04. Dua Rasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Pagi sudah beranjak siang ketika Renjun duduk sebuah bangku tepat dibawah pohon besar taman kampus menunggu papanya yang masih ada di ruangan profesor Choi.

Sebelumnya Renjun berada disana untuk mengisi beberapa data mengenai kepindahannya ke universitas ini.
Setelahnya dia, papanya dan profesor Choi berjalan sebentar untuk melihat-lihat area kampus.
Hingga akhirnya dia memutuskan jalan-jalan sendirian sementara sang papa dan profesor kembali ke dalam.

Profesor Choi adalah sahabat papa dulu. Jadi Renjun memaklumi kalau mereka membutuhkan waktu lama untuk berbincang.

Ngomong-ngomong, Renjun sebenarnya ingin mencari Jaemin tapi pasti nanti anak itu akan heboh kegirangan dan berujung membuatnya malu.
Jadi Renjun mengurungkan niatnya dan memilih duduk santai menikmati angin yang bertiup. Dia sudah rindu Mark, seandainya anak itu ada disini pasti sudah berisik membicarakan banyak hal.

Renjun mengeluarkan ponselnya bermaksud menelepon Mark, tapi seketika ingat kalau sekarang rentang waktu mereka 8 jam. Di London masih tengah malam jika sekarang di sini pukul 10 pagi.
Renjun kembali memasukkan ponselnya ke saku dan memutuskan untuk pergi mencari kafetaria kampus karena dia haus, sepertinya sang ayah masih membutuhkan waktu lama di dalam.

Renjun melewati banyak ruang dalam perjalanannya menuju kafetaria.
Ngomong-ngomong karena ini universitas international terbaik, kampus ini sangat luas dan setiap gedung jurusan terpisah cukup jauh dari satu dan yang lain.
Cukup untuk membuat kaki pegal jika mengelilingi seluruh kampus. Belum lagi taman-taman yang dibangun diantara gedung, cukup untuk istirahat dan bersantai.

Saat ini Renjun ada di gedung satu, tempat jurusan seni dan grafis.
Gedung yang sama dengan jurusan Jaemin, entah dimana anak itu sekarang. Dia bilang ada pertemuan jurusan sejak pagi.

Brakk!

"Ah, maaf!" Renjun buru-buru membungkuk meminta maaf saat dia tanpa sengaja menabrak seseorang yang keluar dari sebuah ruangan.

"Tidak apa-apa. Sepertinya aku terlalu buru-buru sampai tidak melihat saat keluar." Pria itu kemudian membungkuk memunguti buku- bukunya yang jatuh. "Aisshhh! Kenapa kertas ini harus berhamburan sih."

"Saya bantu." Renjun ikut memunguti buku dan lembaran-lembaran kertas yang berserakan di lantai. "Saya minta maaf, saya tidak sengaja." ucapnya.

"Profesor! Anda tidak apa-apa?"

Seorang gadis muncul dari ruangan yang sama darimana pria itu berasal. Tampak terkejut melihat kekacauan di depan pintu, lalu dengan cepat membantu pria yang dipanggilnya profesor itu.

"Anda pergi begitu saja bahkan sebelum saya selesai mengumpulkan data, lihat kan anda ceroboh sekali." gerutu gadis itu.

Renjun mendongak menatap dua orang didepannya itu. Gadis itu sepertinya seorang mahasiswi tapi berani sekali dia mengomeli seorang profesor seperti ini? Dan pria yang dipanggil profesor ini tampak cukup muda untuk predikat profesor.

"Lee Dae Hae, berhenti mengomel dan bawakan buku-buku sialan ini. Aku harus buru-buru ke ruanganku. Memang sialan sekali tugas dari prof. Anderson yang suka tiba tiba meminta ini itu."

"Andalah yang harus berhenti mengomel dan biarkan saya membantu anda."

"Tidak tidak, aku akan menangani hal ini sendiri. Kembalilah ke kelasmu."

"Jadwal saya kosong sampai dua jam ke depan." gadis itu terdengar begitu keras kepala.

Mungkin ini tipikal mahasiswi yang menyukai dosennya, kira kira itu yang ada di kepala Renjun saat ini.
Memang wajah sang profesor diakuinya sangat tampan dan entah kenapa Renjun merasa wajah itu terasa familier baginya.

Selesai memunguti semua kertas yang berhamburan, profesor itu berdiri diikuti oleh si gadis dan Renjun.

"Saya sekali lagi minta maaf." ucap Renjun membungkuk sekali lagi.

"Tak apa nak, lain kali hati-hati saat jalan." kemudian profesor itu berlalu diikuti si gadis yang masih berusaha membujuk si profesor untuk membawakan kertas tugas.

Setelah beberapa saat memandangi mereka, Renjun kembali berbalik dan meneruskan perjalanannya menuju kafetaria.

Dan disinilah Renjun berada.
Berdiri dengan sedikit terkesan di depan pintu kaca kafetaria.
Memang universitas terbaik selalu memiliki hal mengejutkan.
Kafetaria ini sudah seperti restoran bintang lima di London tempat Ren selalu berkunjung dengan Mark.
Tidak kalah dengan kafetaria kampusnya dulu, dan tanpa sadar seulas senyum terukir di sudut bibir Renjun. Mark pasti akan menyukainya jika anak itu disini.

Renjun sebenarnya tidak lapar, dia hanya mau membeli minuman tapi melihat isi kafetaria membuatnya sedikit berubah pikiran.

Renjun sedang sibuk berpikir apakah perlu menghubungi ayahnya dulu atau tidak, dia tak ingin ayahnya lama menunggu.

"Injuunnn!"

Sebuah suara yang sangat familiar memasuki gendang telinganya, hingga membuatnya sontak menoleh cepat.

"Aawww, beneran injunkuuu~"

Oh no, Jaemin.

Renjun menghembuskan napas berat saat Jaemin berjalan cepat menghampirinya dengan senyum menyebalkannya.

"Kok nggak bilang sih? Tau gitu aku samperin tadi." tanpa sungkan Jaemin merangkul bahu Renjun sumringah.

"Lepas nggak? Jangan bikin gue malu ya lo!" Renjun beringsut menjauh dengan kesal karena sang kakak tidak tahu malu di depan umum.

"Iihh, jahat deh." Jaemin seketika memasang wajah kesal sok imut yang malah menbuat Renjun ingin melarikan diri dari sang kakak.

"Jaemin, siapa dia?" seorang anak laki laki bermata sipit, berperawakan tinggi, berkulit putih dan tubuh yang bagus nampak penasaran melihat interaksi mereka, bertanya pada Jaemin.

"Ah, kenalin Jen ini adik gue. Renjun."

"Adik... yang lo ceritain itu?"

"Iyaaa, ganteng kan kayak gue. Tapi imutan dia sihh." Jaemin sekali lagi tersenyum bangga menjawab dan mengacak rambut Renjun gemas membuat si empunya menahan kekesalan dan menjauhkan kepalanya dari tangan sang kakak.

"Apaan sihh lo! Sanaa!" Renjun berusaha menepis tangan Jaemin yang nggak tahu malu itu.

"Gue Jeno, sahabat deketnya Jaemin." anak laki-laki itu mengulurkan tangannya pada Renjun dan tanpa basa basi menarik Jaemin darinya.

Renjun sedikit kaget dengan sikap Jeno meski kemudian membalas uluran tangannya.

"Gue Renjun."

"Nahh, karena udah kenalan sekarang kita makan yuk! Laper nih!" Jaemin menggandeng tangan Renjun dan Jeno membawa keduanya berjalan bersamanya.

"Nggak deh, takut Dad nungguin. Lo aja yang makan, gue cuma mau beli minum trus balik."

"Papa masih disini?"

"Iya, yakali gue kesini sendirian. Udah ya, bye." Renjun melepaskan tangannya dari Jaemin dan tersenyum singkat pada Jeno lalu dia melenggang pergi meninggalkan keduanya.

"Adek lo sedikit kasar ya, dia ngomongnya nggak sopan gitu sama lo. Lo kan kakaknya." ucap Jeno setelah melihat sosok Renjun menghilang dari pandangan.

"Ya soalnya dia kan sejak kecil di luar negeri sama bunda. Lo tau sendiri di sana nggak kayak korea yang kental banget budaya tua-muda, trus senior-junior. Disana perbedaan usia nggak masalah tapi tetep saling menghormati."

Jaemin tersenyum dan berusaha membuat Jeno mengerti tentang Renjun. Dia ingin adiknya itu tidak lagi kesepian karena Jaemin tau sikap keras Renjun sengaja dibangun untuk melindungi hatinya yang rapuh.

"Terserah deh, semoga aja gitu."

"Kok gitu sih Jennn, percaya sama gue dehh. Renjun itu anak yang baik, gue sayang banget sama dia."

"Iya deh iya, yang bucin sama adiknya." gerutu Jeno kemudian pergi memesan makanan untuk mereka.

Jaemin tersenyum memandang Jeno lalu matanya menatap ponsel dimana wallpapernya adalah fotonya dan Renjun.
Dia tau Renjun adalah harta berharga setelah ayah dan bunda, dia ingat betapa dulu dia sangat menyukai Renjun kecil saat bunda pertama kali mempertemukan mereka. Mengatakan bahwa Jaemin sudah menjadi kakak.
Jaemin tersenyum mengingat semuanya, ya dia sangat menyayangi Renjun.

***

"Dad, maafin Renjun ya udah bikin Dad nunggu lama." Renjun menoleh pada sang ayah yang sedang menyetir.

Tadi saat dia kembali dari kafetaria rupanya sang ayah sudah selesai dengan profesor Choi dan menunggunya di depan kampus.

"Iya papa nggak apa-apa. Kamu darimana aja tadi?"

"Dari kafetaria trus ketemu Jaemin."

"Oh ya? Dia udah selesai rapatnya? Tadi katanya mau pergi sama bunda?" tanya sang ayah.

"Nungguin bunda dari kantor kayaknya."

Kemudian keduanya terdiam beberapa saat tenggelam dalam pemikiran masing-masing.

"Ren, boleh papa tahu alasan kamu setuju pindah kemari?" tanya sang ayah lembut menoleh menatap Renjun.

"Renjun pengen deket Dad, kapan lagi ada tawaran untuk tinggal sama Dad setelah Mom melarang selama ini." kekehnya pelan dengan pandangan tertunduk. Dia tidak berani menatap sang ayah.

"Hanya itu? Papa yakin itu bukan satu-satunya alasan." sang ayah masih dengan suara lembutnya kembali bertanya. Dia tahu Renjun bukan anak yang semudah itu mau meninggalkan sang ibu demi tinggal dengannya.

Beberapa saat hanya ada kesunyian diantara keduanya.

"Aku nggak mau menyakiti hati Mom lebih jauh lagi. Ren sudah sangat berusaha menyembunyikan banyak hal dari Mom karena tidak ingin dia kecewa atau sedih. Ren hanya ingin jadi seseorang yang dibanggakan oleh Mom."

Renjun sadar sang ayah sudah tahu pasti akan hal ini namun mendengar langsung darinya sepertinya bisa membuat penilaian sang ayah berbeda.

Kyuhyun melepaskan satu tangannya dari kemudi lalu mengusak pelan kepala putranya itu sembari tersenyun.

"Papa tahu kok alasan kamu yang sebenarnya, dan papa berterimakasih. Papa tahu semua penyebab dari semua perkelahian kamu disana. Dan papa memahami alasan kamu. Papa bangga kamu jadi anak yang kuat." sang ayah tersenyum.

"Thanks Dad, karena selalu mengerti."

"Tapi Ren, mungkin orang lain akan mempertanyakan status kamu sebagai anak papa mengingat marga kamu beda dengan papa dan Jaemin. Tapi papa sudah katakan semua pada profesor Choi untuk melindungi identitas kamu dari orang lain. Kamu tidak keberatan kan?" tanya sang ayah pelan dan khawatir sementara tangannya meraih tangan Renjun dan menggenggamnya.

Renjun terdiam, sebenarnya dia cukup paham situasinya. Di Korea orang akan lebih sibuk mengkritisi keburukan orang lain sekalipun itu bukan urusan mereka dan membicarakannya.
Dan Renjun sadar posisi ayahnya yang merupakan tokoh terkenal dan berpengaruh mungkin akan terkena imbasnya jika orang-orang membicarakan statusnya.

"Ren? Kamu nggak apa-apa? Maaf papa harus mengatakannya, tapi jika kamu berubah pikiran maka ayah akan menerima dan menghormati keinginan kamu." Kyuhyun kemudian menepikan mobilnya, berhenti di pinggir jalan dan menatap putranya khawatir.

Renjun sadar pasti bahwa ini akan lebih sulit jika orang-orang tahu kebenarannya. Mengingat di kampus lamanya Eric selalu membicarakannya hingga sering membuatnya marah, tapi jika dia membuat keputusan lain maka ibunya pasti akan kecewa.

"I'm okay, Dad. Thanks karena Dad selalu memikirkanku dengan baik." ucapnya dengan senyum getir yang tersungging di sudut bibirnya.
"Ren akan berusaha tidak melukai nama baik Dad disini."

"Tidak nak, justru papa yang meminta maaf. Papa yang akan melindungi kamu disini apapun yang terjadi, jadi jangan khawatir. Papa akan selalu bersama kamu, okay?"

Kyuhyun kemudian memeluk Renjun dan mengusap pelan punggung putranya. Dia tahu persis Renjun menanggung beban ini sendirian tanpa bisa mengatakannya pada sang ibu.

Renjun membalas pelukan sang ayah, dan tanpa bisa dicegah air mata itu sudah menggenang di sudut matanya.

"Thanks karena Dad selalu ada untukku, selalu mengerti dan mendukungku dalam segala hal sekalipun aku bukan anak kandung Dad. Ren bersyukur karena telah menjadi putra Dad selama ini."

Kyuhyun memejamkan mata dan memeluk Renjun erat. Ya dia memang sangat menyayangi Renjun seperti putra kandungnya sendiri, di masa lalu akibat kesalahannyalah yang membuat putranya menanggung beban ini sendirian sekarang.
Tapi kini Renjun memilih berada di sisinya dan dia akan melindungi Renjun sebagai penebusan akan dosanya di masa lalu.

"Papa sangat sayang kamu."

"Aku tahu, karena itu Ren akan berusaha menjalani semuanya dengan baik."

Keduanya melepas pelukan yang mengharukan itu kemudian saling tersenyum menyadari betapa cengeng dan dramatis mereka barusan.

"Menangis membuat papa lapar. Mau makan siang?" tanya sang ayah tersenyum.

"Iya Dad." Renjun tersenyum menatap sang ayah. Benar, dia akan berusaha menjalani semuanya dengan baik disini tanpa membuat ibunya khawatir lagi.

***

Disaat yang sama di depan kampus Jaemin terlihat berdiri menunggu. Ya dia menunggu sang bunda datang menjemput karena mereka janji untuk makan siang dan menghabiskan waltu bersama hari ini.

Tiinn tiinn!

Bunyi klakson membuat Jaemin terkejut karena sedang melamun.
Sebuah mobil Aston Martin berhenti tepat dihadapannya. Jaemin tidak tahu siapa yang ada di dalam mobil sampai kaca mobil itu turun.

"Bunda?" ucapnya terkejut melihat sosok ibunya melambai di balik kemudi.

"Maaf ya bunda terlambat jemputnya." Hyuri tersenyum lalu meminta Jaemin yang masih melongo untuk segera naik.

"Kok gìtu ekspresinya? Bunda bikin kamu nunggu kelamaan?"

"Nggak, bukan itu. Jaemin terkejut aja lihat bunda nyetir sendiri, selama ini kan selalu dianterin uncle Vernon atau om Jaehyun kemana-mana."

Mendengar itu sang bunda tertawa lalu mengusak rambut Jaemin gemas.

"Duhhh, lucunya anak bunda."

"Iihh, bunda aku seriusan nggak tau bunda bisa nyetir. Dan lagi kenapa pake mobil gini? Mencolok banget di kampus." Jaemin melihat beberapa mahasiswa yang lewat berbisik-bisik setelah menatap mobil bundanya.

"Sayang, bunda pikir ini nggak terlalu mencolok. Udah bunda pikirkan kalau kamu bakalan protes makanya bunda pilih mobil ini yang masih terlihat biasa saja disini." Hyuri tertawa dengan reaksi Jaemin kemudian mulai melajukan mobilnya keluar area universitas.

"Tetep aja kaget." gumam Jaemin yang kini menyandarkan tubuhnya di bangku karena lelah setelah rapat panjangnya sejak pagi.

"Tapi ini buat kamu loh, bunda beliin ini buat kamu pakai ke kampus nanti. Jadi kamu nggak usah dianter supir."

"Hah?" seketika Jaemin menegakkan punggungnya dan menatap sang bunda tak percaya.

"Ya ampun, gemes banget kamu kagetnya." Hyuri kembali tertawa melihat ekspresi Jaemin.

"Maksud bunda mobil ini buat Jaemin?"

"Yups, bener sekali! Bunda sengaja pilih model dan warna yang tidak mencolok karena kamu pasti nggak mau pakai kalau ngejreng."

"Tapi bunda, Jaemin bisa dianter supir aja. Bunda nggak perlu repot gini, duhh." Jaemin mengomel dengan sikap bundanya yang terlalu berlebihan ini.

"Tapi bunda pengen beliin kamu mobil Sayang, masa sih nggak mau pakai?" dengan ekspresi cemberut dan sedih yang dibuat-buat dihadapan putranya membuat Hyuri tidak terlihat seperti ibu.

"Bukan gitu, bunda jangan marah~ mobilnya biar dipake Renjun aja. Jaemin dianter supir aja."

"Nggak bisa, bunda udah beliin Renjun mobil sendiri mengingat dia mungkin nggak akan mau pergi bareng kamu."

"Hah?!" kali ini setengah berteriak Jaemin menatap sang bunda terkejut dan berpikir dia hanya salah dengar. Namun melihat tawa kecil ibunya membuat Jaemin sadar dia tidak salah dengar.

"Bunda, nggak perlu kayak gitu. Dan lagi ini berlebihan banget, nanti papa marah gimana?"

"Kenapa? Ini kan mobil dari bunda buat kalian, kenapa papa harus marah. Udah ya, bunda nggak terima penolakan jadi diterima aja. Oke?" Hyuri masih tertawa melihat ekspresi putranya yang kebingungan, lucu sekali bikin gemes. Sayang dia sedang menyetir, kalau tidak pasti sudah di uyel-uyel itu anak.

"Iya deh. Makasih banget bunda karena udah perhatian sama Jaemin, meski jarang ketemu ternyata bunda masih sayang sama Jaemin." sembari menunduk Jaemin mengucapkan kalimat itu pelan. Dia tidak mau terlihat melankolis didepan sang bunda.

"As always sayang, bunda selalu sayang kamu dan itu nggak akan berubah. Rasa sayang bunda ke kalian akan selalu sama karena kalian adalah harta bunda yang paling berharga."

Sekali lagi Jaemin menoleh dan mendapati bundanya tersenyum. Senyum paling cantik yang pernah dilihat Jaemin dan hanya dimiliki oleh bundanya.

"Bunda nanti beli strawberry cake ya, Jaemin pengen makan itu sama bunda."

"Iya sayang."

***

Dan di hari itu di tempat yang berbeda, kedua anak laki laki itu merasakan kebahagian dan kasih sayang yang sangat mereka rindukan. Menghabiskan waktu bersama orang yang paling mereka sayangi selama ini.

Keduanya memiliki rasa sayang pada keluarga melebihi apapun, namun masing-masing memiliki kekosongan dalam hati yang entah karena apa.
Bukan sebuah kebencian, bukan juga rasa iri satu sama lain, mereka tidak bisa menjelaskan kekosongan ituu. Hanya saja keluarga mereka seperti sebuah puzzle yang telah disusun lengkap tetapi masih tidak bisa disebut sempurna.

Dan kita akan tahu melalui perjalanan keduanya, apa yang membuat puzzle itu menjadi sempurna nanti.

Bersambung next chapter.



Haloooo.. ^^

Makasih semuanya yang masih baca cerita ini..
semoga kalian tetap suka dan penasaran sama ceritanya ya :)

Sayang banget dua anak ini
Berasa jadi bundanya deh.. ehe

Jangan lupa tekan bintang nya ya, biar makin semangat nulisnya.
Makasih semuanyaaa...

Sayang kalian banyak-banyak!

Nunanya Renmin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro