You or Me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ini adalah targetmu selanjutnya, lakukan dengan cepat karena kau hanya memiliki waktu tiga hari. Ingat itu baik-baik!" ucap seorang pria paruh baya seraya meletakkan selembar foto ke atas meja.

"Aku tidak suka dibatasi oleh waktu," balas lawan bicaranya dengan datar.

"Kau tidak punya pilihan, Liam. Lakukan saja apa yang menjadi tugasmu, tidak perlu banyak permintaan."

Orang yang dipanggil Liam itu hanya diam, bahkan ketika pria paruh baya itu meninggalkannya, ia tidak mengatakan apa pun. Liam mengambil selembar foto yang diberikan pria tadi, terlihat  tulisan-tulisan yang berisi data seseorang.

Targetnya kali ini adalah seorang wanita bernama Bahira Axel. Dia adalah penerus dari sebuah perusahaan besar, tetapi karena pamannya ingin menguasai perusahaan tersebut, nyawa wanita itu menjadi terancam. Sangat disayangkan.

Liam membalikkan foto itu dan kini wajah targetnya sudah terlihat dengan jelas. Liam tersenyum miring seraya menatap gambar wanita cantik itu.

***

Liam terus memperhatikan seorang wanita yang duduk sendirian di sebuah taman seraya memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya. Kelihatannya kegiatan tersebut hanyalah kegiatan biasa, tetapi Liam tahu bahwa di sekitar wanita itu ada beberapa orang bodyguard yang akan melindunginya.

Liam mengetahui hal tersebut, karena itulah dia belum mengambil tindakan dan hanya mengawasi pergerakan wanita itu.

Liam memejamkan matanya sejenak karena merasa jenuh dengan kegiatannya ini. Ketika Liam membuka matanya, ia terkejut karena targetnya sudah tidak ada di posisinya tadi.

Ke mana wanita itu pergi?

"Permisi, Tuan," sapa seseorang diiringi dengan menepuk pundak Liam.

Sontak Liam menoleh ke belakang dan mendapati Bahira Axel di belakangnya, wanita yang daritadi diperhatikannya justru kini membuatnya terkejut.

"Ada apa?" tanya Liam pura-pura tidak tahu apa pun.

Wanita itu tersenyum tipis mendengar ucapan Liam.

"Aku sendirian di taman ini, apakah kau mau bergabung denganku?" tawar Bahira.

Liam terdiam mendengar tawaran yang diajukan oleh Bahira. Kenapa wanita ini tiba-tiba bersikap seperti ini? Padahal mereka tidak saling mengenal. Apakah ini adalah sebuah jebakan? Atau, justru Bahira ini tahu siapa Liam?

"Tentu saja." Akhirnya Liam menyetujui tawaran yang diajukan Bahira, mungkin dengan ini ia bisa menjalankan tugasnya dengan lebih mudah.

"Ayo, ke sana."

Liam mengikuti Bahira dari belakang. Sesekali, dia memperhatikan sekelilingnya, apakah ada yang mencurigakan atau tidak.

Sesampainya di sebuah bangku panjang, mereka duduk dan Bahira mengeluarkan isi dari paperbag yang dipegangnya. Liam mengernyit heran karena daritadi ia tidak melihat Bahira membawa paperbag itu.

"Ini makanan kesukaanku, brookie cheesecake, ambillah," ucap Bahira seraya memberikan sepotong brookie cheesecake itu.

Liam ingin menolak, tetapi takut membuat Bahira menjadi curiga.

"Kau bukan seorang anak kecil yang dilarang ibunya untuk menerima pemberian dari orang yang tidak dikenal, kan?" tanya Bahira seraya tertawa pelan.

Liam tidak tersinggung, dia justru menganggap pembicaraan mereka ini memiliki makna yang lain.

"Tentu saja tidak, aku bisa menerima apa pun dari siapa pun juga. Tidak ada aturan dalam hidupku," jawab Liam penuh dengan makna.

Liam mengambil sepotong brookie cheesecake tersebut, lalu memakannya. Bahira melakukan hal yang sama.

Wanita itu sedikit menunduk dan menyeringai, brookie cheesecake yang dimakan oleh Liam itu sudah diberikan sedikit bius oleh bodyguard-nya.

***

Perlahan, Liam membuka kedua matanya. Ia melihat sekelilingnya dan ternyata itu adalah kamarnya sendiri dengan ia yang terbaring di sofa. Bagaimana dia bisa berada di rumahnya sendiri? Liam mencoba mengingat apa yang terjadi. Dia memakan brookie cheesecake, lalu tidak mengingat apa pun.

Ya! Bahira Axel. Pasti dia yang melakukan semua ini, tetapi kenapa dia melakukan ini? Apa wanita itu tau apa tujuan Liam memperhatikan gerak-geriknya kemarin? Jika iya, maka tugasnya akan menjadi berat. Waktunya hanya tersisa dua hari, apa ia mampu? Untuk pertama kalinya Liam merasa kesulitan untuk menjalankan tugasnya, karena lawannya kali ini tidak bisa ditebak.

"Kau sudah bangun? Ayo, duduk. Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu."

Liam langsung melihat ke arah sumber suara dan pria itu terkejut melihat Bahira berada di rumahnya.

"Apa yang kau lakukan di rumahku?" tanya Liam dengan nada yang ketara sekali tidak senang.

"Kemarin kau tidak sadarkan diri, jadi aku membawamu ke sini. Maaf karena aku lancang dengan melihat KTP-mu untuk mencari tahu alamatmu," jawab Bahira dengan tenang, seolah-olah dia tidak membuat kesalahan apa pun.

"Aku rasa kau tahu apa yang membuatku tidak sadarkan diri," terka Liam dengan sinis.

Bahira tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Aku juga tahu apa tujuanmu memperhatikan gerak-gerikku."

"Kalau begitu, kenapa kau berani datang ke rumahku? Kau tau, kan, kalau aku berbahaya."

"Ada beberapa bodyguard di sekelilingku, kau tidak akan bisa menyakitiku. Sudahlah, lupakan itu. Cepat makan sarapanmu."

"Entah apa yang kau campurkan dalam makanan itu, aku tidak sudi memakannya."

Lagi-lagi Bahira tersenyum tipis, senyum yang mampu membuat Liam tertegun. Karena selama ini, hanya Bahira yang tersenyum seperti itu kepadanya.

"Aku juga tidak mau menjadi targetmu. Perusahaan itu dibangun oleh orang tuaku, tetapi pamanku ingin menguasainya. Dia adalah pria jahat, dia akan melakukan apa pun untuk memenuhi keinginannya, tetapi perusahaan itu adalah hakku."

Bahira menghela nafas sebelum melanjutkan ucapannya. "Aku tidak tahu kenapa kau bersedia mendukung orang yang jahat, Liam. Jika ini tentang uang, tolong batalkan niatmu untuk menjadikanku sebagai targetmu. Aku akan memberimu lima kali lipat dari yang akan diberikan oleh orang itu."

"Ini bukan hanya tentang uang, tetapi balas budi. Aku melakukan ini karena orang yang menyuruhku pernah sangat membantuku, dan juga dia akan melenyapkanku jika aku tidak berhasil melakukan tugas ini."

Bahira menunduk sedih, membuat Liam menjadi bimbang. Entah kenapa, ketika melihat Bahira bersedih, dia merasa tidak senang. Lalu, apakah dia sanggup untuk melenyapkan Bahira, jika melihatnya sedih saja Liam tidak sanggup.

Namun, jika ia tidak melakukan tugasnya, nyawanya akan melayang dan keselamatan Bahira pun akan tetap terancam karena orang itu pasti akan menyewa pembunuh lainnya.

Bahira mengangkat wajahnya, menatap lekat pada sepasang mata hitam Liam.

"Jika kau melakukan semua ini karena pamanku pernah sangat membantumu, bagaimana jika orang yang harus kau bunuh adalah orang yang pernah kau cintai?"

Mata Liam memicing. "Apa maksudmu?"

"Embun yang membutakan perasaanmu ...," lirih Bahira.

Liam tertegun, sekelebat bayangan melintas dalam pikirannya. Kalimat yang diucapkan Bahira terdengar seperti kalimat biasa, tetapi tidak bagi Liam. Kalimat itu ... mengingatkannya pada kenangan lima tahun silam.

"Bahira Axel ... Baverly Hirata Axel," tekan Bahira.

Pria tinggi itu terperanjat dan menggeleng tak percaya. "Tidak ... Baverly sudah meninggal," desis Liam.

Bahira meringis, sesak dalam dada yang ia rasakan lima tahun silam kembali menghujam, seperti membuka luka lama.

"Kupikir, orang yang mencintaiku tidak akan percaya dengan kematian itu." Bahira berujar dengan suara yang bergetar, sementara matanya berair.

Liam bergerak mendekati Bahira dan dalam sekejap, tangan besarnya mencengkeram keras dagu dan pipi Bahira. Mata hitamnya membidik Bahira dengan tajam.

"Jangan bicara omong kosong!" gertak Liam.

Bahira merintih kesakitan dan air matanya tak dapat terbendung lagi. Dia menggeleng pelan, berusaha untuk menepis pikiran Liam yang mengira dirinya berbohong.

"Hanya Baverly yang pernah mengucapkan kalimat tadi. Buktikan kalau kau memang Baverly kesayanganku," titah Liam penuh tekanan.

Bahira menghela napas panjang. "Embun yang membutakan perasaanmu, hujan yang menutupi segala kenangan kita. Aku yang terlampau membencimu, hingga tak sadar pada semua keindahan cinta."

Liam menangis seketika, hingga cengkeraman tangannya melemah. Ia belum sepenuhnya percaya, semuanya terasa begitu semu.

Baverly Hirata, wanita yang pernah dicintai selama bertahun-tahun, hilang tenggelam dalam lautan kenangan, dan mati bersama segala harapan. Atas kehilangan itulah, akhirnya Liam mengambil jalan paling hitam dalam hidupnya, menjadi seorang pembunuh bayaran. Namun, bagaimana ia dapat menjalankan misinya sekarang, jika wanita yang seharusnya dibunuh ternyata wanita yang sangat dicintainya?

Dor! Dor!

Liam dan Bahira terperanjat mendengar suara tembakan berulang yang berasal dari luar. Liam mendelik pada wanita di hadapannya.

"Apa yang dilakukan para bodyguard-mu?"

"Aku tidak tahu, tapi seingatku mereka tidak membawa senjata sama sekali," jawab Bahira.

Tiba-tiba, pintu kamar Liam terbuka dengan keras, tampak tiga orang pria berbadan kekar dengan masker hitam yang menutupi wajah mereka.

"Siapa kalian?" pekik Bahira.

Liam bungkam, ia tahu tiga pria itu adalah rekannya yang juga pesuruh Adhyaksa—paman Bahira.

Tubuh Bahira tiba-tiba diseret oleh salah satu dari mereka, sontak Liam beranjak dan ingin menahan. Namun, tidak mungkin ia melawan, keselamatannya akan terancam.

"Siapa kalian? Di mana para bodyguard-ku?" pekik Bahira ketika tubuhnya benar-benar tak dapat memberontak.

Tak satu pun dari mereka menjawab, justru mereka semakin menyeret tubuh Bahira.

"Liam, bantu aku! Aku benar-benar Baverly! Aku senang kembali bertemu denganmu, tapi bukan pertemuan seperti ini yang aku inginkan!" Bahira masih terus berteriak sambil menangis, berharap Liam akan membantunya.

Tubuh Liam bergetar seiring menghilangnya Bahira dari pandangannya.

"Sial! Baverly!" murka Liam dengan segera berlari untuk menyusul kepergian Bahira.

Sepanjang keluar dari rumahnya, semua bodyguard Bahira rupanya sudah terkapar dengan darah yang bercucuran. Liam yakin, suara tembakan tadi yang membuat mereka semua merenggut nyawa.

***

"Dasar, bodoh! Aku memerintahkanmu untuk membunuhnya, malah kau yang dijebak olehnya!" cecar Adhyaksa.
Liam telah berhadapan langsung dengan tuannya di rooftop sebuah bangunan yang menjadi markas para pesuruh Adhyaksa.

Wajah tampan berkeringat Liam kini dalam keadaan babak belur. Tidak seperti biasanya, kali ini Liam harus menghadapi pesuruh Adhyaksa dulu jika ingin bertemu. Mereka semua sudah tidak percaya dengan eksistensi Liam.

"Kumohon, jangan sakiti Bahira. Jika harus ada nyawa yang dikorbankan, bunuh saja aku."

"Apa katamu?" Adhyaksa murka. Ia membanting segelas wine yang sedang diminumnya.

"Sialan! Memangnya kau berperan penting pada perusahaan itu? Tidak! Mau aku membunuhmu atau tidak, itu tidak akan berpengaruh sama sekali! Tetapi jika aku membunuh Bahira, maka kekuasaan berhasil aku dapatkan!"

Liam ingin kembali berbicara, tetapi suara serak Bahira menghentikannya.

"Liam."

Pria itu memutar tubuhnya segera dan nampaklah Bahira dengan penampilan yang begitu berantakan, kecantikannya tertutupi tangis dan noda-noda hitam di wajah.

Liam kembali menumpahkan air mata. Melihat Bahira yang begitu tersiksa membuat hatinya teriris-iris. Ia semakin yakin bahwa wanita itu tidak berbohong. Dia benar-benar Baverly.

Pria itu segera berlari menghampiri wanitanya dan berhambur memeluk tubuh ringkih itu. Hingga ia lupa bahwa Adhyaksa tengah menyeringai geram di belakangnya.

"Dia sedang memegang pistol, Liam," bisik Bahira memperingatkan.

Liam yang kembali sadar akan keberadaan Adhyaksa, perlahan merogoh saku celana dan meraih pistol pribadinya. Liam mulai berpikir, tidak mungkin Adhyaksa membiarkannya menyentuh, bahkan memeluk Bahira dengan begitu mudahnya.

Bahira semakin terisak. "Dia mengarahkan pistolnya, Liam. Kumohon, jangan lakukan apa pun. Kau bisa mati," bisiknya.

Adhyaksa menarik pelatuknya, Bahira menyadari itu, dia segera melepas rengkuhan Liam dan bertukar tempat. Bahira memejamkan mata ketika pamannya melepas tembakan dan ternyata yang keluar hanya suara angin.

Adhyaksa tertawa keras. Dia sudah mengatur pistolnya sedemikian rupa. "Astaga, keponakanku. Apa kau rela berkorban hanya demi cinta?"

Liam begitu geram mendengar suara Adhyaksa yang terkesan meremehkan. Giginyaa menggeletuk seiring pergerakan tangan yang mulai menarik pelatuk secara perlahan.

Dor!

Satu tembakan Liam layangkan ke arah lutut Adhyaksa dan membuat pria paruh baya itu tersungkur.

"Liam!" pekik Bahira ketika Liam berlari untuk mendekati Adhayaksa. Ia tidak bisa membiarkan pria itu hanya tersungkur, sementara tangannya masih menggenggam pistol.

Adhyaksa yang sudah terkapar itu kembali mengarahkan pistolnya, kali ini tembakannya benar-benar keluar, tetapi Liam berhasil menghindar.

Tangannya dengan cekatan menangkis setiap pergerakan Adhyaksa. Seharusnya, sekali saja Liam menendang, maka Adhyaksa akan mati terjatuh. Namun, ternyata tak semudah itu.

Beberapa anak buah Adhyaksa mulai berdatangan. Sebuah fakta terungkap, ternyata Bahira bisa berkelahi, meskipun tubuhnya terlihat lemah. Liam dan Bahira terbagi menjadi dua kekuatan untuk melawan Adhyaksa dan pesuruhnya.

Di balik rintihannya, Liam tersenyum bangga melihat pertahanan diri Bahira yang terlihat menakjubkan. Dia berhasil menjatuhkan setiap lawannya.

"Argh!" erang Liam ketika tembakan Adhyaksa mengenai pinggang dan kakinya.

Bahira menoleh khawatir. Ia berlari kencang untuk membantu Liam. Dalam sekejap, ia berhasil menarik pistol dalam genggaman Adhyaksa.

"Untuk menebus kesalahanku yang tidak peka terhadap cintamu, aku rela mempertaruhkan nyawaku, Liam." Bahira berlirih. Ia sadar pergerakan selanjutnya akan mendapat konsekuensi yang besar.

Bahira mengarahkan pistol ke arah Adhyaksa, posisi keduanya telah berada di ambang lantai. Sejenak, Bahira melirik Liam yang benar-benar kesakitan hingga tak mampu beranjak sama sekali. Tubuhnya bercucuran darah segar dan Bahira tidak sanggup lagi melihatnya.

"Jangan bertindak bodoh, Bahira. Kau tahu aku lebih cerdas," desis Adhyaksa.

"Aku yang akan mematahkan kecerdasanmu!" gertak Bahira.

Aku mencintaimu, Liam. Hiduplah bahagia setelah ini. Perusahaanku sepenuhnya milikmu, juga cintaku sepenuhnya untukmu.

Bahira menginjak tubuh Adhyaksa sebelum akhirnya melepas tembakan tepat di dada pria itu. Nahas, Adhyaksa tidak mau mati sendiri. Ia menarik cepat kaki jenjang Bahira untuk jatuh bersamanya.

Jeritan Bahira menggema di telinga Liam yang hampir tak sadarkan diri. Ia menyeret tubuhnya sendiri ke ambang lantai, menoleh ke bawah dan suasana sangat ramai. Dalam pandangannya, ia menangkap wajah Bahira yang bercahaya, bibir kecilnya bergerak membentuk sebuah kata yang dapat Liam artikan.

"Baverly ...," lirih Liam sambil menangis, sementara penglihatannya semakin gelap.

***END***
Ditulis oleh MimiRawdha & todayisfina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro