Masinal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kakak, itu siapa?" soal lelaki kecil dengan diaper, bertubuh agak sintal. Telunjuknya mengarah seseorang yang datang dari gerbang.

"Entahlah." Remaja laki-laki di samping menjawab. Postur terbilang ceking dibanding remaja seusianya. Dia mengenakan jaket yang banyak berlubang.

Mereka duduk di bangku yang ternaungi pohon beringin. Di sekitar kaki tanpa alas keduanya, tampak tanah berair jernih.

"Kak, kenapa tidak ajak pergi saja?" tawar si anak kecil. Maka dia pun digandeng lalu bersama-sama menghampirinya.

Seseorang itu merupakan gadis muda yang memakai kacamata tebal, roknya panjang dan bajunya berlapis-lapis. Ada beberapa bekas luka di pergelangan kaki.

"Coba ajak bicara dia, Kak," ajak si anak kecil.

"Halo, kamu siapa?"

Gadis itu kebingungan. "Aku ... tidak tau. Setauku namaku cuma satu huruf."

"Bagaimana bisa kamu kemari?" tanya remaja laki-laki.

Gadis tersebut menggeleng. "Yang kuingat ada banyak orang berteriak. Suara-suara keras juga ledakan. Aku berlari ke gang kecil dan seketika gelap. Akhirnya aku terbangun di gerbang ini." Tunjuknya mengakhiri cerita.

"Dan bekas luka di kakimu itu?" Mereka memandang pergelangan kakinya yang terbenam di air dangkal yang dikerubuti ikan-ikan kacangan.

"Ini tidak sakit meski kugaruk. Kalau kalian siapa?"

"Soal itu ...." Keduanya saling pandang. "Kami juga tidak tahu."

Ketiganya pun berjalan menelusuri lorong berair yang bersambung dari gerbang. Tidak ada apa-apa di dalamnya selain cahaya dan kacang-kacangan yang berenang.

"Sepertinya tempatku sampai di sini."

"Tunggu." Si anak kecil mencegatnya. "Ini buat Kakak."

"Apa ini?" tanya si gadis.

"Oleh-oleh untuk kembali ke sana."

Gadis itu mengernyit ketika menerima sebuah anak panah berujung hati tajam. Baru dia ingin bertanya lagi, dua orang tadi sudah lenyap. Dia pun lanjut berjalan mengarungi tanah berair hingga sampai di depan pintu rumah yang terasnya tergenang banjir jernih.

Sebelum masuk dia memeras rok dan kemudian membuka daun pintu setelah mengetuk sedikit.

"Mama, aku pulang," salam gadis itu.

Lalu dia sadar seharusnya ini bukan rumahnya karena telah hancur bersama rumah-rumah lain saat akhir 2004. Hari ketika dia ingin menyatakan perasaannya kepada kakak kelas di sekolah, yang justru menjepitkan kakinya ke pagar kawat sehingga tidak terbawa, sementara gadis itu menyaksikan kakak kelas dan semua kawan-kawannya terseret jauh.

Sekarang panjang waktu berlalu dan kabar tentang kakak kelas masih abu-abu. Di kontrakan barunya dia terbangun dengan anak panah di genggaman. Apa yang harus dilakukannya?

***

Mimpi yang aneh. Bagaimana bisa ketika bangun, Ren benar-benar mendapati sebuah anak panah di tangannya? Anak panah berujung hati tajam.

Tidak mungkin, 'kan, dia membawa anak panah ini dari dalam mimpinya semalam? Pasti ada orang yang mengisenginya, tapi siapa? Pemikirannya itu sedikit diragukan lantaran dia hanya tinggal seorang diri dan pintu rumahnya selalu dikunci setiap dia pergi tidur. Apalagi panah berwarna keemasan itu tampak asli sekaligus luar biasa. Seperti ada kekuatan magis di dalamnya.

"Tunggu, apa justru sekarang aku tengah bermimpi?" Dia mencubit pipinya sendiri dengan cukup kencang. "Awss, tidak. Ini bukan mimpi."

Beberapa orang langsung menatap Ren karena pekikannya yang cukup keras. Gadis itu tersenyum canggung dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Saat ini, dia tengah berada di dalam bus. Tadi pagi, Kirana yang merupakan tetangga Ren menghubunginya. Dia meminta bantuan agar dirinya mau menjaga toko bunga karena Kirana ada urusan penting yang tak bisa ditinggal.

"Permisi, boleh saya duduk di sini?"

Perkataan itu mengalihkan perhatian Ren begitu cepat. Kini, dengan jantung yang berdebar hebat dan rasa terkejut luar biasa tak terhindarkan, Ren terdiam kaku di tempatnya duduk. Sama halnya dengan laki-laki berkacamata yang baru saja mengajaknya bicara.

"Bo-boleh."

Aneh, apa ini juga termasuk mimpi? batin Ren bertanya-tanya.

Astaga! Apa ini sungguh mimpi?

Ren tidak berani menoleh ke samping untuk memastikan jika laki-laki di sebelahnya adalah Ken, kakak kelasnya saat sekolah dulu sekaligus orang yang sangat dia cintai. Di saat debaran jantungnya menimbulkan sesak di dada dan otaknya memaksa untuk bepikir waras, sentuhan di pergelangan tangannya membuat Ren akhirnya menoleh. Untuk kedua kalinya mata mereka bertemu.

Tatapannya, benar-benar teduh dan sama persis dengan mata Ken.

"Kamu Ren?"

Baiklah, ketika mendengar suaranya Ren semakin yakin jika ini memang mimpi. Gadis itu tersenyum samar dan menggeleng. Tidak mungkin jika Ken masih ada. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri jika laki-laki itu terbawa arus banjir.

"Bukan, ya?"

Sial, Ren tidak tahan lagi. Dia mencubit kencang pinggangnya hingga lagi-lagi menimbulkan suara pekikan. Kali ini lebih keras membuat orang-orang melotot dan menatap bingung padanya. Termasuk laki-laki disampingnya itu.

"Kamu gak apa-apa?"

"Jangan sentuh!"

Laki-laki itu spontan mengangkat tangannya. Sementara itu Ren yang masih dengan keterkejutannya memandang manusia di hadapannya dengan tatapan meneliti.

"Nama saya, Ken. Keano Respati."

Deg!

Sepertinya ini memang terlalu nyata untuk dianggap sebagai mimpi semata. Matanya terlalu indah, tatapannya begitu teduh dan suaranya yang merdu memang sama persis seperti Ken.

"Kamu Ren, bukan?"

Kali ini Ren mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Setelah banyaknya kehilangan yang telah dilaluinya, dia tidak pernah menyangka bahwa akan ada yang kembali.

"Sudah sejak lama saya mencari kamu, Ren. Tidak pernah saya sangka kita bertemu di tempat tak terduga. Tepat seperti dugaan. Sebahagia ini rasanya bisa bertemu kamu kembali."

***

Rasanya terlalu tiba-tiba sampai Ren tak mampu berkata-kata dan hanya bisa menatap wajah Ken. Setelah bus berhenti di halte, laki-laki itu langsung mengajarnya keluar dan membawanya pergi kesebuah tempat makan.

"Katakan bagaimana kabarmu."

Tidak, Ren tidak tahu kenapa sulit sekali mengeluarkan suara.

"Kenapa diam saja? Kamu terkejut, ya, melihat saya?"

Entah kekuatan dari mana sampai Ren mampu mengeluarkan suara. Bukan, bukan sebuah ucapan, melainkan isakan. Ken tentu saja terkejut, begitu pun semua orang. Dia beralih duduk di samping Ren dan mengusap lembut rambutnya, berusaha memberi ketenangan. Dia tidak mengatakan apa pun sampai tangis Ren mereda.

"Maaf," ucap Ren pelan. Merasa tidak enak dan malu karena menangis di depan Ken. Oh, tidak, tapi di depan semua orang yang sedari tadi terus mencuri pandang ke arah meja keduanya.

"Tidak perlu minta maaf. Kenapa menangis?" tanya Ken lembut, sangat lembut sampai membuat Ren ingin menangis lagi.

Ren hanya menggeleng. "Hanya tidak menyangka akan bertemu kamu. Aku kira kita tidak akan pernah bertemu lagi."

Ken tersenyum. "Mana bisa seperti, Ren. Kamu bahkan belum menyatakan perasaanmu kepada saya."

Seketika Ren mendongak menatap Ken. Menyatakan perasaan?

"14 Februari 2004. Seharusnya itu menjadi hari istimewa untuk saya. Oh, bukan, sepertinya untuk kita. Sayang sekali saat itu, keadaan tidak mendukung dan mengharuskan kita berpisah dalam kurun waktu yang cukup lama."

Tunggu, Ken tahu jika dulu saat disekolah Ren ingin menyatakan perasaannya? Bagaimana bisa?

"Tingkah kamu sangat mudah di tebak. Bahkan jauh sebelum hari itu, saya sudah berpikir jika kamu memang tertarik dengan laki-laki culun seperti saya. Meskipun awalnya hanya menganggap kamu sebatas adik kelas yang menggemaskan, lama-kelamaan rasa itu muncul. Terdengar tidak masuk akal karena kita bahkan tidak dekat. Rasanya senang sekali bisa melihat kamu setiap hari di sekolah. Bahkan meskipun kita sempat harus berpisah, rasa cinta ini tidak semudah itu untuk hilang. Aneh, ya. Padahal sudah bertahun-tahun lamanya. Sekarang sudah tahun 2012. Bisa melihat kamu berada tepat di depan mata, seperti menambah rasa itu semakin menumpuk sampai tidak ada habisnya."

Penjelasan panjang Ken mampu membuat Ren diam membeku. Dia berusaha meyakinkan dirinya-sendiri jika apa yang di katakan Ken memanglah sebuah kebenaran. Jadi, Ken juga menyukainya? Selama ini orang yang dia kagumi secara diam-diam juga mengaguminya?

"Kemana saja kamu selama ini?"

Ken tersenyum, mengusap lembut rambut Ren dan menyelipkan anak rambutnya kebelakang telinga. "Ceritanya panjang. Tidak akan cukup waktunya jika saya harus cerita sekarang."

Kening Ren berkerut, tanda kebingungan. "Maksudnya?"

"Saya ingin mengajak kamu ke suatu tempat."

"Kemana?"

"Rahasia. Tapi itu pun kalau kamu bersedia."

"Aku mau!"

Lagi-lagi senyuman manis itu terbit. Ken segera menggandeng tangan Ren keluar dari sana dan berjalan menuju sebuah mobil berwarna hitam yang sudah terparkir rapi di depan restoran.

"Milik kamu?" Ken mengangguk menanggapinya.

Perjalanannya cukup singkat. Mereka sampai di sebuah dermaga yang sepi. Benar-benar tidak ada orang di sana. Angin berembus lembut begitu memabukkan dan siapa saja bisa dibuat mengantuk karenanya.

"Ingat liburan sekolah tahun 2003 lalu?"

Ren mengangguk. "Di sini tempatnya."

"Benar."

"Kenapa kita ke sini?"

"Saya punya hutang dengan tempat ini?" Ren semakin kebingungan, tapi dia menunggu Ken melanjutkan bicaranya. "Di tahun itu, saya berniat mengungkapkan perasaan saya ke kamu. Saat itu rasanya begitu percaya diri sampai bersumpah di depan lautan bahwa kamu akan menjadi milik saya. Jika diingat-ingat lagi cukup memalukan. Tapi bisa saya maklumi, saat itu saya sedang berada di masa mabuk cinta. Dipenuhi semangat dan gairah. Namun, sayang sekali rencana saya harus gagal karena kamu yang tiba-tiba izin pulang. Tidak jadi menikmati liburan bersama."

Ken tertawa kecil.

"Saya merasa malu kepada laut, tetapi tetap ingin membuktikan ucapan saya. Meskipun tidak tahu kapan, saya tahu hari itu pasti datang."

"Ken."

"Mhm?"

"Aku masih sulit percaya jika kamu memang menyukaiku."

Sungguh, Ren bahkan masih bingung ini mimpi atau bukan. Teringat mimpinya, Ren langsung teringat dengan anak panah yang dia peroleh dari alam mimpinya. Mungkinkah, anak panah itu adalah sebuah tanda keberuntungan mengenai kisah cintanya? Apakah panah itu yang mendatangkan Ken kembali padanya?

Ren menggeleng. Jangan ngelantur.

"Kenapa?"

"Tidak."

"Bagaimana cara agar kamu percaya saya mencintaimu?"

Tidak, jangan katakan hal semacam itu. Ren tersenyum masam merasakan jantungnya berdebar kencang.

"Tidak tahu."

Ken tertawa. Tangannya bergerak menyelinap ke pinggang Ren untuk menarik tubuhnya mendekat membuat gadis itu menahan napas. Dia mendongak menatap Ken juga juga memandangnya lembut.

"Bagaimana bisa Tuhan menciptakan manusia seindah ini? Apa Dia tidak berpikir seberapa lelahnya saya melawan rasa minder hanya untuk mendekati kamu? Saya selalu merasa terlalu kecil dan kumal untuk gadis semanis kamu, Ren."

Sungguh, Ren tidak mampu berkata-kata oleh ucapan manis Ken yang dengan mudahnya membuat dia terlena. Bahkan meskipun satu tangan Ken bergerak lembut di belakang lehernya, mengusapnya pelan bersama tatapannya yang memabukkan, Ren semakin tak berdaya. Nalurinya membuat gadis cantik itu menutup mata ketika napas Ken begitu terasa dekat di depan wajah. Angin yang berembus lembut seakan mendukung keduanya untuk semakin dekat dan menyatu.

Namun, sebuah suara yang terdengar dari benda pipih di saku celana menyadarkan keduanya. Ken segera melepaskan pelukannya dan Ren juga menjauh dengan gerakan kikuk dan pipi yang memerah.

"Saya harus pergi."

Ucapan singkat dan jelas itu mengejutkan Ren. "Kemana?"

"Ada hal lain yang harus saya urus."

"Aku ikut."

"Tidak bisa, Ren. Saya akan mengantar kamu pulang."

"Tapi...."

Tidak. Mereka bahkan baru saja bertemu. Ren tidak ingin kehilangan Ken untuk kedua kalinya. Ken yang seakan mengerti dengan kecemasan Ren tersenyum.

"Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Bagaimana jika besok kita bertemu lagi di sini?"

"Tapi kamu datang, kan?"

"Tentu saja. Saya justru takut kamu yang tidak datang."

"Bodoh. Mana mungkin aku tidak datang."

Ken tersenyum. "Kalau begitu, ayo pulang."

Meskipun berat, Ren akhirnya bersedia untuk di antar pulang.

***

Hari ini terasa cepat berlalu. Setelah Ken pergi dari rumahnya, Ren langsung berlari ke kamar dan masih mendapati anak panah itu di atas meja.

Benarkah ini semua berkat anak panah itu? Tapi kenapa? Dan bagaimana bisa? Atau Ren saja yang terlalu berimajinasi tinggi?

Ren sangat bersemangat menunggu hari esok. Dia bahkan sampai tidak bisa tidur dan baru bisa memejamkan mata ketika jam menunjukkan pukul tiga pagi. Ketika terbangun di jam tujuh, perempuan itu langsung mandi dan bersiap-siap. Kali ini dia memakai baju kesukaannya. Dress selutut berwarna biru muda. Dia bahkan mengabaikan beberapa panggilan dari Kirana. Biarlah, dia tidak peduli jika nanti Kirana mengomelinya habis-habisan.

Ren pergi dengan menaiki taksi. Mungkin dia datang terlalu cepat karena meskipun sudah dua jam menunggu, Ken tak kunjung datang. Demi menghilangkan rasa khawatir dan pikiran-pikiran aneh, Ren mulai bermain pasir atau sekadar mengambil kerang.

"Apa dia lupa?" gumamnya ketik matahari berada tepat di atas kepala.

Ren mencoba untuk tetap tersenyum dan berpikir positif. Dia mulai menyanyikan beberapa lagu untuk menghibur dirinya-sendiri. Namun, ketika matahari sudah berada di arah barat, dan cahaya kekuningan begitu menyilaukan mata, orang yang ditunggu dengan penuh kesabaran tak kunjung datang.

Ditempatnya terduduk, Ren tersenyum. Setelah kemarin merasa menjadi manusia paling bahagia, kini dia justru merasa menjadi manusia paling menyedihkan.

Kenapa rasanya harus sesakit ini ketika terluka.

"Mungkin, Tuhan memang tidak mau dia kembali kepadaku," gumamnya pelan.

Sebelum pergi, dia kembali berkata, "Terima kasih atas lukanya."

***END***
Ditulis oleh William_Most & divarvni_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro