52. I'm lost

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'Give it to her however she wants, told her that she gotta keep it down though. I could do this shit like every night.'

-Chase Atlantic-

***

Samsak menjadi saksi bisu Ryder melampiaskan emosi yang bercampur aduk antara kemurkaan dan kekecewaan. Usai menerima medali emas dan wawancara singkat, Ryder langsung melenggang pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilan Lucas yang ingin mengajaknya makan malam bersama Levi.

Kilasan raut tegang Alexia menerima pertanyaannya kembali terbayang-bayang membuat gumpalan amarah kian menghantam Ryder tanpa ampun. Entah kesalahan macam apa yang diperbuat Ryder hingga Alexia kembali meragukannya sedemikian rupa.

"Fuck! Fuck! Fuck!" Ryder menggeram makin beringas memukuli samsak.

Tak memedulikan napasnya yang nyaris di bawah batas, Ryder terus memukul. Kalimat Alexia seperti sebilah pedang tajam yang merajam hatinya. Bagaimana bisa semua pengorbanan yang dilakukan Ryder tak begitu berarti di mata gadis itu. Tidakkah dia sadar kalau Ryder menyerahkan diri saat menyatakan perasaannya?

"What are we, Lex?" desak Ryder tak kunjung mendapat jawaban.

Alexia menggigit bibir bawahnya lalu berucap, "You know what we are, Ryder."

Ryder memicingkan mata, menangkap bongkahan kebimbangan menggelayuti benak Alexia. Kalau memang sudah tahu kenapa gadis itu tak segera mengikrarkan hubungan mereka? Kenapa harus berbelit-belit seperti ini?

"Are we just friends?"

"Tidak, Ryder." Alexia menggeleng pelan. "Kita lebih dari sekadar itu, kau paham perasaanku."

"Lantas apa?"

Sorot mata Alexia yang tadinya cerah kini suram lalu dia menundukkan pandangan sembari menghela napas panjang. "Aku hanya takut, Ryder. Perasaan kita ini hanya sesaat saja karena kita sering bersama."

"Apa? Apa maksudmu?"

"Komitmen, Ryder, aku takut akan komitmen," aku Alexia menaikkan pandangan dengan senyum masam. "Komitmen dan perasaan seringkali berubah. Tidak ada yang abad di dunia ini, Ryder."

"Fuck, fuck, fuck!" Ryder menjerit memenuhi ruang gym dan membangunkan Coco yang tadinya terlelap tak jauh darinya. Dia menanggalkan punch mit lalu membanting ke lantai begitu ponselnya berdering nyaring. Disambar barang tersebut dan membentak, "Apa!"

"Woah, hold on ... " Suara Steve terdengar kaget. "Are you Okay, Dude?"

Ryder mengusap wajahnya yang berkeringat lalu menjawab, "No. Ada apa kau meneleponku?"

"Hanya ingin mengajakmu minum. Beberapa hari ini kau tidak bisa dihubungi, apa ada masalah?"

"Jam berapa dan di mana?" Ryder mengalihkan pembicaraan.

"Jam delapan di bar biasanya. Aku mengundang Jhonny, tidak apa-apa kan? Aku perlu dia mengajariku gitar," tandas Steve.

"Terserah kau saja," ketus Ryder lalu mematikan sambungan telepon.

###

"Tambah lagi!" Ryder mengacungkan botol wiski kepada bartender membuat keempat temannya yang mengelilingi meja bar saling sikut-menyikut.

Sang bartender menyerahkan sebotol minuman itu kepada Ryder dan mengingatkan agar tidak berlebihan daripada pingsan. Ryder mengibaskan tangan, menyiratkan agar tidak mencampuri urusannya.

Sementara Steve yang sempat dibentak Ryder akhirnya bercerita kepada Albert dan Freddie kalau pria di sampingnya ini sedang memiliki suasana hati yang sialan buruk. Albert sudah menebak karena ketika pertandingan usai, Ryder justru menghilang ditelan bumi.

Lain halnya dengan Jhonny yang sudah paham akar masalah yang menimpa Ryder. Kakaknya ikut-ikutan lebih banyak diam seperti orang linglung saat di apartemen. Begitu bertemu para gadis, Alexia memasang topeng palsunya.

"Apa yang kau katakan pada Ryder, Lex?" Jhonny memberi pertanyaan ketika duduk berselonjor menikmati film horor. Dia mengelus kepala Peanut lalu melirik kakaknya yang membisu. "Kau diam. Ryder diam."

"Aku tak diam," elak Alexia menyikut lengan adiknya. "Jangan sok tahu."

"Kau bisa cerita pada kami, Bung." Suara Albert memecah keheningan.

Ryder meneguk wiski lalu menggoyang-goyangkan gelas kristalnya dengan pandangan buram. "Apa menurutmu aku ini bajingan?"

Keempat pria di depan Ryder saling adu pandang lalu menggeleng serempak.

"Tidak." Kali ini Jhonny yang menjawab.

Sebelah tangan Ryder memukul dadanya seakan-akan ingin mengeluarkan kerikil-kerikil runcing yang memenuhi rongga dadanya. "Aku melakukan segalanya. Aku menurunkan egoku untuknya. Aku bahkan rela menghajar siapa pun yang menyakitinya. Tapi ..."

Sesaat dia terdiam manakala bayangan Alexia di lorong gelanggang memenuhi kepala.

"You know what we are, Ryder."

"Komitmen dan perasaan manusia bisa berubah, Ryder."

Ditenggak wiski sampai tak tersisa lalu terbata-bata dia berkata, "A-aku mencintainya, tapi ... dia ... bahkan tidak membalas pengakuanku..."

Steve yang paham betul arah pembicaraan ini menepuk pundak Ryder, sedangkan Jhonny menuang cairan kecokelatan itu ke dalam gelas si pria patah hati tanpa melontarkan apa pun. Dia takut bila sepatah kata bisa memperburuk keadaan.

"Kau sudah melalukan yang terbaik untuk cintamu, Ryder," tukas Steve bersimpati. "Hanya saja, tidak semua cinta patut dibalas sebagaimana mestinya."

"Why?" Ryder menaikkan intonasinya tak terima. "Seharusnya bisa kan? Kami selalu bersama, bahkan aku tahu dia menginginkanku, tapi ..."

"Keraguan yang membelenggunya," sambung Freddie yang dibalas anggukan pelan Albert.

"Sorry, Ryder." Jhonny buka suara merasa tak enak hati. "Bukankah sudah kujelaskan kalau mendapatkan Alexia itu harus sabar? Kau hanya perlu membuktikan-"

"Membuktikan apa lagi, hah!" Bentak Ryder melayangkan tatapan tajam ke arah Jhonny. Dia menyesap minumannya lagi sambil geleng-geleng kepala merasakan hatinya terluka luar biasa. "Memukul orang? Dipenjara? Berlutut di depannya? Memberikan apa yang dia mau? Bahkan aku bersedia membunuh jika Alexia menyuruhku. Apalagi yang harus kuserahkan, hah?"

Albert yang duduk di samping Jhonny mengedip-ngedipkan mata supaya tidak menanggapi amarah Ryder. Jhonny merenggut pelan, "Maafkan aku."

"Apa karena dia mengira aku masih menyukai Cherry?" Ryder meneguk wiski mengabaikan sensasi hangat sekaligus pedas menyebar di permukaan lidahnya. "Apa karena aku akrab dengan gadis-gadis? Apa hebatnya si Drew keparat itu, hah!"

"Ryder ... sudahlah ..." Freddie hendak merebut botol wiski Ryder namun ditepis kasar.

"Bung, I know what you feel, tapi beri sedikit waktu baginya untuk memikirkan hubungan kalian berdua," ucap Steve. "Aku yakin Alexia-"

"Kau hanya mencoba menghiburku, Steve," potong Ryder menepis tangan Steve di pundaknya. Tak lama, sebutir air mata jatuh dari pelupuk mata dan di sinilah Ryder menampakkan diri sebagai pria malang yang baru mengalami patah hati terhebat.

"I love her... I love her ..." gumam Ryder menundukkan kepala dengan bahu terguncang. "But, She doesn't. It... it fucking hurts me..."

"I know, Bung ..." Steve merangkul bahu Ryder. "I know ... patah hati memang menyakitkan, tapi tetaplah tegakkan badanmu. Perempuan tidak-"

Ucapan Steve tertahan manakala Jhonny melayangkan pandangan tak suka.

"Aku yakin dia punya rasa yang sama," ralat Steve serba salah.

###

Ryder pulang dalam kondisi hangover sambil meracau tak jelas saat Steve dan Jhonny memboyongnya ke apartemen. Lelaki itu bernyanyi dengan suara sumbang sambil mengacungkan tangan meminta kepada semesta agar membukakan hati Alexia untuknya. Beberapa kali pula Ryder tergugu sebelum mengumpat Jhonny sebagai adik tak tahu malu karena dianggap tidak mau merestui hubungannya.

Jhonny memutar bola mata. "Kau mabuk dan aku benci kau marah-marah tak jelas," gerutunya membaringkan Ryder di atas sofa.

"Dia memang begitu," imbuh Steve merasakan pinggangnya sakit bukan main. "Apa kau akan di sini?"

Jhonny melenggut. "Aku yakin dia bakal butuh bantuan dan tidak mungkin Coco meladeni tuannya yang gila."

"Baiklah." Steve menepuk pundak Jhonny. "Hei, Sorry kalau aku bilang begini, tapi kalau aku jadi Ryder mungkin aku akan gila sepertinya. Tidak ada yang tidak tahu hubungan kakakmu dan Ryder, Jo. Mungkin Ryder terkesan buaya tapi percayalah, cintanya tidak pernah main-main bahkan ke mendiang Cherry."

"Aku tahu." Jhonny menghela napas menatap penuh iba ke arah Ryder. "Tapi, hati Alexia memang seperti itu. Aku sendiri sebagai adiknya saja tidak paham apa yang diinginkan kakakku."

"Ya, aku juga. Aku juga masih sakit hati ditolak olehnya." Steve tersenyum kecut. "Ah, kalau kakakmu bertanya tentang perasaan Ryder, jawab saja masa lalunya dengan Cherry sudah selesai. Ryder hanya mencintai kakakmu bukan gadis yang sekarang tinggal tulang belulang."

"Lex ... Lexi ...." Ryder kembali meracau memanggil nama Alexia.

"Sudahlah, kau urus sisanya ya. Aku mau pulang."

Sepeninggal Steve, Jhonny mengirim pesan kepada Alexia kalau akan bermalam di kediaman Ryder. Dia juga melaporkan kalau Ryder sedang dilanda patah hati yang teramat sangat karena keraguan tak berujung Alexia.

Jhonny : Ini bukan urusanku, tapi Ryder benar-benar menderita, Lex.

Dia memotret Ryder yang terlelap dan dikirim ke kakaknya.

Jhonny : Kalau kau tidak mau berkomitmen setidaknya jangan kasih harapan. Lebih baik jujur dari awal daripada akhirnya mereka kelabakan menyembuhkan patah hatinya.

"Lex ...." Ryder mengigau lagi sambil terisak. "Lexi ...."

"Ya ampun..." Jhonny geleng-geleng kepala. "Pesona kakakku terlalu kuat sampai banyak pria yang dibuat patah hati."

Kalau bukan karena Dad, mungkin Alexia lebih bisa menghargai perasaan mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro