itu pula Bina menjadi kompor gas. Ah, tidak. Atau lebih tepatnya kambing hitam dalam hubungan mereka.

Terlebih melihat sikap Catra yang sedikit kemayu, membuat Bina memiliki alasan utama untuk mengerjai kedua pasangan itu. Bina tidak iri, hanya malas melihat kedua orang itu bermesraan tepat di depan matanya. Menggelikan sekali.

***

Universitas Southern California adalah tujuan utama Bina agar bisa keluar dari rumah dan pergi dari Kota yang membesarkannya. Benar, Bina mengajukan diri untuk mendapatkan beasiswa pendidikan di Los Angeles, Amerika Serikat. Berbagai jenis seleksi pun sudah ia lakukan beberapa bulan sebelum pengumuman diumumkan.

Bukan karena orang tuanya yang tidak mampu membiayai pendidikan Bina. Hanya saja, mereka yang tidak mau Bina bersekolah terlau jauh apalagi sampai keluar Negeri. Namun, Bina tetaplah Bina. Gadis keras kepala yang merasa bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang tuanya sekalipun.

Berjalan menuju sebuah ruangan tak hentinya membuat jantung Bina berdegup dengan kencang. Keringat dingin rasanya mulai mengalir dari ujung kepala hingga ujung kaki. Langkah cepatnya terus membawa ia selangkah lebih cepat menuju tempat yang dituju.

"Gue pasti lolos," gumamnya menguatkan batinnya yang mulai goyah. Apalagi saat mendengar setiap mahasiswa yang dilewatinya. Mereka terang-terangan mengatakan jika Bina tak akan lolos. Hari ini mereka aman dari kepalan tangan Bina, tetapi lain hari jangan harap bisa bernapas lega.

Ia memasuki ruangan yang kira-kira sudah diisi oleh beberapa orang sesama mahasiswa. Mereka menatap Bina ngeri. Tidak salah lagi, sang biang onar memasuki ruangan yang sama berarti bahaya sudah di depan mata.

Bina sedikit mengumpat karena kursi bagian depan sudah terisi. Dengan cepat ia pun memilih duduk di bagian belakang. Tangannya mengepal melihat siapa yang masuk ke ruangan itu.

Arkatama Agam Sangkara. Lelaki yang kemarin malam ia putuskan, kini berdiri di depan bersama dua orang lelaki bule lainnya yang merupakan dosen perwakilan dari Universitas Southern California.

Mengapa harus lelaki tua bangka itu? Bina mendelik saat matanya bersitatap dengan Agam. Berbeda dengan para gadis lain yang terlena dengan pemandangan tiga lelaki tampan itu. Apalagi dengan kedatangan seorang CEO Sangkara's Company yang mendapatkan julukan bujang terpanas tahun ini.

"Sepertinya kalian sudah tidak sabar dengan pengumumannya." Agam mulai membuka suara membuat para gadis tersadar akan tingkah konyol mereka memerhatikan sang CEO dengan mupeng.

"Sebelumnya, ada yang belum mengenal saya?" tanya Agam.

"Cih, sok akrab. Dasar tua bangka."

"Siapa itu?" Agam mengedarkan pandangan memastikan siapa yang mengatakan demikian padanya.

"Ya, sudahlah. Kita langsung saja, ya." Agam sedikit tersenyum tipis melihat sang mantan yang meliriknya. Tanpa mendapat jawaban pun, Agam sudah tahu siapa yang berani berkata demikian padanya.

"Perkenalkan, Saya Agam. Kedua rekan saya ini adalah dosen perwakilan dari Universitas Shouthern California," ucap Agam dalam bahasa inggris. Kedua dosen tampan itu tersenyum.

"Mr. Alex yang merupakan dosen komunikasi ... dan Mr. Lucas adalah dosen arsitektur kebanggaan Southern California." Agam menjelaskan membuat semua calon mahasiswa mengangguk mengerti.

"Tanpa perlu berlama-lama. Saya akan langsung saja menyebutkan siapa saja yang akan menjadi mahasiswa di Universitas Southern California. "

Kembali jantung Bina berdegup cepat. Ia terus berusaha berdoa seingatnya. Meski hatinya sendiri tak yakin akan ada kabar baik, tetapi setidaknya Bina sudah berusaha dan tawakal.

"Dari dua puluh mahasiswa S1 yang mengikuti seleksi, hanya akan ada lima orang yang berhak mendapat beasiswa S2 di LA. Lima orang tersebut adalah orang-orang terpilih yang mendapatkan nilai terbaik di kampus, juga hasil seleksi yang cukup memuaskan," jelas Agam dengan pandangan tak lepas dari Bina.

"Langsung saja, ya. Lima mahasiswa tersebut adalah ...." Bina memejamkan mata kuat-kuat. Semoga ini adalah rezekinya. Semoga semua yang ia harapkan terwujud.

"Selamat untuk, Rafa Trana." Tepuk tangan menggema menyambut sang ketua kelas Bina sebagai orang pertama yang berhasil lulus seleksi.

Bina menghela napas. Tinggal empat kesempatan lagi. Bisakah?

"Kedua, selamat untuk ... Sabrina Alfiana."

Bina membuka matanya cepat. Siapa itu Sabrina Alfiana? Dari samping tempat Bina duduk, tiba-tiba berdiri seorang gadis dengan rambut sebahu yang tersenyum pada Bina. Sial! Ia kira dirinya, tetapi ternyata Sabrina yang lain.

"Ketiga, selamat untuk ... Nadiayu Sartika Masayu."

Lagi, Bina mulai pasrah. Jika dirinya tidak lolos. Mungkin memang Bina harus pasrah saja.

"Selanjutnya, mahasiswa dengan nilai kedua terbaik diraih oleh ... Bagas Wirtanto."

Bagas tampak begitu semangat maju dan berdiri dengan ketiga orang lainnya. Bina menatap satu persatu orang itu. Kini, tinggal satu slot lagi yang tersisa. Apakah Bina atau orang lain?

"Terakhir, mahasiswa dengan nilai tertinggi tahun ini adalah ... Vanny Al-Hasan."

Gugur sudah. Bina tak lolos. Sakit di dada menyeruak membuat Bina mengepalkan tangan tanpa sadar. Setelah dipersilakan keluar ruangan, Bina langsung pergi setelah sebelumnya menendang kursi hingga terjatuh dan membuat beberapa orang terkejut. Bina menuju kantin menemui kedua sahabatnya yang semoga saja masih berada di sana.

Belum sempat sampai di kantin. Kepalanya menoleh melihat Agam yang tengah bersalaman ria dengan dua orang dosen tadi.

"Terima kasih sudah datang ke Indonesia." Agam tersenyum.

"Tidak apa, kami senang setelah mendengar lima orang yang akan masuk Univ kami." Turis itu tampak senang dengan pengumuman yang beberapa menit yang lalu terjadi.

Bina bersembunyi di balik dinding. Begitu dua orang itu pergi, ia langsung keluar dari tempat persembunyiannya dan mengejutkan Agam. Lelaki itu mengusap dada melihat Bina yang datang-datang langsung menatapnya tajam.

"Lo sengaja kan!" tuduh Bina membuat Agam mengerutkan dahi bingung.

"Maksud kamu apa?"

"Halah sok polos! Bilang aja lo nggak pilih gue karena lo dendam sama gue! Lo sakit hati kan gue putusin!" seru Bina membuat Agam tergelak.

"Kamu pikir, saya senaif itu?"

"Emang! Gue tahu ya jalan pikiran lo, Agam!" Mata itu menatap Agam dengan nyalang.

Agam menggeleng. "Terserah kamu mikir apapun tentang saya. Tapi saya benar-benar nggak mengerti apa yang kamu katakan. Soal pengumuman itu, semua murni dari keputusan Univ itu sendiri. Saya tidak tahu apa-apa. Mungkin kamu kurang berusaha, makanya tidak lolos. Coba lain kali saja, ya. Permisi."

"Gue benci lo, Agam!" Bina menendang kaki Agam dengan keras. Lelaki itu meringis pelan dan memandang punggung Bina yang perlahan menjauhinya.

Dengan keringat mengucur di dahi. Wajah memerah bak harimau yang siap menerkam mangsanya. Bina menggebrak meja yang tengah diduduki oleh dua orang. Mereka adalah Salma dan Catra.

Brak

Keduanya terkejut bukan main. Salma menatap Bina dengan heran. "Ada apa lagi lo?"

"Sial! Lagi-lagi Gue gagal!"

"Maksud lo gagal masuk Universitas impian lo itu?"

Bina mengangguk. "Dan semua itu gara-gara abang lo, Ma! Semua gara-gara Agam!"

***
Diketik dengan : 1234 (hanya isi)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro