[16] : Bagian Nathan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• The 'J' Siblings •

Mending turu kata gue màh

—JHOnathan—

•~~•

—"Definisi hidup itu cuman 2 bre" seorang laki-laki dengan rambut yang dicat bewarna abu-abu kini tengah menaruh kedua sikutnya di atas meja dengan mata terpicing serius "Kalau gak komedi—"

"—ya komedi putar!!" Nathan tergelak kencang diikuti dengan tawa keras dari sobat karibnya sejak SMP—Mas Teo.

"Bjir jokes lo bapak-bapak anak 3!"

"Hadehh" Namun seorang pria di ujung meja hanya mampu untuk memijat pelipisnya lelah dengan kelakuan Nathan dan Teo.

"Mas Tian frustasi banget kayanya"

"Minggu depan anak gue ada jadwal konsul ke dokter anak—budget gue kemarin kepake cicilan rumah"

"Haduh kasian sekali bapa ini—makanya jangan nikah muda pa"

"Gak ada yang salah sama nikah muda Nat—istri dan anak itu rezeki" Tian mencoba menjelaskan dengan seksama bahwa menikah itu tidak seburuk itu kalau punya duit.

"Tapi sebagai laki-laki yang akan membina keluarga—HUWAZEK! perlu banyak pertimbangan mas"

"Iya lah iya serah lo pada" Tian menyerah, berdebat dengan kedua sahabatnya ini tidak akan pernah berujung.

"Nathan bukan gak mau nikah muda, tapi di tinggal nikah mas Awowkwkwowokok"

Nathan kembali tertawa sebelum celetukan Teo membuatnya memelotot.

"Itu lahhh jodoh depan mata bukannya cepet dilamar—di ambil orang kan"

"Yaelah mas, ini kan bukan masalah jodoh depan mata langsung dilamar—gue juga banyak pertimbangan lah, itu anak orang mana bisa gue kasih makan pake cinta doang, perlu duit mas duittt" tangan kanan Nathan menguncup tepat di depan wajah Tian yang kemudia segera ia tepis kencang.

"Nah ngomong soal duit nih—bagi cara lah Nat"

"Ngepet mas" jawab Nathan seraya menyolek potongan kentang ke saus tomat.

"Ndasmu ngepet lah cokkkk cokkk!!"

"Frustasi sekali keliatannya"

"Kenapa gak tanam saham aja mas?"

"Gak bisa semudah itu bro, apalagi keuangan Mas Tian lagi kurang stabil" Kata Nathan.

"Padahal perusahaan Mas Tian lagi naik-naiknya sahamnya tuh gue liat"

"Nanti gue ajarin caranya mas—sekarang coba dikelola dulu aja mana yang penting dan urgent, penting aja, atau gak penting sama sekali—itu kalkulasi yang bisa mas pake, nanti gue send lah formatnya"

"Sippp—Btw masih cari kabar Riana?"

Nathan mendesir "Gak tau"

"Udah berkeluarga Nat, gak usah macem-macem lu ah"

"Emang gue mau ngapain si?!"

"Soalnya lo nekad nekad mokad"

"Sialan!"

"Jadi gimana nih Nat? Lo jadi ke Surabaya?"

"Ahhh...gak tau, gimana perusahaan gue aja si"

"Tapi sayang banget kalau lo di lempar ke cabang"

"Liat ntar lah"

"Gue yakin sih gak akan dipindahin ni bocah SE.CA.RAA budak korporat begini" Teo tergelak meledek Nathan

"Kalau ngomong suka gak di lakban heran!"

"Tapi nih ngab banyak perusahaan mulai pindah tempat emang"

"Gimana mas?"

"Gini, politik sih—karena UMR Jawa Barat emang bagus sebenernya untuk masyarakat, sedangkan perekonomian kita tuh lagi gak jelas ngab, banyak inflasi—"

"Gue tau! Ini yang perusahaan pada pindah ke daerah Jawa itu  ya?"

"Betul, karena UMR disana gak lebih besar dari Jawa Barat, dan itu menguntungkan buat perusahaan—makanya di Jawa Barat lagi rame banget PHK"

"Itu kenapa kaya gitu sih nat?"

"Itu sih bagaimana pemerintah yang punya kebijakan setau gue—tapi dulu China menerapkan hal yang serupa kaya sistem di daerah Jawa, memang untuk beberapa tahun masyarakat akan mengalami penurunan ekonomi besar-besaran—tapi hanya berlangsung sesaat, setelahnya perekonomian mereka akan melesat cepat—makanya China lebih maju dari kita"

"Pinter juga ya lo ternyata"

"Jelass!!" Nathan menepuk dadanya bangga.

Nathan kembali menyeruput secangkir kopinya sebelum sebuah tepakan mantap menghantam bahunya.

"Nat"

"Apasi woy?!"

Teo menunjuk seseorang yang kini tengah berdiri di sampignya, seorang perempuan cantik berambut pendek sebahu yang sedang mengais seorang bayi yang Nathan yakini bayi perempuan apabila dilihat dari pernak-pernik yang ia lihat.

"Riana?"

"Nathan" perempuan itu tersenyum kepada Nathan sebelum kemudian duduk disampingnya "Kamu gak pernah berubah ya, selalu ke tempat yang sama"

Nathan tertawa kikuk "Kamu apa kabar?"

"Baikk"

"Bang Yatha apa kabar?"

"Baik kayanya"

Nathan seketika memelotot, begitupun dengan Teo dan Tian yang hampir tersedak ketika meminum kopi mereka.

"Kayanya gimana maksudnya?!" Teo berseru kencang tak sadar bahwa kini mereka menjadi bahan tontonan.

"Itu anak kamu?"

"Iyaa, cantik gak?"

"Cantik"

"Ada yang mau aku bicarain sama kamu"

"..."

"Kamu ada waktu?"

"Sorry Ri, kamu ada izin untuk bicara sama aku?" Nathan kini memberanikan diri untuk melakukan kontak mata dengan perempuan itu.

"Nathan"

Nathan menarik nafasnya dalam—Lagi-lagi

Beberapa kepingan memori kembali tersusun, kenangan tentang perempuan di depannya ini kembali mendominasi.

Kamu anggap aku ini apa, Ri?

"Aku gak bisa—ini urusan kamu yang harus kamu selesaikan sendiri—perbaiki hubungan kalian, komunikasi kalian—karena inti dari pernikahan itu berbincang, keputusan yang salah bagi kamu buat duduk disini nemuin aku—" Nathan rasa ia tak bisa berlama-lama berada bersama perempuan itu, ia memilih untuk beranjak pergi sebelum tangannya ditarik begitu saja oleh Riana.

"Aku cerai sama Yatha, Nat"

Suasana menjadi lebih hening, tak ada satupun yang merespon ucapan perempuan itu, baik Teo dan Tian serta Nathan hanya mampu untuk merasakan keterkejutan yang meletup di dalam kepala mereka.

"Jadi please, boleh kita bicara?"

Nathan mengembalikan akal sehatnya, ia tidak boleh kalah dengan perasaan yang kini menyelubungi hatinya, Nathan menurunkan tangan Riana dengan lembut sebelum tersenyum dan berpamitan untuk pergi.

"Gue pamit dulu—duluan ya Ri, Mas nongki lagi nanti ya!"

•~~•

"BANG NATHAN SHIBAL!!!"

"BAHASA NAON ÈTA?!"

"Gak tau, Bang Jai suka ngomong gitu sambil nusukin jarum ke boneka yang di tempel foto Abang"

"Sialan gue di santet—" pikiran jahil Nathan seketika berkembang pesat, secara dramatis pria bertubuh besar itu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa empuk tepat disamping Jibran yang sedang berduduk sila di lantai "—AKK, gue jantungan Jie—Tolong abang!!!—OHOK!!!—LIAT GUE BATUK MESIU"

"Abang habis rusakin tumpukan lego Jibran"

"INI GUE BENERAN MATI NIH JIE!!!"

"Al-Faaatihahhh"

"Ah dahlah males!!"

Jibran berdecak "Awas!!! Ngalangin!!!"

"Apasih kok ribet?!"

"Badan Bang Nathan ngancurin lego Jibran!"

"Balok itu!!"

"LEGO UDIK!!"

Nathan nampak tak peduli dan dengan sengaja menggulingkan tubuhnya meluluh ratakan seluruh lego yang telah Jibran susun.

"ABANG!!"

"Upsi"

Jibran tak bicara lagi dengan sigap anak itu menindih tubuh Nathan membuat kepalanya terpelungkup di bantal sampai ia sesak nafas.

"IBUUU!!!"

"ABANG YANG GANGGU!!"

"YAUDA AWAS!"

Adiknya itu segera menyingkir namun tetap memasang tatapan waspada pada Nathan.

"Abang"

"Apa?"

"Kenapa balok punya bentuk memanjang gini?"

"Soalnya kalau bulet namanya bola"

"Gak guna banget ngomong sama abang"

"Bilangin ibu nih—BUUUUU"

"Nathannnn!!! Berisik ah! jangan ganggu adenyaa!!!"

"AKU YANG DIGANGGU BUUU!!!" Nathan merasa sebal, percuma ngadu atau diadu, Nathan adalah kambing hitam paling sempurna.

"Dahlah abang mau mandi, mau ikut?"

"Ewh"

"Biar abang usap-usap"

"IBUU!!! ABANGNYAAA!!!!"

"NATHAN YA ALLAH NATTT"

"IYA IBU IYAAA!!!"

Nathan memicingkan matanya pada Jibran seraya berjalan pergi ke kamarnya untuk mengambil handuk.

"DASAR BABON JANTAN!!!"

Pilihan salah bagi Jibran untuk berteriak seperti itu pada Nathan, karena tanpa disangka Nathan berlari kencang dan melesat untuk menghampiri Jibran yang dibuat panik.

Tentu di bumbui dengan aksi kejar-kejaran yang berlangsung selama beberapa menit, yang tentu mengguncangkan isi rumah.

•~~•

Sepanjang aktifitas mandinya, pikiran Nathan hanya didominasi dengan melamuni pertemuannya dengan Riana tadi.

Ia mencintai perempuan itu lebih dari apapun.

Namun tentu saja, Nathan hanya dijadikan sebuah pilihan yang pada akhirnya tak bisa ia gapai.

Suara air yang mengguyur kepalanya membuat dirinya merasa lebih tenang, perempuan itu tidak pernah mencintainya sebagaimana ia mencintai perempuan itu.

Cukup baginya untuk tetap berada di posisi itu.

Tapi kenapa justru ia sedikit merasa bahagia sekarang?

•~~•

—Jai baru saja datang dengan rombongan kelompok belajarnya, tentu dengan Juan yang langsung berlagak layak putra mahkota dengan senyum manis yang memukau, menghampiri ibu yang sedang memisahkan sayuran di dapur.

"Biar aku bantu ya Bu, nanti tangan ibu lelah" Juan melancarkan aksi tebar pesona yang kemudian di cibiri oleh Jai.

"Abang lo gak ada kan?"

"Gak tau" Jai sepertinya tidak begitu peduli, laki-laki itu berjalan untuk menyiapkan minuman untuk teman-temannya.

"Oh damn!!" Seorang perempuan berambut panjang ikal kini menatap Nathan dengan penuh binar seolah baru saja menemukan sesuatu hal yang sangat mengesankan.

Tangannya ia julurkan untuk menunjuk Nathan yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Who that's guy, Jai?!"

Jai memicingkan matanya dengan dahi yang berkerut "Tukang kebon"

"He's really fucking my type!!!"

"HAH?!!!!" Jai terkejut bukan main, apa yang temannya lihat dari kakak laki-lakinua itu?!

"Siapa itu?! cepetan!! Kok lo gak pernah cerita punya sodara spek manhwa?!"

"Mata lo picek ya?"

"Gantenggg bangettt!!!" Perempuan itu menjerit kegirangan.

"ITU BERUK!"

•~~•

• The 'J' Siblings •

•~~•

ToBeContinue

Bonus Pict :

Nathan dimata cewek

VS

Nathan dimata Jai

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro