My Lover is A Killer

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aaron Lautner menaikkan tudung hoodienya, lalu membenahi letak kacamata rayband-nya yang sedikit melorot dari pangkal hidung sebelum melangkah masuk ke dalam sebuah bar kecil di pinggir kota Salem. Kali ini rambutnya dicat cokelat kemerahan dalam sentuhan mohawk. Sebuah anting kecil tersemat di telinga kirin dan cuping hidung sebagai pelengkap samaran.

Aaron baru saja tiba di Salem beberapa jam yang lalu dengan sebuah misi besar untuk menghabisi putri salah seorang menteri yang dianggap tidak patuh pada pimpinan. Bagi Aaron, tugas seperti ini termasuk perkara yang sangat mudah, terlebih karena targetnya adalah seorang perempuan yang tidak memiliki keahlian bela diri atau latar belakang menandakan kekuatan fisik. Akan tetapi, sebagai pembunuh bayaran profesional, Aaron tidak pernah menganggap kasus mana pun yang ditanganinya sebagai perkara kecil, sehingga dengan totalitas Aaron akan mengubah penampilannya setiap kali bertugas.

Dengan langkah gontai, pemuda 25 tahun itu memasuki bar yang cukup sepi. Untuk mengusir canggung, Aaron lantas menyalakan sebatang rokok yang disisipkan di sela-sela jarinya, meski sebenarnya, Aaron tidak benar-benar menghisap benda tersebut.

Alunan musik country samar-samar tertangkap pendengaran Aaron begitu langkahnya melewati ambang pintu bar, bersamaan dengan bau alkohol yang membaur di udara. Sejauh mata memandang, Aaron hanya mendapati 5 pengunjung di dalam bar sempit itu, dua laki-laki dan tiga perempuan. Menemukan target sebetulnya dapat berlangsung lebih cepat, andai saja Aaron tidak melakukan sedikit keteledoran dengan meninggalkan foto di kamar hotelnya. Akan tetapi, berbekal deskripsi yang pernah disampaikan sang client, Aaron yakin akan dapat dengan mudah menemukan targetnya.

Satu perempuan berambut pirang dicepol duduk dengan menelungkupkan wajah setengah mabuk tepat di depan seorang bartender laki-laki. Detik itu juga Aaron memutuskan untuk menyisihkan perempuan itu sebagai yang terakhir didekatinya, mengingat kondisinya yang tak sadarkan diri. Dalam diam, Aaron menyelinap masuk selincah kucing, setelah memberi salam berupa anggukan kepada bartender yang menyadari kedatangannya.

Melewati meja bartender, Aaron melangkah hingga mencapai meja pertama yang kosong di bar sepi itu. Pandangannya terpaku pada seorang perempuan pirang keriting yang melambaikan tangan ramah ke arahnya. Untuk menjaga samarannya, Aaron balas melambai, lalu mengambil meja kedua sembari pura-pura memainkan ponsel. Bukan perempuan itu yang dicarinya. Perempuan yang melampauinya jelas terlihat lebih tua dari deskripsi yang diterimanya. Maka, detik itu juga ia mengabaikan perempuan itu lantas membalik pandangan ke arah bar.

Seorang perempuan berpakaian waitress berjalan ke arahnya seraya menenteng sebuah buku dan pulpen. Wajahnya samar membelakangi cahaya. Sekilas Aaron menangkap kesan jika penampilan perempuan ini terlihat lebih sederhana dibandingkan dengan kedua perempuan pirang tadi. Rambut lurusnya tergerai rapi di belakang punggung dan perempuan itu jelas-jelas tidak memakai perhiasan apa pun. Mengingat deskripsi yang didapatnya dari client, rasanya perempuan muda ini tidak mungkin merupakan anak seorang miliarder.

Akan tetapi, kali ini, dugaan Aaron salah. Setelah perempuan berusia dua puluhan itu mendekat, barulah Aaron menyadari jika kecantikan yang dimilikinya tidak biasa. Kulitnya begitu terawat, begitu pula rambut pirang halus serta kuku-kukunya yang dicat merah muda. Selanjutnya, jantung Aaron nyaris melompat dari ronggamua begitu bertatapan dengan sepasang mata hijau indah yang begitu familiar.

"Anda ingin memesan sesuatu, Tuan?" tanya gadis itu ramah. Namun, senyum yang merekah dari bibir merah mudanya mendadak redup ketika bertatapan dengan Aaron.

"Lizzie?!" Suara Aaron berbisik, tetapi dalam intonasi tinggi seolah berteriak.

"Michael, apa yang kau lakukan di sini?" tanya gadis itu dengan ekspresi terkejut. Tentu saja Lizzie, perempuan muda yang merupakan cinta pertama Aaron, hanya mengenal nama masa kecil Aaron di Connecticut.

Beberapa detik lamanya, Aaron kehilangan kata-kata. Paras Lizzie masih secantik biasanya, terutama sepasang mata hijau indahnya yang tak pernah bisa Aaron lupakan. Dalam cahaya kekuningan lampu bar, barulah Aaron menyadari jika deskripsi yang disampaikan sang client begitu dekat dengan rupa sang mantan kekasih.

"Lizzie. Ikut aku."

Aaron berdiri, mengedarkan pandangan dengan panik ke sekitar, lalu menarik tangan Lizzie ke dapur bar. Seorang koki tampak terkejut, lalu memilih pergi meninggalkan tempat ini. Kini tinggallah Aaron dan Lizzie yang berdiri berhadap-hadapan dengan kelindan masa lalu yang mengepung keduanya.

"Kau pergi begitu saja, Aaron!" tuding Lizzie nyaris terisak.

Namun, Aaron berusaha mengabaikan kisah mereka yang belum selesai karena pada kenyataannya, ada sesuatu yang lebih penting dari pada itu semua. Aaron menerima perintah seorang client untuk membunuh dan ternyata targetnya adalah Lizzie, sang mantan kekasih.

"Dengar, Lizzie. Ada sesuatu yang penting yang harus kutanyakan. Jawablah dengan jujur," ucap Aaron seraya mengunci Lizzie dalam pandangannya. Ia menggenggam kedua tangan perempuan muda itu penuh kerinduan. Perasaannya membuncah ingin melindungi Lizzie apa pun taruhannya.

"A-ada apa, Michael?"

"Siapa namamu sebenarnya?"

"Lizzie ... Elizabeth Mary Parker. Mengapa kau menanyakan ini, Michael?"

Sesuatu di dalam dada Aaron terasa remuk. Lizzie-lah orangnya, perempuan muda yang harus dibunuhnya. Akan tetapi, separuh hati Aaron masih menolak percaya.

"Siapa ayahmu?" Satu pertanyaan lagi agar Aaron dapat menentukan apa yang harus dilakukannya setelah ini.

Kerutan samar muncul di antara alis Lizzie. "Mengapa kau menanya--"

"Jawab saja aku Lizzie!" Tanpa sadar Aaron membentak pujaan hatinya. Kantung yang berisi pistol di dalam jasnya terasa berat dan dingin.

"Shawn Parker."

Jantung Aaron rasanya terhenti. Seketika segala sesuatunya menjadi hening. Shawn Parker adalah musuh sang client. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apakah ia harus membunuh Lizzie, mantan kekasih yang masih dicintainya setengah mati?"

"Michael?"

Dalam gerakan perlahan, Aaron mendekatkan punggung tangan Lizzie ke bibirnya, lalu mengecupnya lembut dan penuh perasaan. "Lizzie, sebenarnya, aku masih sangat mencintaimu," tuturnya lembut.

Perempuan muda itu tampak kebingungan. Sepasang netra hijaunya sarat emosi. Sedetik kemudian, Lizzie menggeleng. "Aku tidak mengerti, Michael. Kau meninggalkanku tanpa kabar. Kau menghilang. Aku tak dapat menemukanmu di mana pun. Dan, sekarang kau tiba-tiba muncul dan menyatakan cinta padaku. Bisakah kau bayangkan bagaimana perasaanku?!" tanyanya dengan suara tinggi penuh emosi.

Aaron hanya menatap gadisnya dengan sendu dan dalam senyam mengakui segala kesalahannya. Ada begitu banyak hal yang tidak dapat dibaginya kepada Lizzie, terlebih mengenai profesinya sebagai pembunuh bayaran. Dan, seorang client telah mengupahnya untuk membunuh Lizzie dalam waktu tiga hari.

"Lizzie, aku akan menceritakan segalanya padamu, tetapi tidak sekarang. Aku berjanji akan menjelaskan semuanya jika kau mau pergi bersamaku. Maukah kau mempercayaiku sekali ini saja?"

Lizzie terdiam hingga bermenit-menit lamanya, berusaha mencerna kata-kata laki-laki itu. Pada akhirnya, perempuan itu harus menyerah tunduk terhadap perasaannya, rasa cintanya yang masih tersimpan untuk sang pembunuh bayaran.

"Aku mempercayaimu, Aaron," ucapnya lembut seraya meraih uluran tangan Aaron.

Aaron refleks menarik sudut-sudut bibirnya. Kulit telapak tangan perempuan itu terasa halus dan hangat saat bersentuhan dengan kulitnya. Masih ada dua hari untuk menentukan apa yang harus diputuskannya, membunuh sang pujaan hati atau merelakan nyawanya sendiri jika gagal memenuhi pesanan client-nya?

Aaron menatap langit malam yang begitu gelap karena tidak diterangi oleh apapun, seolah-olah bulan sedang bersembunyi dan bintang tidak ingin menampakkan dirinya, bagi Aaron gelapnya langit sama seperti dengan gelapnya kehidupannya saat ini. Aaron harus memilih dan pilihannya begitu sulit, pria itu teringat pada percakapannya dengan Lizzie tadi.

Ternyata alasan Lizzie tidak mengikuti aturan pimpinan adalah Shawn Parker yang merupakan ayahnya, pria itu tidak bisa memberikan kebebasan pada Lizzie dan mengatur kehidupan Lizzie sesuka hatinya. Keinginan Lizzie itu sederhana, bisa melakukan apapun yang ia inginkan tanpa ada larangan apapun, jika diberi kebebasan seperti itu, Lizzie bahkan berjanji tidak akan melakukan sesuatu yang akan mencoreng nama orang tuanya, tetapi Shawn Parker tidak sebaik itu.

Bagi Aaron, tidak masalah jika ia harus kehilangan nyawanya agar Lizzie tetap baik-baik saja, tetapi Aaron tau meskipun ia tiada nantinya, nyawa Lizzie tetap menjadi ancaman karena pemimpinnya bisa menyuruh pembunuh bayaran lainnya untuk melakukan tugas ini. Jadi, pengorbanan Aaron akan sia-sia.

Aaron mendengus karena ia tidak bisa menemukan solusi untuk masalahnya ini, ditambah waktunya yang terbatas membuat Aaron merasa begitu bingung.

Aaron mengambil pistol yang tadi ia letakkan di sebelahnya lalu mengamati senjata itu dengan seksama, senyum tipis terukir di wajahnya karena ia menemukan cara yang tepat.

***

Lizzie duduk di teras rumahnya dengan riang, bertemu dengan Aaron kemarin membuat Lizzie menjadi begitu semangat untuk menjalani hari-harinya untuk ke depannya. Sungguh Aaron adalah penyemangat bagi Lizzie.

Melihat sebuah mobil berwarna hitam memasuki pekarangan rumahnya, Lizzie mengernyit karena sebelumnya ia tidak pernah melihat mobil itu. Senyum Lizzie mengembang ketika melihat Aaron lah yang turun dari mobil itu.

"Hai, Aaron," sapa Lizzie seraya tersenyum ketika melihat Aaron datang menghampirinya, tetapi senyum Lizzie lenyap karena Aaron tidak membalas senyumnya dan kini menatap dirinya dengan dingin.

Perlahan Lizzie bangkit dari duduknya lalu mundur karena wanita itu merasa takut dengan sikap Aaron yang berbeda seperti ini. Aaron terus melangkah maju hingga Lizzie masuk ke dalam rumah sederhana yang ia tempati beberapa waktu terakhir ini.

Aaron mengangkat pistolnya lalu mengarahkannya pada Lizzie membuat wanita itu bergetar karena ketakutan. Tembakan yang dilakukan Aaron tidak menimbulkan suara apapun karena senjatanya yang dirancang khusus.

Dengan langkah santai, Aaron memasuki rumah yang ditempati Lizzie seraya menghubungi seseorang untuk melaporkan bahwa ia telah menjalankan tugas dengan baik.

***

"Bangunlah, Lizzie," ucap Aaron karena kelopak mata Lizzie sedikit bergerak.

Perlahan Lizzie membuka kedua matanya lalu dengan spontan ia langsung bangun membuat wanita itu merasa pusing.

"Tenanglah Lizzie, pelan-pelan saja," ucap Aaron dengan tenang, pria itu tau kenapa Lizzie sampai bersikap seperti itu padanya.

"Kau sangat jahat, Aaron. Kenapa kau tega sekali menembakku seperti itu?" tanya Lizzie dengan berteriak.

"Menembakmu? Apa ada luka di tubuhmu?" balas Aaron seraya tersenyum miring.

Lizzie mengecek tubuhnya dan tidak merasakan sakit dimanapun, jadi Aaron tidak menembaknya?

"Kau pingsan karena merasa terkejut, Lizzie," ucap Aaron seolah tau dengan apa yang dipikirkan oleh Lizzie.

"Tapi kenapa kau melakukan itu Aaron? Apa gunanya? Apa kau hanya ingin mengerjaiku saja?" tuntut Lizzie, tetapi kali ini dia sudah merasa lebih tenang dari sebelumnya.

"Aku ingin melindungimu, Lizzie."

Lizzie menatap Aaron dengan tatapan tak mengerti membuat Aaron mengusap pipi Lizzie dengan lembut.

"Aku adalah orang yang memiliki misi untuk membunuhmu," ucap Aaron memulai ceritanya.

Lizzie terkejut lalu menjauhkan wajahnya dari tangan besar Aaron.

"Tapi aku tidak tega jika harus membunuhmu, aku memiliki misi itu karena kau tidak mematuhi aturan pimpinan. Namun setelah aku mendengar alasanmu, aku merasa kau tidak sepenuhnya bersalah, tetapi jika aku tidak melakukannya, nyawaku dan nyawamu menjadi terancam. Jadi, aku melakukan ini, seolah-olah aku membunuhmu tetapi kenyataannya tidak."

Lizzie masih diam karena dia masih mencoba untuk memahami setiap perkataan Aaron.

"Tapi Lizzie, yang dunia ketahui adalah Elizabeth Mary Parker sudah tiada karena kecelakaan dan jasadnya tidak bisa ditemukan, kau tidak bisa menggunakan identitas itu lagi."

"Tapi, Aaron, apakah tidak ada yang akan curiga? Maksudku adalah orang-orang yang mengetahui bahwa kau ingin membunuhku, apa mereka tidak akan mencari tahu kebenarannya? Karena jasadku tidak ditemukan."

Aaron menghampiri Lizzie memeluk wanita itu dengan erat.

"Aku sudah memikirkan kemungkinan itu, Lizzie, karena itulah aku membunuh orang lain dan memberikannya pada hewan peliharaanku, jadi yang mereka ketahui bahwa jasadmu lah yang aku jadikan santapan untuk peliharaanku."

"Kau sangat tega, Aaron, kau membunuh orang lain demi menyelamatkan aku?" tanya Lizzie dengan tak percaya.

"Hei, dengarkan aku dulu. Dia pantas mendapatkannya karena perbuatannya sendiri. Sudahlah, lupakan itu, kini kau bisa menggunakan identitas baru, kau bisa melakukan apapun seperti yang kau inginkan selama ini. Apakah kau tidak senang dengan hal itu?"

Lizzie tersenyum lebar, akhirnya keinginannya untuk hidup bebas akan terpenuhi dan semua itu berkat Aaron dan orang yang sudah dibunuh oleh Aaron itu.

Lizzie memeluk leher Aaron dengan erat. "Thank you, Aaron."

Aaron kembali memeluk Lizzie dengan erat lalu mencium puncak kepala Lizzie dengan cukup lama.

"Tapi, kau harus menikah denganku."

"Kau mau aku menjawab apa? Ya? Atau tidak?" goda Lizzie.

***END***
Ditulis oleh zuraida27thamrin & MimiRawdha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro