16. Hukuman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Astaga, ini jam berapa?" pekik Bina melompat dari ranjang.

"Gue bisa telat kalau gini!" resahnya saat melihat jam yang sudah menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit. Itu artinya, ia hanya memiliki waktu dua puluh lima menit sebelum kelas pagi dimulai.

Dengan segera, ia berlari menuju kamar mandi. Tak butuh waktu lama, cukup delapan menit, akhirnya Bina selesai dengan mandi ularnya.

"Sip, beres!" serunya sembari mengambil tasnya dan menuruni tangga kost-an dengan kecepatan ekstra.

Berbekal niat yang tulus hendak menuntut ilmu, Bina memberanikan diri memasuki kampus padahal sudah pukul tujuh lebih sepuluh menit. Salahkan saja kang angkutan umum yang egois menunggu penumpang penuh hingga membuat Bina telat lebih lama.

"Semoga ga ketahuan siapa-siapa, deh." Bina mengendap-ngendap sembari melihat situasi.

"Sabrina?"

"Sial, padahal lima langkah lagi sampe di kelas." Bina menoleh dengan perlahan.

"Loh? Lo siapa?" Bina mengernyitkan kening bingung. Ia kira yang memanggilnya itu dosen, ternyata bukan. Sepertinya perempuan itu mahasiswa di sini juga.

"Kenalin, aku ...."

"Bina!" pekikan itu mau tak mau membuat si gadis menghentikan ucapannya.

Caca, gadis itulah pelakunya. Begitu sampai di depan keduanya, Caca tersenyum pada Bina. "Kamu udah dicariin Ustaz Zafran di kelas."

Bina tersadar jika dirinya terlambat. Buru-buru ia hendak meninggalkan gadis tersebut.

"Gue duluan, ya. Lain kali aja ngobrolnya, sorry." Bina tersenyum tidak enak.

Gadis itu menghela napas memandang punggung Bina yang perlahan menjauh.

***
"Sakit, Ca. Pelan-pelan, kek!"

Caca mengendurkan tarikannya. Ia menoleh ke belakang sesaat. "Maaf, Bin. Abisnya kamu lama."

"Dih, orang gue lagi ngobrol sama cewek tadi. Dia kenapa, sih? Kayak banyak masalah gitu mukanya." Bina sempat memperhatikan raut wajah gadis tadi yang menghentikan langkahnya, sangat kentara lingkaran hitam di bawah matanya itu.

"Nggak usah diladenin, Bin. Bahkan kalau perlu kamu jangan mau deket sama dia," ucap Caca membuat Bina mengernyit bingung.

"Lah, kenapa?"

"Dia itu ... penyakitan."

Bina mengernyit, lagi. "Masa, sih?"

"Ustaz Zafran udah nunggu kamu. Agak cepetan jalannya, Bin." Caca mengalihkan pembicaraan berharap Bina tak lagi bertanya tentang gadis dengan kantung mata tebal itu.

***

"Darimana aja kalian?" tanya Zafran begitu Bina dan Caca sampai di kelas.

Seisi kelas memperhatikan keduanya dengan berbagai pandangan. Bina menatap mereka satu persatu, terkadang memelototinya. Lain halnya dengan Caca yang diam dengan wajah menunduk.

"Mata kamu, Bina," tegur Zafran.

"Tumben sekali kalian terlambat," ucap Zafran sembari menatap keduanya bergantian.

"Cuma saya aja yang telat, Caca nggak. Jadi kalau mau dihukum, saya aja sendirian, nggak usah bawa-bawa Caca," tegas Bina dengan berani.

Zafran mengangguk. "Nanti ke ruangan saya. Silakan duduk."

Bina dan Caca pun duduk di kursi mereka. Dari bangkunya, Bina terus menyumpah serapahi Zafran. Baru telat sekali, sudah mendapat hukuman. Lagian, bisa bangun pukul enam saja itu sebuah anugerah dalam hidup Bina.

"Bin," panggil Caca setengah berbisik.

"Hm."

"Nanti aku antar ya ke ruangan Ustaz Zafran?" tawar Caca.

Bina mengacungkan jempolnya membuat Caca paham dan tersenyum senang.

***
Dua jam kemudian, kelas berakhir. Setelah mengobrol ringan dengan Caca, Bina teringat dirinya harus segera ke ruangan Zafran.

"Lo pulang aja, Ca, elah! Ngapain nganter gue kek anak TK gini, sih!" kesal Bina karena sedari tadi Caca terus mengekor padanya.

"Kan aku udah bilang, Bin. Aku mau nganter kamu ke ruangan Ustaz Zafran," ucap Caca dengan tenang.

Bina mendengkus. "Padahal belum gue iyain!"

Caca hanya cengar-cengir tidak jelas setelahnya.

"Ca, abis lo nganter gue, lo pergi aja, ya. Nggak usah nunggu gue selesai," ucap Bina pada Caca.

"Lho, kenapa?" tanyanya.

"Ck, nggak papa, Ca. Cuma ya lo pulang aja. Palingan hukumannya besok, nah besok baru lo bantuin gue, ya."

Caca mengangguk. "Ok, deh. Caca pulang dulu kalau gitu. Kebetulan tadi Mama Caca nitip buah-buahan sama Caca," ungkapnya.

"Ya udah sana, dasar pelupa," cibir Bina di akhir kalimatnya.

Seperginya Caca, Bina mengetuk pintu ruangan Zafran.

"Masuk!"

Bina melihat ada seorang lelaki yang tengah mengobrol dengan Zafran. Dilihat dari penampilannya, lelaki itu masih muda dan tidak seperti kebanyakan mahasiswa lain di sini. Terkesan urakan.

"Ngapain kamu diem di situ? Sana duduk, tunggu saya beres sama anak ini, baru saya ke kamu." Suara Zafran mengintrupsi.

"Ck, iya-iya!" Bina berjalan menuju sofa berwarna cream di ruangan itu.

Ia melewati lelaki tersebut yang melirik ke arahnya dengan genit. Bina bergidik ngeri. Jika ia melihatnya di Jakarta, mungkin itu sudah pemandangan biasa. Namun, di kota ini? Di kampus ini? Baru pertama kalinya ia menemukan jenis cowok seperti itu lagi.

"Yang saya katakan tadi, jangan kamu lupakan. Sudah, kamu boleh keluar!"

Cowok itu menatap Bina lama. Sebelum akhirnya tersenyum dan keluar dari ruangan Zafran.

"Kamu!" tunjuknya pada Bina.

"Jadi apa hukuman saya?" tanya Bina to the point.

"Sebenarnya saya punya dua opsi. Opsi pertama dan kedua. Tapi sepertinya kamu akan lebih memilih opsi kedua," ucap Zafran berbelit-belit.

"Jadi?" tanya Bina menaikkan sebelah alisnya, mulai malas.

"Opsi pertama menghafal surat an-naba, kedua membereskan buku di perpustakaan."

Bina terkekeh. "Jelas opsi kedua."

Zafran mengangguk. "Ok, silakan keluar."

Bina mencebik. Lalu, keluar dari ruangan ustaz muda itu.

Begitu hendak berjalan menjauh dari ruangan Zafran, seseorang menghalangi jalan Bina. Lelaki tadi lagi. Ia bersandar di tembok dengan tangan dilipat di dada. Lelaki yang tadi ada di ruangan Zafran.

"Kenapa, ya?" tanya Bina karena lelaki itu selalu saja menghalangi langkah Bina.

Bina berjalan ke kiri, ia ke kiri. Bina ke kanan, ia pun ke kanan. Siapa yang tidak kesal jika ada di posisi Bina saat ini?

"Hai, gue Rekha." Lelaki itu mengulurkan tangan dengan senyum manis yang terpatri di bibirnya.

"Ya, gue Bina." Sejujurnya, Bina sedikit terkejut lelaki itu memakai "lo gue". Karena kebanyakan mahasiswa dan mahasiswi di sini memang memakai bahasa yang sopan.

"Udah 'kan? Jadi apalagi?" kesal Bina.

"Lo mahasiswa baru di sini?" tanyanya.

"Nggak! Gue udah lama!" Bina berjalan cepat meninggalkan lelaki bernama Rekha itu.

"Tapi cara ngomong lo ...."

"Diem deh lo! Bacot mulu! Mau gue tampol, huh!" Bina menatapnya tajam, dirinya tak main-main dengan ancamannya.

Rekha tampak cengar-cengir. "Iya, galak."

"Bina ...."

Keduanya menoleh. Gadis itu lagi, gadis yang Bina temui tadi pagi, yang menghalangi langkahnya. Ada apa sebenarnya?

"Iya kenapa?" tanya Bina memutar tubuhnya.

"Aku mau ngobrol sama kamu, tapi ...." Ekor matanya melirik ke arah Rekha yang entah mengapa seolah tengah menatap tajam pada gadis itu.

Bina semakin bingung. "Lo pergi aja sana!"

"Gue mau mastiin lo pulang," ucapnya membuat Bina mengernyitkan kening bingung.

"Kan emang gue mau pulang, ribet banget lo!"

"Bina!"

Lagi, siapa yang memanggilnya. Rasanya Bina hendak pingsan. Banyak sekali yang memanggilnya hari ini.

"Loh, Caca?" Bina terkejut karena Caca masih ada di kampus.

"Ayo pulang, Bin." Caca menarik tangan Bina hingga gadis itu tertarik.

Bina mau-mau saja, sebenarnya ia juga malas mengobrol dengan gadis asing tadi, juga Rekha? Ah, benar-benar hari yang aneh.

"Kamu mau ikut aku, Bin?" tanya Caca mengajak Bina.

"Ikut gimana, anjir. Lo aja naik motor!"

Caca cengar-cengir. "Kan siapa tau mau bertiga."

"Ogah, mending gue naik tuh mobil!" Bina menunjuk angkutan umum yang sopirnya sudah memanggil-manggil Bina.

"Ya, udah. Gue duluan, ya. Banyak cucian di kost-an."

Caca melambaikan tangan. "Hati-hati, Bin."

"Jangan sampai kamu ngobrol sama mereka, Bin." Caca menghela napas melihat punggung Bina menjauh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro