6. Setelah Sekian Purnama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di kediaman keluarga Sangkara, satu keluarga tengah berkumpul sembari bertukar cerita. Sesekali orang tua lelaki itu bertanya pada Agam bagaimana pekerjaan lelaki itu di kantor. Tak jarang juga, mereka bertanya pada Salma bagaimana sekolah anak gadisnya.

Danial Sangkara, lelaki yang berstatus seorang suami sekaligus papa bagi kedua anaknya. Lelaki yang saat ini berkepala empat, adalah seorang pebisnis sukses saat usia muda hingga saat ini.

Jihan Sangkara adalah ibu rumah tangga yang dari dua anak yang bernama Agam dan Salma. Jihan adalah wanita mandiri, semasa gadisnya ia senang melakukan segalanya sendiri. Mungkin hal itu yang membuat Danial tertarik dan jatuh hati pada Jihan.

Juga, sikap mandiri dan pekerja keras itu turun kepada Salma dan Agam. Hal itu membuat Danial maupun Jihan sangat bersyukur.

"Mas Agam."

Merasa dipanggil, ia menoleh pada sang adik. Agam Menaikkan alisnya seolah bertanya 'apa'? Adik dan Kakak yang berbeda usia lima tahun itu duduk tak saling berjauhan. Mudah bagi mereka untuk berbicara tak terlalu keras.

"Mas udah tahu kabar Bina sekarang?" tanya Salma membuat Agam mengalihkan pandangannya cepat.

Ia menatap layar televisi, sembari mengedikkan bahu tak acuh. Salma menghela napas. Sepertinya memang benar, kakaknya tidak tahu apa-apa soal Universitas Hijrah itu.

"Mas Agam, Bina diterima di kampus lain," ucap Salma dengan cukup keras hingga mengundang perhatian kedua orang tuanya.

Jihan penasaran. "Bina diterima di mana, Ma?"

"Kepo!" seru Salma membuat Danial dan Jihan murka.

"Salma!" tegur Jihan dengan wajah garang.

Salma terkikik. "Lagian kenapa sih, pada cepet amat kalo urusan Bina."

Semuanya terdiam. Benar juga apa yang dikatakan Salma. Agam dan Bina kan sudah putus? Berarti seharusnya tak ada lagi hubungan antara keluarga Agam dengan Bina, juga keluarga Bina dengan Agam.

"Eh, aku salah ngomong, ya?" Mengetahui keluarganya terdiam, Salma jadi khawatir ucapannya menyinggung.

"Ya intinya, Bina diterima di kampus lain. Soal kampus itu, aku cuma tau namanya aja. Katanya sih, Universitas Hijrah," jelas Salma singkat.

Jihan terbeo. "Universitas Hijrah?"

"Iya, Ma. Heran kan?"

Agam tampak bangkit dan menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Salma tak heran, mungkin kakaknya itu jengah mendengar dirinya yang selalu berceloteh tentang Bina. Ya, mau bagaimana lagi? Kan memang biasanya begitu. Lelaki itu sendiri yang meminta Salma untuk tetap menceritakan keseharian Bina, apa yang dilakukan gadis itu saat sedih, dan lain sebagainya.

Tak lama, seorang lelaki menuruni tangga. Ia adalah Agam yang sudah siap dengan setelan rapi, ia menuju ruang keluarga. "Ma, Agam keluar dulu sebentar."

"Eh, mau ke mana, Gam?" tanya Jihan cepat.

Agam menggaruk tengkuknya. "Rumah Bina."

"Lah, mau ngapain, Mas? Kangen ya?" tuduh Salma membuat Agam mendelik tajam.

"Mau mastiin apa yang kamu bilang barusan," tegasnya meluruskan kesalahpahaman.

Mereka ber-oh ria. Salma berjalan menuju Agam. "Tunggu di sini. Ama mau ganti baju terus ikut Mas Agam!" serunya.

"Nggak ...."

Keinginan untuk protes itu kandas saat melihat sang adik yang sudah lebih dulu berlari menaiki tangga. Agam memijat keningnya. Niatan untuk pergi sendiri pun gugur sudah.

"Ayo!" seru Salma membuat Agam hanya bisa pasrah dan menghela napas lelah.

"Buat sampai balikan kalau bisa," bisik Jihan membuat Salma mengacungkan jempolnya setuju. Ia pun berpamitan dan menyusul Agam yang sudah lebih dulu berada di mobil.

"Mas Agam beneran gatau apa-apa soal ini semua?" tanya Salma yang cukup penasaran dengan pertanyaan yang satu ini.

"Kalau Mas tahu, Mas nggak akan buru-buru ke rumah Bina sekarang."

Benar juga.

***
Kediaman keluarga Ariel tiba-tiba saja dibuat rusuh akibat dua lelaki yang saling berpelukan ria ala lelaki. Mereka adalah Bumi dan Agam. Kedua lelaki yang seumuran itu tampak senang bisa saling bertemu lagi setelah beberapa tahun tak bersua.

"Apa kabar lo, Gam?" tanya Bumi sembari menatap Agam dari atas sampai bawah. Sahabat sekaligus mantan tunangan adiknya ini tampak berbeda dengan yang dulu.

"Baik, Bang. Lo sendiri?"

"Seperti yang lo lihat," katanya terkekeh.

"Eh, Agam?" Dessy terkejut karena rumahnya kedatangan Agam.

"Ma, apa kabar." Agam menyalami tangan Dessy dengan sopan.

"Mama baik, Gam." Dessy mengusap rambut Agam. Baginya Agam sudah seperti anak sendiri. Tidak ada lagi rasa canggung atau malu-malu.

"Siapa, Ma?" Ariel berjalan ke ruang keluarga yang tampak ramai. Dengan koran di tangan kirinya dan gelas berisi kopi di tangan kanannya. Tak menyadari ada Agam di depannya, Ariel menoleh dengan santai.

Begitu irisnya bertemu dengan mata Agam. Ia melotot terkejut. "Agam?"

"Pa," ucap Agam sembari mendekati Ariel.

Lelaki hampir paruh baya itu menyimpan kopi dan korannya di meja. Ia pun langsung menubruk tubuh Agam dengan pelukannya. Sama dengan reaksi Bumi, Ariel tak dapat menyembunyikan rasa terkejut sekaligus rasa senangnya mendapati Agam yang berada di rumahnya setelah sekian lama.

"Sehat, Pa?" Agam menyalami tangan Ariel.

"Ya, alhamdulillah, Gam. Papa kan rajin olahraga."

"Agam, ayo ngobrolnya sambil duduk," ajak Dessy.

***
"Jadi kamu mau ketemu Bina?"

Agam mengangguk. "Kalau boleh."

"Boleh, kok! Tapi ... masalahnya Bina lagi nggak di rumah," ucap Dessy.

"Pasti lagi ke Mall 'kan?" tebak Salma yang langsung diangguki oleh Dessy.

"Kok Salma tahu?" tanya Dessy.

"Dia tadi bilang, sih." Agam menoleh horor.

Salma hanya terkekeh. "Kasian liat antusiasnya Mas Agam buat ketemu Bina. Jadi ... ya udah," jelas Salma.

"Ya, udah. Tungguin aja, sebentar lagi juga pulang. Katanya sih, nggak akan lama," kata Dessy yang diangguki Agam.

"Oh iya, Tante denger sekarang kamu fokus bisnis di Jakarta ya, Gam?"

Agam membenarkan ucapan Dessy. "Iya, Ma. Agam fokus di Jakarta aja."

"Niatnya biar gampang kawal Bina ke manapun, eh malah putus," sarkas Salma membuat Agam menatapnya tajam.

Dessy tersenyum canggung. "Maaf ya, Agam, Salma."

"Saya mah udah biasa, Tan. Dia tuh baperan!"

Ariel terkekeh. "Kalian mirip Bina sama Bumi kalau lagi debat gitu."

"Bina pulang!"

"Bang Bum! Gue bawa ice cream banyak, nih! Buru kita maen game!" seru seorang gadis sembari berjalan centil ke arah dapur tak memerhatikan sekitarnya karena wajahnya tertutupi belanjaan yang ia bawa tinggi-tinggi.

Dessy, Ariel, dan Bumi hanya bisa menahan malu melihat sikap Bina. Agam terdiam melihat gadis itu yang tampak baik-baik saja tanpanya. Ah, tentu akan lebih baik tanpanya bukan?

"Bina."

Merasa dipanggil oleh suara yang tak asing. Bina menoleh. Matanya bertubrukan langsung dengan iris hitam milik Agam. Lain halnya dengan Bina yang terkejut, Agam malah tampak tersenyum tipis.

"Hai."

Sapaan macam apa itu!

***
Diketik dengan : 1008 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro