5. Realita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aaaaa!" Teriakan menggema itu terdengar hingga ke ruang keluarga.

"Itu suara Bina kan, Ma?"

"Iya, Pa. Aduh ayo cepetan! Mama khawatir dia kenapa-napa."

Dengan tergesa, Dessy, Ariel, dan Bumi pun menaiki tangga dan membuka pintu. Kini, giliran Bina yang terkejut. Mereka saling memandang bergantian.

"Ada apa sih, Bina?" kesal Ariel melihat putrinya yang tengah duduk di kursi belajarnya.

"Kamu jatuh?" tanya Dessy masih belum mendapat jawaban dari Bina.

"Woy!" Bumi menyenggol tangan Bina.

"Kerasukan mungkin, Ma."

"Hah? Mana mungkin, Bang!"

"Hua, Mama!" Bina memeluk Dessy begitu erat.

Kedua lelaki berbeda usia itu hanya bisa bertukar pandang bingung. "Mama, Bina kok, ah pusing!"

"Kenapa lo, Bin? Kesambet?"

"Liat noh laptop gue!" kesal Bina sembari bangkit dan tetap memeluk Dessy dengan erat.

Bumi terduduk di kursi dan membaca sebuah email yang masuk ke laptop sang adik. Ia terbahak usai membaca email tersebut. Penasaran, Ariel pun ikut melihat ke arah laptop Bina.

"Universitas Hijrah?"

Dessy mengikuti arah pandang suami dan anaknya. Matanya sontak membulat.

'Selamat kepada Sabrina Ghassani, Anda kami terima di Universitas Hijrah. Silakan datang sesuai waktu yang ditentukan. Selamat bergabung!'

Bina menggeleng keras. "Gue nggak mau pokoknya!"

"Asik, kuliah di Universitas Hijrah!"

Bina merengek, memeluk kaki Dessy. "Mama, ogah banget, Ma!"

***

"Apa? Universitas Hijrah?"

Bina mengangguk lesu. "Gila banget emang, mana ada begitu! Ngadi-ngadi tuh yang bikin!"

"Loh, bukannya bagus, ya? Jadi lo bisa sekalian hijrah."

Bina tersulut emosi. "Bagus darimana nya, anjir! Gila gue yang ada!"

Catra menggaruk belakang kepalanya. "Ya saran doang, sih."

"Eh, Bin. Tapi gue bingung, kok lo tiba-tiba diterima, padahal lo nggak daftar di sana kan?"

"Kalo gue daftar, mana mungkin gue bingung. Harusnya gue seneng, dong!" sungut Bina.

"Maka dari itu, ada yang aneh di sini." Salma beranggapan.

Bina meremas rambutnya. "Gue harus gimana, Ma? Kepala gue rasanya mau pecah!"

"Ya lo datengin aja dulu univ itu."

"Nggak akan pernah!" tandasnya.

"Ya, terus?"

"Nih, ya. Gue baca artikel tentang tuh univ aja gue udah melongo. Lo tau kuliah di sana harus gimana?" tanya Bina.

Salma dan Catra tertarik. "Emang gimana?"

"Kalian baca aja sendiri!"

Buru-buru keduanya mencari-cari artikel tentang Universitas Hijrah tersebut.

"Universitas Hijrah adalah sebuah universitas islam yang menjunjung tinggi keagamaan. Universitas Hijrah berada di Jalan Raya Cempaka, No. 71, Bandung."

"Ketentuan untuk masuk Universitas satu ini cukup mudah. Nakal, suka kebebasan, keras kepala, egois, dan kenakalan remaja lainnya. Kami siap mengajarkan banyak hal hingga anda menjadi remaja yang sehat dan cinta Islam. Mari bergabung dengan universitas kami!"

Catra menghela napas usai membaca satu halaman artikel. Salma menggeleng takjub. "Bin, ini takdir lo!"

"Takdir lo bilang? Takdir buruk maksud lo, huh?"

"Heh, jangan bilang gitu! Ini pas banget sama lo, semua sifat lo ada di sini dan mereka katanya siap bimbing lo sampe lo jadi baik!"

"Maksud lo gue jahat?" desis Bina membuat Salma berdeham.

"Bina, dengerin gue. Kemarin kan lo gagal masuk univ di LA. Sekarang, lo dapet acc dari univ lain. Mungkin ini emang cara Allah biar lo tobat, Bin. Lo nggak bakal tahu jawabannya kalau lo nggak coba."

***

Sabrina meremas rambutnya frustasi. Bagaimana mungkin dirinya bisa diterima di Universitas Hijrah itu? Kapan juga dirinya daftar tak ada yang tahu. Bina sangat bingung dengan kenyataan yang menimpanya.

"Apa jangan-jangan ini yang dimaksud karma?" batin Bina tiba-tiba berkata demikian.

"Ah, gila-gila! Jangan sampe, pasti bukan!" elak Bina sembari terus memukuli kasur sesuka hatinya.

Bina memilih bangkit dan menuju balkon kamar. "Kalau nanti gue kuliah di itu univ, mana mungkin gue bisa ngerokok gini."

Bina menghela napas. "Gue harus punya cara biar ga ke tempat itu."

Pintu terdengar diketuk dari luar. Bina menghela napas. "Masuk."

Sembari menoleh, ia melihat mamanya tengah berjalan pelan mendekat ke arahnya yang tengah merokok.

"Bina, mau sampai kapan kamu begini terus?" tanya Dessy membuat kening Bina mengerut, bingung.

"Mama tahu, Nak." Dessy mengusap rambut anak gadisnya.

"Tapi Mama nggak ngerasain apa yang aku rasain kan? Jadi ya udah, diem aja." Entah sadar atau tidak, perkataan Bina terdengar begitu tajam di telinga Dessy.

Bina menoleh. "Mama kok nangis, sih? Bina ada salah?" Ia panik sendiri melihat Dessy yang tampak mengeluarkan air mata.

"Mama sedih," ucapnya membuat Bina menatapnya lamat-lamat. "Mama sedih lihat kamu begini terus. Mama pengen anak gadis Mama jadi lebih baik."

Bina terdiam sebentar. Ia menghela napas dan melempar rokok yang baru ia hisap setengahnya ke bawah balkon. Tak peduli jika batang rokok yang ujungnya masih menyala itu mengenai kepala seseorang.

"Mama mau aku jadi lebih baik?" tanya Bina menatap Dessy tegas. Wanita itu mengangguki ucapan Bina.

"Maksud lebih baik itu apa, Ma? Kalau maksudnya masuk ke univ itu, aku nggak mau!"

Dessy menggeleng. "Kita coba dulu aja, ya?"

Bina merenggut kesal. Ingin marah pun tak tahu harus pada siapa. Jika dulu, mungkin ada Agam yang bersiap menjadi pelampiasannya. Namun, sekarang? Mana mungkin mamanya sendiri kan? Bisa-bisa satu menit setelahnya ia langsung diceramahi sang papa. Syukur kalau hanya diceramahi, bagaimana kalau dipotong uang jajan? Yassalam. Lebih parah lagi dikeluarkan dari kartu keluarga? Sudahlah.

***
Diketik dengan : 825 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro