17. Teman Rasa Saudara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada beberapa hari yang akan sulit dilupakan seorang Alkana. Benar. Alkana, tanpa nama belakang. Namanya hanya terdiri dari satu kata. Sebelumnya, Pak Dwipiga berniat menambahkan nama keluarganya di belakang nama Alka, tetapi ia menolak. Bukan karena tidak menghargai niat baik Pak Dwipiga, Alka hanya merasa tidak pantas. Hari pertamanya bertemu dengan Zian, hari ketika Mama Zian pingsan dan hari ketika Pak Dwipiga diangkut paksa oleh segerombol orang berseragam adalah hari yang tidak akan pernah ia lupakan meski sudah mencoba untuk lupa.

Tidak ada satu pun hari berharganya tanpa Zian. Jika hidup Alka diibaratkan seperti kanvas putih, Zian adalah warna bagi hidupnya. Hari pertama ia menginjakkan kaki di rumah keluarga Dwipiga sebagai anak dari asisten rumah tangga mereka, Alka disambut dengan ramah, bahkan Pak Dwipiga langsung menawarkannya untuk sekolah, tetapi ia mendapat tatapan tidak suka dari anak Pak Dwipiga. 

"Zian, kenalan dong, sama temennya." Pak Dwipiga memanggil anak yang memelototi Alka sejak tadi. 

Bu Lana yang juga memandang tidak suka pada Alka, meraih lengan suaminya dan berbicara cukup keras. "Jangan dipaksa gitu, Pa." 

Pak Dwipiga mundur dan berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Alka. "Enggak apa-apa, ya. Zian lagi sibuk main, kenalannya nanti aja."

Alka yang masih berusia lima tahun hanya bisa mengangguk dan menunduk karena tidak tahu harus bicara apa. Ia terpaksa dibawa oleh ibunya untuk tinggal di sana karena nenek yang mengurusnya sejak bayi, meninggal dunia. Seolah ditarik ke dunia baru, Alka selalu menatap kagum pada setiap sudut bagian rumah tersebut. 

Anak berpakaian sederhana itu duduk di depan paviliun sambil melihat Zian yang bermain gelembung di balkon. Dengan melihat itu saja, Alka sudah merasa senang.

Begitu menyadari kalau ia sedang diperhatikan, Zian menatap sinis. "Apa liat-liat?"

"Enggak apa-apa. Aku cuma mau lihat gelembung aja."

Tiba-tiba anak laki-laki yang bermain gelembung itu menjulurkan lidah pada Alka. Ia memamerkan mainan satu per satu seolah mengejek. Begitulah pertemuan pertama Alka dengan seseorang yang tidak pernah ia duga akan menjadi sahabatnya di kemudian hari. 

Satu kejadian yang membuat Alka dan Zian berteman adalah ketika Bu Lana pingsan. Pagi itu, Alka ngotot membantu Ibu untuk membersihkan kaca di rumah itu supaya Ibu bisa pergi ke pasar dengan cepat. Satu tahun sudah berlalu, tetapi ia masih belum pernah bicara dengan Zian. 

Ketika Alka masih sibuk mengelap kaca dengan tangan mungilnya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan teriakan Zian dari halaman belakang. 

"Mama." 

Alka langsung berlari menghampiri sumber suara. Ia melihat Bu Lana sudah terbaring di rumput. 

"Ibu, kenapa?"

Zian menangis dan menjawab sambil terbata-bata. "Enggak tau, tadi kami lagi main. Terus Mama jatoh."

Alka langsung berlari menuju telepon yang ada di dalam rumah. Ia tahu caranya menggunakan telepon karena ia selalu menggunakan benda tersebut untuk menelepon ibunya. Meski harus menumpang di rumah tetangganya yang punya telepon. 

"Halo. Bapak, ini Alka. Bu Lana pingsan di halaman belakang."

"Pingsan?"

Alka mengangguk. "Iya. Ibunya Alka lagi belanja ke pasar sama Bi Asih. Bapak sopir pergi anter Ibu. Di rumah nggak ada orang lain."

"Oke, terima kasih. Saya segera pulang."

Alka kembali ke halaman belakang dengan berlari. Ia melihat Zian yang kentara sekali tengah panik dan khawatir. "Aku udah telepon Bapak. Katanya udah mau ke sini. Kamu jangan nangis terus."

Bukannya mereda, tangis Zian malah semakin kencang. Dengan buru-buru, Alka kembali berlari meninggalkan Zian dan Bu Lana. Ia segera membuka pintu depan setelah mendengar suara mobil. Seseorang yang tidak Zian kenali datang dan ia ragu untuk mempersilakan orang tersebut masuk.

"Kamu Alka, ya? Saya Dokter yang dikirim Pak Dwipiga. Bu Lana ada di mana?"

Mendengar penjelasan pria yang ada di hadapannya membuat Alka mengembuskan napas lega. Ia segera membuka pintu lebar-lebar. "Ada di halaman belakang."

Setelah menutup pintu, ia langsung berlari ke halaman belakang. Wanita yang pingsan itu segera dipindahkan ke kamar. Untungnya, dokter tersebut bilang kalau Bu Lana baik-baik saja dan wanita itu sadar setelah beberapa saat. Tidak lama setelah dokter tersebut memeriksa Bu Lana, Pak Dwipiga tiba dengan langkah tergesa-gesa. Alka meringsut mundur setelah orang dewasa di ruangan itu semakin banyak. Tanpa sadar, Zian mengikutinya. 

"Alka." Zian memanggil ragu.

Alka menoleh dan tersenyum. 

"Makasih, ya. Udah bantuin Mama aku." Zian melangkah mendekat dan mengulurkan action figure Ultramen yang ada sedari tadi ada di pelukannya. 

"Ini kan mainan kamu."

"Enggak apa-apa. Ambil aja."

Alka mengulurkan tangannya ragu-ragu. Ia meraih mainan itu dan tersenyum setelahnya.

Zian tersenyum. "Kamu mau jadi teman aku?"

Alka mengangguk dengan semangat. Sejak saat itu, Alka punya hampir semua mainan yang sama dengan yang dimiliki Zian. Pak Dwipiga juga jadi terbiasa membelikan dua mainan yang sama untuk Alka dan Zian. Ketika Alka masuk SMP, Pak Dwipiga mengangkat Alka menjadi anak setelah ibunya meninggal dunia karena sakit. 

Hal tersebut yang membuat Alka masih bertahan di rumah itu meski semua orang pergi setelah kasus yang menimpa Pak Dwipiga. 

***

Napas Bella sudah tidak teratur ketika mereka tiba di depan rumah Zian. Anehnya laki-laki bertindik yang ada di depan Bella, kelihatan tidak lelah sama sekali. Gadis berambut panjang itu mengikuti langkah Zian dan mereka berhenti di teras rumah untuk meluruskan kaki.

"Udah gue bilang, tunggu di rumah aja. Lo sih, pake ngotot segala mau ikut. Capek, kan?"

Bella berdecak. "Kan gue mau bantu. Lagian aneh banget deh, kenapa lo ngomong sama kucing?"

Belum juga pertanyaan Bella dijawab, seekor kucing masuk ke dalam area rumah tersebut melalui celah gerbang. Kemunculan kucing tersebut langsung disambut oleh Zian yang berlari kegirangan. Ia menggendong kucing tersebut dan mengelusnya sambil berjingkrak kegirangan.

Bella terkejut, tetapi ia turut tersenyum ketika melihat Zian bahagia. "Jadi, Rara itu kucing?"

Zian mengangguk. "Emangnya, lo kira apaan? Cewek? Ya, nggak salah, sih, Rara ini betina."

Bella tertawa kecil. Kini ia tengah menertawakan dirinya sendiri. Ia berbicara pelan. “Tahu gitu, gue nggak perlu repot-repot ikut keliling komplek cuma gara-gara kepo.”

Sepertinya Zian tidak mendengar keluhan Bella karena laki-laki bertindik itu kelihatan sibuk dengan Rara.

"Ka! Alka! Nih, Rara pulang, nih." Zian berteriak, tetapi suara keras seruan itu tidak membuat kucing yang ada di pelukannya merasa terganggu.

Melihat kucing tersebut nyaman dipelukan Zian, Bella yakin kalau kucing tersebut benar-benar menyayangi Zian, tidak peduli dengan penampilan atau suara keras laki-laki itu. Sama seperti Bella.

"Rara."

Bella mengerjap. Ia tidak tahu, kalau Alka bisa bertingkah begitu dramatis. Laki-laki berkacamata dengan pakaian sopan itu berlari heboh layaknya seseorang yang terjebak hubungan jarak jauh dan baru bertemu setelah bertahun-tahun terpisah.

Dengan cepat makhluk mungil berambut putih itu sudah berpindah ke pelukan Alka.

Zian tertawa ketika melihat Bella mengerjap tanpa henti. "Mohon dimaklumi, namanya juga bucin."

"Lo juga!" Alka dan Bella menyerukan kalimat itu bersamaan dan tertawa setelahnya.

Alka langsung memonopoli Rara dan membawanya ke halaman belakang.

"Rara itu sudah jadi anggota keluarga kami sejak awal tahun lalu. Tadinya Alka nggak suka sama kucing, tapi lama-kelamaan dia lebih bucing daripada gue."

Bella tersenyum. Ini adalah kali pertama Zian bercerita tentangnya tanpa diminta. "Bucing?"

"Iya, bucing. Budak kucing."

"Kayaknya kadar bucin kalian sama aja."

"Rara tuh, suka pilih kasih. Nggak tahu kenapa, dia suka banget deket-deket sama Alka. Kalo cuma ada gue, dia bisa main sama gue, tapi kalo udah ada Alka gue bakalan jadi kacang goreng. Makanya gue sama Alka bagi tugas buat ngasih makan dia. Supaya Rara nggak lupa ingatan. Kalo Alka mulu yang ngasih makan, bisa-bisa dia lupa sama gue."

"Kan, lo bucin parah." Bella tertawa.

"Ye, Alka lebih bucing."

Tawa Bella semakin kencang. "Kalian berdua itu mirip banget tahu, kayak saudara."

"Mungkin bisa dibilang gitu."

Hari ini Bella dikejutkan berkali-kali. Pertama soal identitas asli Rara yang dicurigai Bella sebagai kekasih Zian dan kini ia kembali dikejutkan tetang fakta kalau Alka adalah saudara angkat Zian. Laki-laki yang mengenakan kaus tanpa lengan itu menceritakan latar belakang sahabatnya dengan antusias.

Zian menunjuk tatonya. "Makanya kami buat tato yang sama. Seenggaknya, kalau salah satu dari kami mati, kami punya kenang-kenangan yang bakalan terus ada sampai mati."

Bella tidak menyangka kalau arti tato yang ada di lengan Zian, begitu dalam. Tadinya ia mau bertanya tentang sepinya rumah yang mereka tempati, tetapi ia mengurungkan niatnya. Bella percaya, suatu saat ia akan tahu dengan sendirinya. Seperti hari ini. Rasa penasaran tentang hubungan Alka dan Zian yang ia tahan selama hampir sebulan, bisa terjawab dengan mudah.

"Zi, lo bisa dansa?"

Zian tidak menjawab. Ia malah mengusap tengkuknya.

"Kata Alka, dia mau main piano buat lo. Kalo lo bisa dansa, gue bakalan jadi partner lo."

"Dalam rangka?" Zian masih belum mengerti.

"Hadiah kalo fisdas sama matdas lo bisa lulus kkm di UTS." Bella membuat penawaran.

"Bentar, gue lupa. Emangnya gue belom bilang, ya?"

Bella melongo. "Bilang apa?"

"UTS matkul dasar gue, udah selesai waktu lo seminar."

"Hah! Masa?"

Zian bangkit berdiri dan berjalan cepat memasuki rumah. Ia kembali kurang dari tiga menit. "Liat, nih."

Bella bertepuk tangan. Ia bangga karena Zian berhasil menyelesaikan UTS-nya. Nilai yang ada di kertas ujian itu adalah 62 dan 68. Bukan nilai yang besar, tetapi Bella benar-benar bangga. Itu tandanya ia berhasil menjadi guru yang baik.

"Gue lulus kkm. Jadi, kapan gue dapet hadiahnya?"

Aloha!
Periode bucin dimulai.

Terima kasih sudah membaca dan memberi vote.

Alka versi bucing.
#anggep aja kucing ye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro