32. Not the only one

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'I am not the one to sit around and be played.

So prove yourself to me, I'm the girl that you claim.'

-Destiny's Child-

***

Putaran memukau di atas udara berhasil menghipnotis Thomas mengetahui ada progres yang entah dari mana anak didiknya dapatkan. Dalam beberapa hari latihan keras, Alexia mampu menguasai twist lift meski belum ke tahap yang ditargetkan Thomas. Well... sebagai pelatih, harus diakui kalau Alexia tipikal gadis yang cepat belajar, hanya saja kali ini aura yang dikeluarkannya terasa berbeda. Seolah-olah di depannya ini bukanlah Alexia yang sempat menolak mentah-mentah tawarannya untuk bergabung bersama Ryder.

Gadis itu menyunggingkan senyum lebar saat mendarat di lantai studio, meluruskan sebelah kaki selagi merentangkan kedua tangan. Sinar mata birunya begitu benderang kala berserobok dengan Ryder sampai-sampai pipinya ikut bersemu di balik kulitnya yang sepucat pualam. Thomas memicingkan mata, menarik benang merah atas kelakuan dua anak didiknya yang dulu saling mengacungkan jari tengah.

Jadi, tidak salah bukan jikalau sekarang Thomas berpikiran yang tidak-tidak?

"Kau hebat," bisik Ryder yang mampu didengar Thomas secara jelas.

"Kau juga." Alexia membalas seraya mencolek ujung hidung mancung Ryder. Dia senang lelaki itu kembali ceria tidak seperti kemarin yang mendadak marah tanpa sebab.

Oke ... kurasa ini alasannya, batin pria paruh baya itu.

"Bagaimana?" Alexia menoleh ke arah Thomas sambil terengah-engah. Dia mengambil udara sebanyak mungkin untuk meredakan denyut nadinya yang kencang.

"Bagus," jawab Thomas tidak menyangkal apa yang dilihat. "Oke, karena putaranmu sudah lebih baik dari sebelumnya. Bagaimana jikalau kita coba di ice rink."

"Akhirnya!" seru Alexia dan Ryder bersamaan. Mereka berdua tampak kegirangan dan saling bertos ria.

Seketika sebelah alis Thomas naik. "Siapkan diri kalian, arena seluncur. Oh iya, Ryder. Ada yang kubicarakan padamu nanti."

"Oke."

Sepeninggal Thomas di studio off ice, Ryder mengacungkan jempol kepada Alexia bahwa usahanya tidak ada yang sia-sia. Sementara Alexia tersipu malu selagi membenarkan ikatan rambutnya yang longgar kemudian berkata, "Aku jadi tak sabar tes senior."

"Bersabarlah, Lex, dua minggu setelah perayaan tahun baru. Biarkan kami bernapas dulu," ujar Ryder membereskan barang-barangnya diikuti Alexia. "Apa kau ada kegiatan saat malam tahun baru?"

Alexia melenggut. "Aku menjenguk Jhonny sebentar lalu ke rumah Olive, dia mengadakan pesta barbeque. Bukannya kau diundang juga?" Dia berjalan beriringan bersama Ryder keluar studio.

Sesaat Ryder tertegun karena jarang mengecek notifikasi pesannya. "Sepertinya aku melewatkan pesan darinya. Nanti aku cek ulang daripada jadi tamu tak diundang."

"Come on ... kau primadona, Ice prince, mana mungkin dia melewatkanmu." Alexia memutar bola mata.

"Baiklah, baiklah." Ryder membuka pintu utama area seluncur di mana ada beberapa orang sedang latihan skating. "Sepertinya ini tidak lagi jadi tempat privat lagi."

"Sudahlah," tegur Alexia lalu melambaikan tangan ke arah ruang ganti perempuan.

"Ryder!" teriakan seorang gadis berhasil membuat Alexia menoleh.

Untuk beberapa menit, Alexia termangu mendapati seorang perempuan berambut hitam legam, bertubuh tinggi nan langsing serta memiliki kulit eksotis menghampiri Ryder. Mereka berpelukan seakan-akan mereka sudah saling mengenal satu sama lain. Tidak seperti penggemar-penggemar yang ditemuinya di Somerset House, gadis itu mengelus-elus lengan Ryder bagai menyemangati seorang kekasih. Juga menatapnya mesra.

"Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini," tutur gadis itu dengan suara yang dibuat-buat. "Aku kira kau di Golden Skate."

"Tidak. Ayahku yang meminta secara khusus agar kami latihan di sini, Darling," ujar Ryder membuat mata Alexia membola.

Darling? Apakah mereka dekat satu sama lain? Sejak kapan?

Gadis itu tersipu. "Kalau begitu aku bisa melihatmu latihan kan? Aku penasaran bagaimana kehebatan Ice prince yang dielu-elukan gadis-gadis," tuturnya memuakkan perut Alexia.

"Boleh saja, Darling," jawab Ryder mencolek puncak hidung gadis itu lalu menyilakannya duduk ke bangku penonton. "Aku harus ganti pakaian dulu. Nanti kita bicara lagi atau ... kau bisa kirim pesan padaku."

Ada perasaan tak menyenangkan menyergap dada Alexia mengamati interaksi mereka. Apalagi cara pandang gadis berpulas lipstik merah menyala itu seperti menggencarkan rayuan terselubung. Dia mencebik, menerka-nerka apa hubungannya gadis di sana dengan Ryder? Apakah memang penggemar atau teman lama? Kenapa tangan gadis itu betah membelai lengan Ryder? Dan kenapa pula Ryder merasa tenang-tenang saja tangannya disentuh orang? Kenapa lelaki itu membalas senyumannya begitu sumringah?

Tersadar bahwa Alexia terlalu jauh melewati zona yang dibuatnya sendiri. Buru-buru dia menggeleng cepat lantas bergegas masuk ke ruang ganti walau jauh di lubuk hati ada percikan api cemburu tengah menambus.

Itu bukan urusanku!

###

Diawasi Thomas yang memberikan arahan juga aba-aba di atas seluncur, bersama-sama Alexia dan Ryder mengitari gelanggang mengambil ancang-ancang tuk melakukan twist lift. Pria itu bersiap di belakang Alexia, merengkuh pinggang sebelum akhirnya mengangkat dan melempar pasangannya ke udara.

Dalam hitungan sepersekian detik, Alexia melebarkan kaki agar ada dorongan ke atas sebelum menyilangkan kaki dan tangan. Dia berputar dua kali namun di putaran ketiga mendadak jatuh menimpa Ryder.

"Damn!" seru Thomas.

"Fuck!" desis Alexia.

"You okay?" tanya Ryder saat Alexia mengurungnya di antara lengan.

Gadis itu melenggut tanpa melontarkan kalimat lalu beranjak tanpa membantu Ryder. Justru dia meluncur agak jauh membiarkan Thomas mengulurkan tangan untuk si Ice prince.

"Itu hampir saja," komentar Thomas. "Kau baik-baik saja?"

"Ya, tentu." Ryder mencerling ke arah Alexia. "Ayo ulangi lagi."

Menciptakan sinkronisasi menurut Ryder hal yang termudah, namun mempertahankannya seperti ketika mereka latihan di studio, ternyata di luar dugaan. Dia mengira Alexia bakal mampu menyelesaikan putaran di udara sebanyak tiga kali secara penuh. Malah sebaliknya. Tapi, dia tidak mau langsung menjustifikasi manakala ini percobaan pertama mereka di atas es. Hanya saja entah kenapa sejak mereka melanjutkan latihan di sini, ada sesuatu yang tiba-tiba berubah dari diri Alexia. Dia merasa gadis itu tengah membandung tembok tinggi dan menghalau Ryder masuk ke dalam zonanya sendiri.

Perasaan tadi dia baik-baik saja, pikir Ryder tak mampu menerawang isi pikiran Alexia.

"Ya bagus!" puji Thomas saat Alexia menyelesaikan twist lift-nya secara sempurna. Dia merentangkan tangan dan salah satu kaki seraya meluncur sebagai pose penutup. Tapi tatapannya enggan bertaut dengan Ryder, bahkan cepat-cepat dia menepis genggaman tangan lelaki itu.

Thomas melajukan kaki tuk menghampiri mereka lalu berkata, "Well ... jauh lebih baik. Bagaimana? Apa ada yang ingin kau katakan, Lex? Ryder?"

"Tidak ada, Tom, mungkin hanya perlu diasah lagi besok," ujar Alexia.

"Ya, besok kita bertemu lagi sebelum kuberi kalian libur tahun baru," tukas Thomas. "Setelah itu, kau belajar death spin sembari aku evaluasi untuk tes senior pekan depan."

"Oke." Alexia mengangguk. "Aku bisa pergi kan?"

"Ya, tapi--" Kalimat Thomas menguap di udara kala gadis itu melenggok begitu saja meninggalkan sang pelatih juga Ryder yang bahkan tak sempat berkata-kata. "Moody lagi," cibir Thomas geleng-geleng kepala. "Ya ampun..."

"Hei, apa yang ingin kau bicarakan padaku, Tom?" tanya Ryder mengalihkan topik.

Mendengar hal tersebut, Thomas baru ingat lalu menyiratkan Ryder keluar arena dan duduk di bangku penonton selagi beristirahat. Ryder menurut lalu bertemu pandang dengan Rebecca--gadis yang dikenalkan Steve padanya. Dia duduk salah satu kursi, melambaikan tangan ke arah Ryder dan memberi isyarat bahwa akan menunggu lelaki itu meneleponnya nanti.

"Oke," kata Ryder mengacungkan jempol.

Rebecca beranjak dari tempat duduknya, mendatangi sang adik yang juga keluar dari arena sambil sesekali menoleh ke arah Ryder. Melempar kerlingan mata.

Ryder membalas kedipan itu dan melenggut ketika Rebecca memberikan isyarat akan menelepon nanti. Lalu dia berpaling ke arah Thomas, "Jadi?" tanyanya begitu mendaratkan pantat di kursi, meraih botol minum juga membasahi rambutnya yang terasa lengket.

Thomas mengempaskan diri di sisi kanan Ryder lalu bertanya, "Apa ada sesuatu yang tidak kuketahui antara kau dan Alexia?"

Kening Ryder mengerut dalam mendengar pertanyaan konyol tersebut. Apalagi cara pandang dan nada bicaranya begitu mengintimidasi. "Apa maksudmu?" balasnya agak sengit.

Thomas memutar bola mata. "Kau dan Alexia. Aku melihat hubungan kalian jauh lebih baik, bahkan peningkatan kemampuannya--"

"Bukankah itu normal?" sela Ryder menyambar hard guards hitam di sisi kiri dan memasangnya di pisau sepatu. "Harusnya kau senang bahwa kami berhasil menyatukan pikiran, Tom."

"Asal tidak ada cinta di dalamnya," tukas Thomas membuat Ryder membeku beberapa saat. "Pasti ada kan?" tandasnya menuntut kepastian.

Alis Ryder menukik tajam. "Kau sepertinya menuduhku, Mr. Cook."

"Karena aku tahu cinta bisa membawamu ke dalam jurang, Ryder," balas Thomas seraya bangkit dari kursi lalu menepuk pundak anak didiknya. "Stay focus, okay." Setelahnya dia berjalan cepat meninggalkan Ryder bersama jutaan pertanyaan yang menggelayuti benak.

Dia pikir dia ayahku apa? gerutu Ryder dalam hati.

"Dasar tukang atur!" desis Ryder.

###

Sesampainya di apartemen, alih-alih mengistirahatkan diri, Alexia justru berlari di atas treadmill sampai bermandikan keringat. Jarang sekali dia peduli terhadap keakraban teman pria yang berinteraksi bersama gadis. Hanya saja, kenapa dirinya mendadak begitu tak suka mengamati obrolan si bajingan Ryder sampai-sampai lawan bicaranya tersipu begitu? Sampai mengelus lengannya begitu mesra.

Garis bawahi! Begitu mesra!

Sialan! rutuk Alexia ingin membenturkan kepala ke dinding. Berulang kali dia berusaha menyanggah ada gumpalan amarah yang merangkak ke kerongkongan hendak menyembur bahwa ... sejujurnya dia terbakar cemburu. Hanya saja, semakin disangkal semakin frontal dewi batin Alexia menyebut gadis itu munafik.

Kau suka tapi pura-pura buta!

Alexia menggeleng keras, menepis kilasan ciuman panas mereka di dapur beberapa waktu lalu disambung kebersamaan di ring pribadi Ryder berputar-putar mirip piringan hitam. Mereka melambai-lambai merayu Alexia tuk mengakui kalau ada secuil rasa tengah menyelinap setelah sekian lama.

"Tidak!" serunya ngos-ngosan. "Mana mungkin aku suka hanya karena kami berciuman? Itu tidak ada artinya!" kilah Alexia membalas olokan dewi batinnya.

Tapi, kau tidak pernah bisa melupakan ciuman itu kan? Kau bahkan sering mengharapkannya lagi.

Kau kagum atas kehebatan Ryder di atas ring yang sering kau lihat di Youtube. Kau takjub saat mendengarnya berkomentar terhadap buku-buku yang pernah dan belum kau baca. Kalian punya kesamaan selera musik meski humor kalian terkesan garing. Kau memang membencinya tapi di saat bersamaan kau menyukainya, Lex. Akui saja!

"Andai kata bisa amnesia, aku ingin hilang ingatan," dengusnya kesal selagi menekan tombol agar kecepatan treadmill menurun lamat-lamat.

Sesaat kemudian denting notifikasi di ponsel membuyarkan pergolakan batin Alexia. Begitu mesin mati sempurna, dia bergegas mendekati gawai tersebut dan mendapati Ryder mengiriminya sebuah pesan singkat.

Ryder : Ternyata aku diundang. Mau berangkat bersamaku?

"Dasar buaya," gerutu Alexia menutup pesan tersebut tanpa membalasnya. "Begitu saja dia masih belum sadar apa salahnya."

Tunggu! What's fucking wrong with me? Kenapa aku marah-marah tak jelas padahal hubungan kami pun sebatas tim? Bloody hell!

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro