2. Karena Agam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gadis berambut sepunggung berwarna kecokelatan itu berjalan cepat memasuki rumahnya. Sang mama dibuat terkejut lantaran pintu yang dibuka terlalu keras hingga menimbulkan bunyi nyaring. Bina menghentikkan langkahnya saat mamanya memanggil.

"Kenapa lagi, Bin?" tanya Dessy Kamila--Mama dari Bina. "Lagi ada masalah?" lanjutnya menebak-nebak.

"Bina nggak lolos lagi, Ma." Bina mengempaskan tubuhnya di sofa dengan kasar.

"Lho? Kok, bisa nggak lolos? Padahal Mama lihat nilai kamu bagus kok," ucap Dessy terkejut. Dirinya memang tahu hari ini adalah hari pengumuman yang sangat ditunggu-tunggu oleh Bina. Namun, kasihan juga melihat sang anak yang tampak begitu bersedih.

"Mama tahu kenapa aku nggak lolos?" tanya Bina dengan raut memerah antara marah dan menahan tangis.

Dessy menggeleng. "Semua karena Agam!"

Lagi, Dessy terkejut dengan penuturan Bina. "Agam? Agam kenapa memangnya?"

"Dia yang bikin Bina gagal, Ma! Dia sengaja karena dendam Bina mutusin dia waktu itu!" tegas Bina dengan yakin.

Dessy menolak ucapan Bina, meski gadis itu adalah anaknya. Namun, satu tahun mengenal Agam, bukan berarti Dessy tak mengetahui bagaimana Agam. Terlebih lelaki itu sangat mencintai Bina. Jadi, mana mungkin Agam melakukan itu semua?

"Agam nggak mungkin ngelakuin itu, Bina."

Bina tak habis pikir. Semua orang terlalu percaya pada Agam. Tidak padanya. "Kenapa, sih Mama selalu bela Agam? Anak Mama itu aku atau dia?"

Usai meluapkan kekesalannya, Bina pergi ke kamar dan menutup pintu dengan keras. Dessy menghela napas. Beginilah sulitnya menjadi ibu sambung bagi anak yang sudah remaja. Kendati begitu, Dessy akan tetap berusaha mengerti sikap anak-anak dari suaminya itu.

***
Seorang gadis menyesap rokok di bibirnya. Asap mengepul menutupi wajah gadis itu. Ia adalah Sabrina Ghassani. Sabrina berarti putri legendaris, sedangkan Ghassani adalah cantik dan muda. Jadi, bila disatukan, Sabrina Ghassani adalah putri legendaris yang cantik dan muda.

Namun, sayang sekali namanya bertolak belakang dengan sifat asli dari si pemilik nama. Gadis yang terkenal barbar dan ingin serba bebas. Gadis pantang aturan, entah di rumah, sekolah, atau di masyarakat.

Hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat saat sang mama meninggal dunia akibat kecelakaan mobil yang menimpanya dua tahun yang lalu. Satu tahun enam bulan ia harus tinggal dengan papa yang sibuk bekerja. Baru enam bulan ini, sosok mama yang sempat hilang, kembali terisi oleh kehadiran Dessy Kamila.

Wanita tiga puluh enam tahun yang menjadi istri sekaligus ibu sambung bagi Bina. Wanita yang pada saat itu juga merupakan seorang janda tanpa anak. Akhirnya Dessy menikah dengan papa Bina hingga sampai saat ini. Tidak mudah tentunya bagi Dessy untuk menjadi ibu sambung, tetapi Dessy yakin dengan kasih sayang yang cukup, Bina bisa berubah dengan sendirinya. Ia yakin Bina akan menjadi lebih baik.

Bina sendiri pun sangat bersyukur memiliki ibu sambung yang lebih baik dari mama kandungnya. Setidaknya, ibu sambungnya kini tidak memprioritaskan pekerjaan daripada anaknya. Dessy lebih senang berdiam diri di rumah dengan pekerjaan rumah yang ia kerjakan sendiri.

"Bina," panggil seseorang dari arah belakang.

Bina tak menoleh. Tanpa melihat pun, ia tahu siapa yang memanggilnya dengan suara lembut itu. Hingga sebuah tangan mengusap bahu Bina dengan pelan.

"Nggak papa kalau hari ini kamu gagal. Masih banyak kan kampus lain kalau memang kamu mau pindah," bujuk Dessy tak membuat Bina bergeming. Mulutnya terus mengeluarkan kepulan asap yang membuat Dessy terbatuk.

Buru-buru Bina mematikan rokoknya dan melemparnya ke pot bunga yang sudah menjadi tempat pembuangan rokok bagi Bina. "Mama keluar aja dari kamar aku, di sini banyak asap."

Dessy tersenyum. "Kita makan dulu, yuk."

Bina mendongak menatap Dessy. "Ma, Papa bakalan kecewa nggak?"

Dessy melihat dengan jelas raut khawatir dari wajah Bina. Ia sudah menduga apa yang Bina khawatirkan. Sabrina sendiri masih bisa ikhlas jika tidak lolos. Meskipun sekarang belum, setidaknya ia bisa menguatkan diri untuk tidak berlarut-larut. Namun, bagaimana jika papanya yang kecewa?

"Papa pasti ngerti. Ayo, bantu Mama. Nanti malam papa sama abang pulang."

***

Salma memasuki rumahnya dengan tergesa. Ia ingin segera menemui seseorang dan menanyakan sesuatu. Langkahnya terhenti mendengar suara orang yang berbincang di ruang tengah.

"Jadi Bina nggak lolos, Gam?" tanya Jihan--Mama dari Agam.

Agam tampak menggeleng. "Padahal nilai dia cuma selisih lima sama yang masuk terakhir."

Jihan tampak gemas. "Kalau kamu niat, kamu bisa kan bikin Bina lolos kan? Kenapa, sih?"

Agam menghela napas. "Dia nggak bisa, Ma. Agam khawatir dia makin menjadi."

Merasa lelah bersembunyi, akhirnya Salma pun berjalan mendekati mama dan abangnya yang tengah bercengkerama.

"Jadi Mas Agam sengaja bikin Bina nggak lolos?" tanya Salma begitu bokongnya menempel dengan sofa.

"Bukan sengaja juga, Ama. Tapi emang nilai dia yang kurang."

Salma berdecih. "Bilang aja khawatir Bina kecantol bule Amerika."

Agam menghela napas. Salma dan Bina memang sama-sama menyebalkan. "Terserah."

"Dih, ngamuk!" Salma meledek Agam yang tiba-tiba pergi begitu saja. Tak mau berdebat, Agam memilih melanjutkan langkahnya hingga sampai di kamar.

"Ma, aku kasihan tahu sama Bina." Salma menghela napas. "Bina itu salah sebenernya. Dia lampiasin semuanya dengan cara-cara yang nggak bener. Merokok, mabuk, dan lain sebagainya. Tapi kita juga nggak bisa seenaknya judge dia kalau dia salah. Semua pasti ada alasannya kan, Ma? Dia kesepian dan papanya selalu sibuk kerja."

Jihan mengangguki ucapan anaknya. "Nggak perlu mikirin masalah orang lain. Pikirin aja diri kamu sendiri."

Salma mengangguk. "Salma ke kamar dulu, Ma."

Memang. Jangan men-judge orang lain seolah hanya kitalah yang paling benar. Sama halya dengan Bina. Dia memang salah, tetapi sebagai sesama manusia, bukankah lebih baik mengajak daripada menghina?

***
Diketik dengan : 878 kata (hanya isi).

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro