Running Princess

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Topeng separuh muka yang Ibu berikan sebelum kemari masih kupakai erat. Tak peduli banyaknya lalu-lalang pria yang hendak mendekat, langkahku terus mengambil arah yang berbeda. Gaun kuning keemasan yang penuh renda ini cukup menyulitkan, meskipun ringan dan indah dipandang. Tapi, tak apa, selama aku bisa menghindari tawaran dansa dari mereka, semua masih baik-baik saja.

Musik klasik yang mengalun perlahan pudar, berganti lagu baru yang diawali lantunan paduan suara. Setelahnya bunyi biola dan cello lebih mendominasi. Bukannya tidak suka, melainkan aku lumayan bosan dengan acara tahunan yang begitu-begitu saja. Ajang mengeratkan relasi kerajaan, katanya? Bullshit, lebih ke ranah pamer tingkatan calon penerus masing-masing.

"Kenapa kamu sendirian di sini?"

Ah, sial. Kenapa bisa ada lelaki dari kerajaan lain tertarik menyapaku di sini? Padahal, aku sudah berdiri di ujung ruangan—dekat pintu ballroom—jauh dari hiruk pikuk lantai dansa. Dilihat dari lencana bermotif kuda dan kerah peraknya yang berlapis-lapis, sepertinya pangeran dari Kerajaan Lenmar. Kalau Ayah mengetahui hal ini, bisa-bisa besok satu istana melebih-lebihkan prestasiku—kemajuan karena bisa diajak mengobrol lelaki lain.

"Maaf, aku tidak sendirian. Lelaki yang kutunggu belum datang."

"Kamu tidak perlu menipu untuk menolakku, Putri Syanas."

"Untuk apa aku menipumu?"

Lelaki itu mendekat. Tubuhnya yang gegap dan berisi justru membuat bulu kudukku berdiri. Tidak, aku tidak bisa berurusan dengan sosok narsistik seperti ini. Hanya prasangka burukku, memang, tetapi aku benar-benar tidak suka.

"Sejak tadi aku melihatmu sendiri, mondar-mandir seperti orang linglung."

"Itu karena yang kutunggu belum datang."

"Kalau begitu, menarilah denganku terlebih dulu. Mari!"

"Terima kasih ajakannya, Pangeran. Tapi, lebih baik kamu mencari putri yang lain."

"Ayolah, jangan jual mahal seperti itu."

Sungguh menjengkelkan. Telapak tangannya masih terbuka dan ia terus-menerus menawarkan hal yang sama. Ck, mau sampai kapan lelaki ini bersikukuh mengajakku? Bagaimana bisa stok percaya dirinya sebanyak itu?

Lagi pula, aku tidak berbohong.

"Pergilah, Pangeran. Jangan menghabiskan waktumu denganku."

"Lima menit saja."

Aku mendengkus. "Baiklah."

Tangan kosong itu lekas kusambut. Lelaki ini menunjukkan kesopanannya dengan sedikit membungkuk. Alhasil, aku turut mengangkat gaunku sebagai balasan.

Namun, belum sampai ke tengah aula, sosok yang baru datang dan berjalan memasuki ballroom langsung menyita perhatian. Aku menoleh, tak berkedip menatap lelaki yang sempat kutemui di jamuan minggu lalu. Sudah kuduga, dia benar-benar ikut di acara konyol ini. Tentu aku tidak mau repot-repot menuruti kemauan Ayah kalau tidak ada gunanya.

"Eh, kamu mau ke mana?"

Aku yang baru saja menghempaskan tangan lelaki di depanku segera menjawab, "Pangeran yang kutunggu sudah datang. Maaf, lima menitnya dibatalkan saja."

***

Aku jinjing gaun lebarku demi mempercepat langkah. Pangeranku yang sesungguhnya telah tiba. Perasaanku seakan mau meledak rasanya. Inilah saat yang kutunggu, bagaimanapun aku harus bisa berbicara dengannya.

"Tidak kusangka jika Pangeran Delfredo sudi datang ke acara seperti ini."

Dia menoleh, tampak terkejut melihat keberadaanku di hadapannya. Bibirku menyemat senyum paling menawan yang kubisa.

Ia menundukkan kepala, memberi salam. "Anda di sini juga, Tuan Putri," sapanya ramah.

"Sebenarnya aku tidak terlalu suka suasana di sini."

"Bagaimana jika kita ke–" Pangeran Delfredo terlihat celingukan. "Ke sana?" Ia melihat ke arah pintu samping menuju taman.

"Dengan senang hati."

Dia mempersilakanku melangkah lebih dulu. Hingga kami sampai di taman. Udara di sini terasa lebih sejuk dan lebih tenang hiruk-pikuk keramaian pesta. Hanya suara pancuran air yang terdengar dari tengah kolam air mancur di sebelah taman.

"Pangeran."

"Tuan Putri."

Kami terdiam sesaat lalu tertawa. Ia menyilakanku lebih dulu.

"Apa yang membuat Pangeran mau menghadiri acara ini?" tanyaku penasaran.

"Karena ada seseorang yang ingin alu temui."

"Ohya, boleh kutahu?" Ada sedikit perasaan gusar di hati.

"Tentu saja. Dan dia sekarang ada di sini."

Aku celingukan dan tak mendapati siapa pun. Lalu bibirku kembali menahan senyum.

"Aku ingin mengembalikan ini."

Pangeran Delfredo mengulurkan sapu tangan yang pernah kuberikan padanya.

"Ini bukan milikku. Kembalikan pada pemilik aslinya."

"Maksud Pangeran."

"Apa Tuan Putri tidak menyadari sulaman emas di pojokan itu." Aku mengamati sapu tangan di genggaman. Sulaman benang emas bertuliskan sebuah inisial. Lalu aku baru sadar, inisialnya A, bukan D. Itu artinya ...

"Anda tau pasti itu milik siapa."

Pangeran Antonio. Bagaimana mungkin?

"Jadi–"

"Mungkin dia masih ada di sekitar sini. Kalau begitu saya permisi."

Pangeran Delfredo berlalu. Sementara aku masih mematung, memikirkan kaitan setiap kejadian. Jika sapu tangan ini milik Pangeran Antonio, artinya orang yang menyelamatkanku saat tenggelam di sungai adalah dia. Ingatanku saat itu memang sedikit samar. Dan jika memang benar itu dia, dengan penolakanku padanya, apakah ia mau memaafkanku?

Aku harus mencarinya, kembali ke dalam ballroom, barangkali ia tengah menari dengan putri lain. Aku mengedarkan ke seluruh penjuru ruangan, tetapi sosoknya tidak kutemukan.

Aku kembali keluar, mungkin dia ada di sana. Kupercepat langkah hingga melewati taman. Namun, Pangeran Antonio tidak ada. Aku bahkan sudah berkeliling, tetapi ia memang tidak ada di manapun. Aku melangkah lemah kembali ke taman, duduk di pinggiran kolam air mancur dengan kepala menunduk.

Mungkin ia sudah kecewa padaku. Tentu saja, karena aku sudah menolaknya berulangkali. Hingga suara gaduh di dalam menarik rasa penasaranku. Beberapa orang putri berlarian keluar.

"Apa yang terjadi?" tanyaku.

"Di sana—" Ia tak menyelesaikan ucapannya lalu memilih pergi. Akubyang sudah sangat penasaran lekas masuk.

Hingga kakiku berhenti bergerak begitu melihat sesosok yang sangat kukenali, tergeletak di tengah ruangan.

Pangeran Antonio?

"Yang Mulia!" Aku segera menghambur ke arahnya dan bersimpuh di sebelah tubuh Pangeran tergeletak.

"Apa-apa yang terjadi?"

Kugenggam tangannya. Dingin kurasakan. Aku panik, tetapi tak ada seorang pun yang memberiku jawaban.

"Yang Mulia, bangunlah. Aku minta maaf karena tidak mengingatmu. Beri aku kesempatan."

Aku terus menunduk sembari menggenggam tangannya.

"Benarkah?" Suara itu membuatku mengangkat kepala. Kudapati wajah Pangeran Antonio menatapku.

"Apa?"

"Yang Tuan Putri katakan barusan? Benarkah aku harus memberimu kesempatan untuk meminta maaf?"

Ah, itu. Aku mengangguk ragu.

"Tentu saja. Kau sudah meminta dan tidak boleh menaril kembali kata-katamu, Tuan Putri."

Pangeran Antonio bangkit duduk. Ia menatapku lekat. Enatah mengapa jantungku jadi berdegup tidak beraturan. Apa yang akan ia minta sebagai imbalan untuk bisa memaafkanku. Mungkinkah?

"Maukah kau menjadi ratuku?"

"Yang Mulia ..."

"Bukankah kau sudah meminta, Tuan Putri."

Aku? Aku kan hanya meminta agar ia memaafkanku. Bukan seperti ini, tapi ... kenapa jantungku berdebar?

"Bagaimana?" Pangeran Antonio kembali memintaku.

Sorakan terdengar di penjuru ballroom agar aku menerima pinangan Pangeran Kerajaan Lenmar ini. Aku menatap mereka berkeliling, hingga berakhir kembali pada sang pangeran. Ia masih menunggu.

Lalu, aku pun mengulurkan tanganku, "Aku bersedia." Ia langsung menyambut tanganku dengan kecupan singkat, membantuku berdiri dan membawaku ke tengah ballroom.

Sorakan kembali terdengar riuh. Lalu berhenti oleh isyarat Pangeran, berganti dengan alunan musik lembut.

"Aku umumkan, bahwa Putri Syanas akan menjadi ratuku. Menjadi ratu kerajaan Lenmar!"

Lalu, Pangeran menuntunku untuk menari seirama alunan musik. Kakiku dengan lincah menyusuri lantai bersamanya. Sesekali wajahnya menampilkan senyuman paling menawan. Ya, wajahnya kembali menguatkan ingatanku pada sosok penyelamatku. Dia adalah Pangeranku dan aku bahagia karena ia memilihku menjadi ratunya.

***END***
Ditulis oleh hwarien & astrya_jentik

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro