02. Kesalahan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Karena terkadang, ada luka yang tak terlihat, rasa sakit yang membekas
tersembunyi dibalik sebuah senyuman.

***

"Merrie! Tolong siapkan sarapan untuk Renjun ya, aku sudah menyiapkan obat untuk luka di tangannya!"

Hyuri sudah heboh sejak pagi memberikan instruksi pada asisten rumah tangganya yang kini masih sibuk di dapur.

"Anda mau pergi?"

"Iya, aku harus mengejar waktu untuk segera sampai di kantor Papa. Tolong jaga Renjun untukku, ya."

Hyuri menyambar segelas air putih di meja makan lalu meminumnnya.

"Anda tidak sarapan?"

"Maaf, tapi aku buru-buru! Bye Merrie!"

Merrie hanya tersenyum melihat sang Nyonya melambai sekilas sebelum akhirnya menghilang dari dapur. Gadis muda yang sudah dilayaninya sejak masih kecil di keluarga Wayland.
Meskipun Merrie tidak tinggal serumah dengan keluarga Wayland, tetapi dia sangat hapal dengan semua sikap di keluarga ini.

Renjun menatap langit-langit kamar dengan tatapan menerawang. Dia sudah terbangun sejak tadi, Renjun hanya berpura-pura tidur, lalu mengamati ibunya yang sibuk di kamar membereskan tempat tidur, mandi, lalu mengacak seisi lemari hanya untuk mencari setelan terbaik untuk bekerja.

Tidak, sebenarnya ibunya selalu cocok mengenakan apapun di antara ratusan pakaian yang tergantung rapi di ruang wardrobe. Ibunya selalu cantik.

Renjun menyukai suara saat ibunya mulai mengomel tentang segala hal di pagi hari, membenahi posisi selimut untuknya, mengecup keningnya singkat sebelum akhirnya keluar kamar dan pergi ke kantor.

Dan di sinilah Renjun, dengan pikirannya yang masih berkabut dan berkelana ke mana-mana. Berbaring di kamar ibunya sebentar lagi, perlahan tangannya meraih ponsel di atas nakas samping tempat tidur.

Dibukanya sebuah pesan yang diabaikannya sejak semalam.

Renjun ah, sedang apa?

Jawab aku dong.

Jangan mengabaikan pesanku.

Kim Renjun, jawab aku!

Aku akan terus mengirim pesan sampai kau membalasnya.

Renjun ah~

Baiklah, aku tau kau selalu seperti ini. Akan kuhubungi nanti.

Renjun hanya membaca pesan itu tanpa berniat membalasnya.
Dia tidak pernah membalasnya meski si pengirim dengan anehnya terus menerus mengirim pesan padanya.

Tiing!

Sebuah pesan masuk.

Renjun ah, apa Bunda sibuk? Aku menghubunginya sejak semalam tapi tidak bisa.

Renjun membaca pesan itu, mengembuskan napas panjang lalu melemparkan ponselnya kembali ke atas bantal.

Kenapa dia selalu mengganggu?
Renjun ingat semalam saat ponsel ibunya terus bergetar karena telepon, dan dia sempat berniat menjawabnya.
Namun mengetahui siapa si penelepon, dia mengabaikannya lalu memutuskan untuk memblokir nomor itu.
Dia tahu, nanti pasti ibunya akan marah karena hal itu.

Tidak ada masalah apapun. Hanya saja kadang dia membuat Renjun merasa terganggu tanpa sebab. Renjun sendiri tidak mengerti kenapa emosinya sering naik turun pada orang ini meski lebih sering emosinya naik, sih.

"Ren? Kau sudah bangun? Aku sudah siapkan sarapanmu!" terdengar suara Merrie memanggil dari balik pintu kamar.

"Iya, aku akan turun sebentar lagi."

Masih dengan sisa rasa malas, dia meninggalkan tempat tidur, memaksa dirinya untuk bangun dan mandi. Dia harus pergi ke kampus.

***

"Hei, Bro! What's going on? Gue nyari lo dari kemarin setelah lo berantem sama Eric. Lo ke mana?"

Seseorang dengan suara berisik dan heboh mengagetkan Renjun karena merangkulnya tiba-tiba dari belakang.

"Apa sih, Mark? Dateng-dateng lo udah berisik." Renjun mendorong tangan Mark yang menggantung di bahunya, "Jangan sentuh-sentuh gue."

"Ih, apaan, biasanya juga gini." Mark membeo protes, namun masih berusaha melingkarkan tangannya di bahu Renjun.

Pada akhirnya Renjun pasrah dengan tingkah sahabatnya ini. Mereka sedang berjalan di lorong kampus menuju ke kelas.

"Gue kabur kemarin. Ngapain juga masuk kelas kalo mood gue udah rusak."

"Iya, sih, eh, tahu nggak? After lo cabut dari kampus, si Eric bikin ulah. Dia ngamuk besar trus nggak ada angin nggak ada hujan, dia pukulin itu si Jisung."

"Jisung siapa?"

"Itu loh, anak pertukaran mahasiswa yang seangkatan sama kita."

"Oh, gue nggak tahu." Renjun masih dengan santainya terus berjalan melewati koridor dan kelasnya.

"Eh, wait! Lo nggak masuk kelas? Bentar lagi kan mulai, jangan bilang lo mau bolos?" Mark kembali berisik dengan suara hebohnya membuat Renjun berbalik menatap sohibnya itu jengah.

"Gue mau ke kafetaria dulu."

"Eh? Ya, tapi kan kelas mau mulai! Jangan bilang lo mau sarapan? Udah nggak sempet woiii!"

"Berisik deh! Gue nggak mau sarapan, gue mau beli minum doang," sungut Renjun kesal karena mulut Mark yang berisik itu membuat beberapa orang menatap mereka. "Lo ikut nggak?"

"E-eh, gue mau ikut tapi kan ..." Mark menggaruk kepalanya dengan ekspresi bimbang, membuat Renjun mengembuskan napas tidak sabar lalu berbalik berjalan pergi.

"Yaudah deh, gue ikut! Tapi bentar doang, kan? Udah mau kelas nih!"

"Nggak usah ikut kalo lo berisik!"

Renjun berjalan meninggalkan Mark, sungguh tidak sabar dengan tingkah sahabatnya ini.

Sekalipun Mark Lee sangat cerewet dan berisik, dia adalah satu-satunya teman sekaligus sahabat Renjun sejak kecil. Lebih tepatnya dulu mereka tinggal di daerah yang sama sebelum Mark dan keluarganya pindah. Untungnya mereka berada di sekolah yang sama bahkan masuk di universitas yang sama sampai sekarang.

Mark yang juga memiliki keturunan negeri ginseng, bisa berbahasa Korea dengan Renjun sekalipun tidak terlalu lancar.

Kafetaria tentu saja ramai di jam ini. Banyak orang yang menghabiskan waktu dengan mengerjakan tugas atau menunggu kelas bahkan membolos kelas.

Renjun yang memang hanya ingin membeli soda favoritnya berjalan santai dengan Mark yang mengekorinya di belakang. Hingga tiba-tiba Mark menarik lengannya hingga Renjun berhenti melangkah.

"Apaan?"

"Beli minumnya ntar aja, deh! Kita balik ke kelas dulu, nanti gue yang traktir deh, ya!" Mark langsung menarik Renjun menjauh dari pintu kafetaria, namun Renjun yang tidak mengerti kenapa Mark begitu, berusaha melepaskan tangannya dari Mark.

"Apaan sih, Mark? Gue tadi kan udah bilang kalo lo nggak mau ikut terserah, lo bisa di kelas! Kenapa jadi gue nggak boleh beli minum, sih?" sungutnya kesal, lalu berbalik meninggaťlkan Mark.

"Ren, wait! Bukan itu alasannya, ini tuh gue ... gue kebelet ke toilet! Iya gue kebelet!"

Mark menggigit bibir bawahnya lalu segera berbalik memalingkan wajahnya dari Renjun. Jika Renjun melihat wajahnya maka ini sia-sia.

"Oh My God! Mark! Lo tuh ya! Selalu bikin gue kesel, kenapa ga dari tadi bilang? Lagian kita udah nyampe kantin gue mau beli minum dulu, lo ke toilet sendiri, deh!"

Renjun berbalik, namun Mark lagi-lagi menarik tangannya.

"Lo harus ikut gue! Cepeetttt!"

"Apasih Mark? Lo ngeselin banget, sumpah!" Menyentakkan tangannya keras, Renjun menatap Mark dengan amarah yang sudah siap meledak.

"Wooiiii!! Anak nggak jelas! Berisik tahu nggak!"

Sebuah teriakan keras itu membuat keduanya otomatis menoleh ke arah sumber suara. Suara yang membuat suasana kantin yang semula berisik menjadi sunyi seketika.

Renjun menatap si pemilik suara dan  berusaha agar tidak menggertakkan gigi, karena emosinya mudah tersulut begitu melihat orang ini. Tidak, kali ini dia tidak boleh membuat keributan lagi karena sudah janji pada mamanya.

"Wah, wah, liat ini siapa. Si anak tidak tahu diri yang selalu menjadi sumber keributan."

Eric dengan senyum miring yang tersungging di bibirnya menatap Renjun mengejek. Berjalan mendekati Renjun yang berdiri diam.

"Udahlah, lo nggak usah nyari masalah lagi, Ric. Yuk, Ren kita pergi!" ujar Mark berusaha menarik Renjun untuk segera pergi.

"Diem lo! Gue nggak ada urusan sama lo!"

Eric maju hingga jaraknya dan Renjun hanya terpaut sejengkal. Lalu mencondongkan kepalanya ke arah Renjun. Berbisik tepat  di telinga Renjun.

"Lo nggak usah sok-sokan, lo tuh bukan siapa-siapa, tahu nggak? Bukan real anak keluarga Wayland juga, sok banget!"

Renjun menggertakkan giginya dan memejamkan mata menahan diri supaya tidak melayangkan tinjunya di wajah Eric lagi. Dia harus menahan diri.

"Kenapa diem? Nggak tahu mau ngejelasin gimana?" Eric tersenyum miring merendahkan di hadapan Renjun. "Emang ya, anak haram pake sok-sokan jadi Tuan muda. Nggak sadar diri banget, hahaha!"

"Lo tuh keterlaluan ya, Eric! It's none of your business!" Mark yang sejak tadi berusaha menghindari pertemuan keduanya kini ikut tersulut emosi dengan sikap Eric.

"Kenapa? Itu kenyataan, gue cuma mau nyadarin nih anak haram biar nggak sok-sokan! Kasian banget keluarga Wayland yang begitu terhormat harus nanggung aib karena nyokapnya yang ternyata punya anak haram dari laki-laki yang bukan suami—AKHH!!!"

Bogem mentah mendarat di pipi kiri Eric. Tak hanya itu, dengan cepat Renjun meraih bagian depan kemejanya lalu memukul wajah Eric dengan membabi buta.

"Brengsek! Tutup mulut sampah lo itu! Dasar sialan!" Renjun menghujamkan tinjunya bertubi-tubi di wajah Eric dan  membuat Eric terlempar hingga menabrak meja kantin.

Tentu seketika suasana kantin menjadi histeris karena itu. Renjun menghajar Eric tanpa ampun sementara Mark yang terkejut berusaha menghentikan Renjun.

"Brengsek! Terserah lo mau menghina gue seperti apa, tapi kalo lo menghina nyokap gue, lo mampus!"

Renjun masih memukuli Eric tanpa jeda, sementara Eric berusaha membalas Renjun juga. Namun, sepertinya kemarahan Renjun memberinya kekuatan lebih.

"Ren, udah! Stop it, please! Oh My God!"  Mark yang panik menarik Renjun tapi malah terdorong dan terhuyung ke belakang.

"Don't you ever say some fuck about my Mom! Nyokap gue adalah wanita terhormat dan lo nggak berhak mengucapkan sepatah katapun tentang keluarga gue! Dasar sampah!"

Renjun kembali melayangkan tinjunya kali ini ke perut Eric, membuatnya babak belur, dan berdarah di wajahnya.

"Ren, stop it! Lo udah gila? Eric bisa mati kalo lo terus pukulin dia begini!"

Mark yang tidak pandai berkelahi hanya bisa berteriak panik dan berusaha menjauhkan Renjun dari Eric yang sepertinya sudah tak berdaya. Wajah Eric memvuru dan berdarah-darah, karena sepertinya tulang hidungnya patah.

Sementara penghuni kantin yang lain histeris, namun tidak berani melerai mereka.

"Gue harus kasih si brengsek ini pelajaran! Dia nggak berhak menghina nyokap gue seperti ini! Dasar sial!" Renjun tidak menggubris Mark dan masih berusaha memukuli Eric lagi.

"Lo bakalan dalam masalah!"

"Gue nggak peduli Mark! Nggak seorangpun di dunia ini boleh menghina Mama!"

"Hentikan! Berhenti kalian!"

Sebuah suara tegas menggelegar terdengar dan menghentikan Renjun yang siap melayangkan tinjunya.
Profesor Craig baru saja tiba di tengah kekacauan itu dan menatap mereka dengan marah, terkejut menyadari luka parah di wajah Eric setelah dia mendekati mereka berdua.

"Apa yang kalian lakukan? Hah! Kalian mau menjadi gengster di sini? Panggil tim medis segera!" Perintahmya pada salah satu anak.

Profesor Craig membantu memapah Eric yang kini tak sadarkan diri, lalu menatap tajam Renjun dan Mark.

"Kalian berdua, dan terutama kamu Ren Wayland. Saya akan memberikan hukuman pada kalian setelah ini, dan akan memanggil wali kalian."

Setelah mengatakan itu Profesor Craig bergegas membawa Eric ke ruang medis meninggalkan kantin yang masih hening mencekam, sebelum perlahan-lahan murid lain kembali pada aktifitas mereka.

Renjun dan Mark masih terdiam di sana. Tampaknya kemarahan Renjun masih tersisa, karena wajahnya masih memerah dengan napas memburu.

"Ren, lo nggak apa-apa? Tenangin diri lo dulu, kita obatin luka di tangan lo dulu."

"Gue mau pulang."

Setelah meraih ranselnya yang terlempar di lantai, Renjun keluar meninggalkan Mark yang kini sakit kepala menghadapi sahabatnya ini.

"Wait! Gue ikut lo!"

Mark berlari mengejar Renjun yang sudah berjalan jauh.

***

"Kim Renjun, bisa jelaskan apa yang terjadi?"

Hyuri baru saja masuk rumah dengan sebuah map di tangannya. Bergegas naik ke lantai dua rumahnya dan mencari putranya yang menurut Merrie sedang mengurung diri di kamarnya.

Dan benar, putranya itu sedang berbaring di tempat tidur membungkus dirinya dengan selimut dan menutupi kepalanya dengan bantal.

"Kim Renjun, I'm talk to you. Jelaskan apa yang terjadi."

Hyuri menarik napas panjang, berusaha agar tidak meledak marah pada putra kesayangannya itu.
Namun, Renjun tidak bergeming, dia masih diam dalam posisinya yang berbaring membelakangi sang ibu.

Hyuri menyerah, lalu melangkah dan duduk di tepi tempat tidur, di samping putranya. Baiklah, dia harus ingat bahwa Renjun tidak bisa dihadapi dengan keras maupun dengan bentakan. Dia harus selalu bicara dengan lembut dan sabar seperti selama ini.

"I don't know what's wrong with you, but I want you to talk about whatever your problem with me. I'm your Mom."

Hyuri mengucapkannya pelan, di tangannya masih tergenggam sebuah map yang sejak tadi dibawanya.

Beberapa waktu lalu, Hyuri mendapat panggilan dari kampus yang memintanya untuk menghadiri pertemuan wali dengan segera. Dia dikejutkan oleh fakta bahwa Renjun telah melakukan kekerasan pada temannya hingga mengharuskannya dibawa ke Rumah sakit.

Sepertinya kampus tidak bisa memberikan toleransi pada Renjun yang akhir-akhir ini sering mendapatkan catatan buruk karena kekerasan dan perkelahian. Menurut pihak kampus, Renjun terus menerus berseteru dengan Eric Son, putra pemilik brand tas terkemuka 'Versme'.

Kini, Hyuri memandangi punggung putranya yang masih duan itu.

"Kim Renjun, please. Bisa kamu jelaskan pada Mama apa yang terjadi? Mama tahu kamu sedang tidak tidur."

Perlahan, terdengar tarikan napas panjang dari balik selimut yang membungkus tubuh Renjun. Tetapi sepertinya dia tidak berniat menjawab sang ibu.

"Kim Renjun, I ask you once again. Bisa kamu jelaskan apa yang terjadi?"

Hyuri mulai merasa ini akan butuh waktu lama untuk bicara dengan putranya itu. Renjun tidak mau mengatakan apapun padanya.

"Kalau kamu tidak percaya untuk cerita  pada Mama, it's okay. Mama tidak akan memaksa. Tapi kamu harus tahu, Mama sayang banget sama kamu. Kamu adalah hadiah terbaik dari Tuhan yang Mama dapatkan, dan sebisa mungkin Mama jaga, merawat kamu, dan Mama rela memberikan apapun untuk kamu. Tapi Mama tidak rela jika kamu merusak masa depan kamu dengan cara seperti ini."

Renjun mendengar nada lelah dari suara lembut ibunya, tetapi masih tidak mau berbalik untuk menatap sang ibu.

"Mama selalu mengajarkan banyak hal sama kamu, karena kamu anak yang baik dan pintar. Semua yang Mama ajarkan, pasti kamu pelajari dengan sempurna dan membuat Mama bangga. Meskipun, Mama tahu ada hal yang mengecewakan kamu selama ini."

Hyuri diam sejenak, mengulum senyuman pahit di ujung bibirnya. Berusaha agar suaranya tak akan terdengar bergetar karena menahan emosi.

"Mama tahu, kamu kecewa karena tumbuh tanpa sosok Papa, kamu ...." Hyuri menjeda ucapannya, kalimat itu serasa mencekik tenggorokannya. Rasanya sakit jika harus membicarakan hal ini dengan putra kesayangannya itu.

"Maaf, jika Mama tidak bisa memberi kamu sebuah keluarga yang utuh. Selama ini Mama berharap segala hal yang Mama berikan akan cukup untuk menggantikannya. Tetapi sepertinya tidak bisa, sepertinya Mama gagal merawat dan mendidik kamu.
Mama tidak akan menyalahkan kamu karena ini juga salah Mama—"

Hyuri terkejut saat putranya itu tiba-tiba bangun dan menghambur padanya. Memeluknya dengan sangat erat lalu disusul isakan pelan yang terasa di bahunya menandakan putranya itu sedang menangis.

"I'm sorry Mom. Sorry ..." bisik Renjun pelan, menyembunyikan wajahnya di balik bahu ibunya.

Lagi, dia melukai hati ibunya.

Hyuri menunduk dan menatap putranya yang masih menangis dalam diam, menangkup wajahnya yang basah, menghapus air mata yang mengalir, lalu kembali menarik putranya itu dalam pelukannya.

Hyuri tahu, bahkan sangat tahu, bahwa putranya itu bukanlah anak yang nakal. Dan dia tahu putranya itu merasa menyesal sekarang.

"Maafikan Mama, ya?"

Renjun menggeleng cepat. "Nggak, aku yang seharusnya minta maaf karena sudah menyakiti hati Mama. Maafin aku, Ma."

"Mama selalu maafin kamu. But, can you tell me the reason?"

Renjun terdiam, meski masih sesekali terisak. Dia benar-benar tidak mau ibunya tahu bagaimana Eric mengolok tentang statusnya juga merendahkan harga diri sang ibu.

Lihat, bahkan ibunya sudah merasa bersalah karena membesarkan dirinya seorang diri. Jika ibunya tahu Eric menghinanya sebagai anak haram, itu pasti sangat melukai hati ibunya. Dan Renjun tidak mau hal itu terjadi.

"Maaf, Ren nggak bisa mengatakannya. Aku tahu, aku sangat bersalah tapi percaya Ma, aku melakukan ini karena alasan yang kuat. Aku hanya membela diri," ucap Renjun pelan.

Sekali lagi, Hyuri menarik napas pelan, melepaskan pelukannya, lalu menatap Renjun. Dia melihat kejujuran di mata putranya.

"Baiklah kalau kamu nggak bisa cerita. Mama menghargai itu, dan Mama berharap ini tidak akan terjadi lagi."

"Aku janji nggak akan terulang," janji Renjun lirih.

"Ya sudah, berhenti menangis. Kamu kan udah gede, ntar diledekin Om Jaehyun lagi pasti," goda sang ibu yang kini tersenyum menatapnya.

"Emang laki-laki dewasa nggak boleh nangis?"

"Boleh sih, tapi kamu itu cuma nangis di hadapan Mama aja, kan? Imut banget anak Mama ini."

Hyuri mengusak rambut putranya itu.

"By the way, kamu di DO dari kampus. Perlu Mama carikan universitas lain atau kamu pilih sendiri?"

"Oh! Ren belum pikirin." Renjun mengusap hidungnya yang merah karena terisak dengan ekspresi bingung. Dia benar-benar tidak menyangka akan benar-benar di DO.

"Baiklah, Mama kasih kamu waktu. Dan Mama akan tetap memberi kamu hukuman, terlepas apapun alasan kamu berantem. Mama sampai harus berurusan dengan keluarga Son."

Kemudian Hyuri beranjak dari tempat tidur, membawa kembali amplop berisi surat DO dari kampus.

"Sekarang kamu mandi dan makan, Merrie udah siapin di bawah."

Hyuri berbalik melangkah untuk keluar kamar. Namun, panggilan Renjun membuatnya berbalik untuk menatap putranya itu dari ambang pintu.

"Mom! I love you more than everything dan aku bahagia hidup berdua bersama Mama. Sangat bahagia."

"Mama tahu."

"Pokoknya aku sayang Mama!"

Hyuri hanya tersenyum melihat tingkah putranya itu sebelum akhirnya menutup pintu.

Renjun tetap anak baik dan imut meski sering marah dan sewot karena hal-hal kecil. Tapi Hyuri percaya putranya itu tidak pernah berbohong. Apapun alasan putranya, kali ini Hyuri akan percaya.

.
.
.
.

Bersambung dulu...

Gimana ceritanya? Masihkah kalian membacanya? Aku harap gitu sih :')
Satu-satu nanti kita kenalan sama tokoh-tokih yang akan muncul di chapter selanjutnya.

Nungguin Jaemin?
Tenang ntar bakalan muncul kok.. ehehe, see you next chapter yeorobun...

Renjun kalo udah mode sangar
beuhhhh...... jangan ditanya  :')

Ini Mark Lee
Sahabat kecilnya Renjun
Yang kalo ngomong nggak ada abisnya dan punya level humor yang diatas rata-rata.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro