09. Ikatan dan Hubungan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maybe ini yang namanya takdir?
Dan gue nggak tahu ini takdir baik atau takdir sial.
Yang jelas lo adalah variabel tak terduga dalam hidup gue.

- Renjun -

"Jaem, ntar sore anterin gue pergi ya?"

Renjun melahap roti isi tuna yang menjadi sarapannya pagi ini, dan bertanya pada sang kakak yang juga sedang sarapan bersamanya dan papa mereka.

Mendengar pertanyaan sekaligus permintaan yang tiba-tiba dari sang adik yang bisa dibilang jarang terjadi ini seketika membuat Jaemin menatap Renjun.

"E-eh? Tumben kamu minta aku nemenin?" ucapnya masih tidak percaya.

"Ya mau minta ke siapa lagi? Dad kan juga kerja, gue nggak punya temen dan lo kan kakak gue. Nggak boleh gue minta tolong ke lo?"

"Jaemin kenapa bertanya begitu sih, adiknya minta dianter kan. Pergi saja berdua lagipula ini kali pertama Renjun mau keluar rumah kan?" ucap sang papa menatap kedua putranya.

"Bukan begitu pa, yakan kemarin-kemarin aku ajakin tapi Renjunnya nggak mau."

"Bukannya nggak mau, gue belum pengen. Dan sekarang gue baru mau pergi, lo nggak mau anter?"

"Mau! Siapa bilang nggak mau? Nanti sore pulang kampus aku ajakin kamu pergi kemanapun kamu mau."

"Oke."

Kyuhyun tersenyun melihat interaksi kedua putranya.
Sedikit aneh memang, mereka lebih sering berantem daripada akurnya. Dan sekalinya akur pasti kelihatan canggung tapi gemes.

.
.
.

"Renjunn!"

Teriakan cempreng nan ceria khas Yangyang menyapa telinga Renjun saat dia berjalan di lorong kampus menuju kelas.

"Hai Yang, baru nyampe?"

"Nggak sih, dari tadi. Barusan main ke fakultas teknik." jelas Yangyang membuat Renjun merotasikan bola matanya jengah lalu menatap teman disampingnya itu.

"Lo tuh ya, kebiasaan deh kelayapan ke fakultas lain."

Mendengar itu Yangyang meringis, "Ya gue kan banyak temen Ren, sekalipun beda-beda fakultas. Ntar kapan-kapan gue ajak lo deh biar kenalan sama temen gue yang lain."

Renjun hanya menggelengkan kepala tanpa menjawab. Sungguh Yangyang 11-12 dengan Mark, sama berisiknya, sama cerewetnya dan kadar humor yang sama.

Hari ini ada kelas dari profesor Kim dan tentu saja Renjun sudah menunggu dengan semangat.

Karena jurusan seni rupa jarang ada kelas materi, kali ini profesor Kim meminta mereka untuk praktik.

Melukis.

Dan Renjun merasakan kesenangan yang lebih karena selain ini adalah hal yang sangat disukainya, dia sudah lama tidak melukis.

Dia memperhatikan profesor Kim yang sedang menjelaskan di tengah para siswa dan entah kenapa lagi-lagi seulas senyum tersirat di ujung bibir Renjun .

He looks so cool and charismatic, mungkin ini yang membuat cewek itu jatuh cinta pada profesor Kim.

But, wait

Kenapa gue malah mikirin itu cewek?
Merupakan keberuntungan karena sudah lima harian ini gue nggak ketemu itu cewek pembawa celaka.

Mungkin dia masih belum sembuh.

Renjun menarik napas panjang perlahan berusaha mengenyahkan pemikiran absurd di kepalanya.
Dia harus segera mulai menggoreskan kuasnya.

Kelas praktik ini dilakukan di taman samping fakultas seni rupa yang ternyata sangat indah.
Renjun sama sekali belum menjelajahi keseluruhan bagian kampus dan tentu dia takjub melihat banyak hal menarik yang dijumpainya satu persatu.

Kelas yang menyenangkan dari profesor Kim dan ini membuat suasana hatinya membaik.

Saking fokusnya Renjun saat dia mulai melukis, sepertinya dia tidak menyadari waktu berlalu sampai kelas profesor Kim selesai hari ini.

Di renggangkannya kedua tangannya yang pegal karena fokus sejak tadi.
Sebaiknya dia mengajak Yangyang makan setelah ini.

Obsidian coklatnya yang bening itu kini memindai satu persatu lukisan dan juga teman-temannya.
Lalu Renjun tersenyum hingga pandangan matanya menemukan objek yang membuatnya berhenti tersenyum.

Wait

Dia kan si pembawa celaka? Ngapain dia disitu? Bukannya ini masih kelasnya?

Renjun menoleh kesana kemari memastikan ini benar kelasnya. Benar kok, ada Yangyang juga di sampingnya, tapi dia tidak ingat gadis itu sekelas dengannya.

Dilihatnya gadis itu serius dan sesekali tersenyum menatap kanvas di hadapannya. Kemudian gadis itu mendongak dan melambaikan tangannya.
Renjun menyipit lalu mengikuti arah lambaian tangan yang ternyata mengarah pada profesor Kim?!

Apa gadis itu sudah gila?
Dia melambai pada seorang profesor?!
Dan lagi sang profesor sedang mengajar di kelasnya!

Mata beningnya itu terus mengikuti interaksi dua orang itu.
Anehnya, profesor Kim membalas lambaian tangan gadis itu dan bahkan tersenyum sebelum akhirnya berjalan mendekati gadis itu.

Oh, what?!
Apakah hal seperti ini wajar disini?!

Memang tidak ada aturan tentang cinta beda usia dan kasta sih, tapi kan ini di kampus, di kelas dan bahkan di depan mahasiswa lainnya!

Gadis itu tersenyum dan menunjukkan hasil lukisannya entah apa itu pada profesor Kim, membuat sang profesor tersenyum bangga lalu mengusak pelan kepala gadis itu.

Renjun mengernyit melihat pemandangan aneh itu sebelum disadarinya Yangyang tengah menepuk pundaknya.

"Ren...Renn..."

"Eh? Iya apaan?" jawabnya tergagap.

"Lo udah selesai? Ke kafetaria yukk, laper gue!" ajaknya setelah mengemasi peralatan lukisnya.

"Oh, udah. Gue juga udah selesai kok, bentar gue beresin ini dulu."

"Wahh, lukisan lo bagus banget!" teriak Yangyang tiba-tiba saat melihat hasil goresan kuas Renjun. "Ini sih udah diatas rata-rata! Lo yakin bukan pelukis profesional? Wahhh!"

"Apaan sih lo, heboh banget! Biasa aja, gue juga masih belajar." Meski kalimat yang keluar sari mulutnya galak dan jutek tapi bisa dilihat wajah Renjun merona karena malu apalagi beberapa teman mereka akhirnya juga melihat lukisannya.

"Yangyang lo apaan sih, gue jadi diliatin sama yang lain kan?!" bisiknya pada Yangyang yang malah tersenyum lebar.

"Hasil karya macem gini tuh emang harus diperlihatkan ke banyak orang Ren! Gue foto ah, kirim ke kakak gue!" ucapnya yang kemudian mengambil foto dengan ponselnya.

Renjun mengerang pelan, dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Dia bukan anak yang suka diperhatikan banyak orang seperti ini, apalagi sekarng teman-temannya juga memuji hasil karyanya. Dia merasa malu, kesal, tapi juga senang, nano nano deh.

"Wah, ada apa ini?"

Suara profesor Kim seketika membuat kerumunan kecil di sekitar Renjun menyingkir sedikit.
Sang profesor berjalan mendekati Renjun dan kemudian melihat lukisan di hadapannya itu.

"Wah, cantik. Milik siapa ini?" tanya sang profesor tanpa mengalihkan tatapannya dari lukisan.

"Saya profesor."

"Kamu?"

Kali ini atensi sang profesor beralih pada Renjun, menatapnya dan kemudian seulas senyum yang sangat tipis terlukis dibibir sang profesor.

"Baiklah, karena kelas sudah selesai kumpulkan karya kalian di studio ya. Sampai jumpa di kelas selanjutnya." ujarnya kemudian membuat para siswanya beranjak masuk tak terkecuali Yangyang dan Renjun.

"Kamu, bisa bawa lukisan itu ke ruangan saya?" ucap profesor Kim pada Renjun sembari menunjuk lukisannya.

"Saya profesor?"

"Tentu, siapa lagi? Aku ingin melihat lukisanmu lebih dalam, apakah kamu keberatan?" tanyanya ringan namun entah kenapa mengintimidasi.

"Tentu tidak profesor, akan saya bawa." Renjun kemudian mengemasi barangnya dan membawa lukisannya.

"Bantuin elahh Yang, gue kesulitan bawa sendiri." gerutunya pada Yangyang disampingnya.

"Lah, tadi kan bisa bawa sendiri kenapa sekarang nggak bisa?" gerutu Yangyang kemudian memilih untuk membawa ranselnya.

"Tadi kanvasnya kosong, sekarang kan udah nggak. Catnya masih basah kan." sungut Renjun. Keduanya mulai beranjak sampai ekor mata Renjun memperhatikan sang profesor yang membantu si gadis itu berkemas dan membawakan kanvasnya.

Sepertinya profesor Kim juga menyukai gadis itu.

Sudahlah, tidak mau berpikir aneh- aneh Renjun kembali berjalan bersama Yangyang mendahului pasangan tersebut.

Ternyata ruangan yang dimaksud oleh profesor Kim adalah ruangan khusus miliknya. Bukan ruangan yg sama seperti di ruang dosen.

Ruangan ini lebih mirip studio kecil dengan banyak peralatan dan lukisan di setiap sudutnya.

"Kalian letakkan saja disana, aku akan memindahkannya sendiri." ucap profesor Kim pada Renjun dan Yangyang, "Oh ya, siapa nama kalian?"

"Saya Liu Yangyang mahasiswa seni lukis semester 4." Yangyang memperkenalkan dirinya sopan.

"Saya Renjun, oh-maksud saya Kim Renjun. Mahasiswa pindahan seni lukis semester 4." ucap Renjun sopan.

"Murid pindahan? Kamu yang kemarin bertemu saya di galeri kan?" tanya sang profesor.

"Iya profesor."

"Baiklah Kim Renjun, aku menyukai lukisanmu dan bermaksud untuk mempelajarinya. Kamu keberatan?"

"Tidak profesor."

"Baiklah, aku akan membawa lukisanmu dulu. Nanti akan ku kembalikan ke studio lukis bersama yang lain. Kalian boleh pergi sekarang."

Kemudian keduanya berpamitan dan beranjak keluar dari ruangan sang profesor ketika si gadis pembawa celaka muncul di depan pintu.

"Profesor! Saya datang membawa—oh, kamu?! Sedang apa disini?" tanyanya setelah melihat Renjun keluar dari ruangan.

Renjun hanya menatap si gadis di hadapannya tanpa menjawab.

"Kita barusan ada kelas dari profesor, sekarang kita mau balik." sahut Yangyang menjelaskan.

"Kalian saling mengenal?" tanya sang profesor yang kini berdiri disamping Renjun.

"Iya, dia yang sudah nolongin aku pas jatuh kemarin. Makasih ya, em—Renjun, iya Renjun kan?"

"Iya sama-sama, kami permisi profesor." pamit Renjun yang kemudian menarik Yangyang untuk segera pergi dari sana.

Sungguh dia tidak habis pikir bagaimana si gadis itu dan profesor memiliki hubungan.

"Yang, tuh cewek sekelas sama kita?"

"Siapa?"

"Itu yang tadi sama profesor Kim. Si cewek pembawa celaka."

"Isshh! Renjun mulutnya suka nggak diatur deh! Jangan sembarangan bilang gitu ke orang." tegur Yangyang meski ekspresinya merengut lucu.

"Jadi sekelas nggak?"

"Hm? Nggak kok, dia anak seni musik. Kenapa?"

"Kok dikelas kita? Ikutan ngelukis tadi?" tuntut Renjun yang entah kenapa ingin tahu.

"Dia biasa gitu sih kalau pas ada kelas di outdoor. Diajakin profesor Kim sih kayaknya, kan mereka deket."

"Oh..." Renjun diam, ternyata bener ya disini hubungan macem mereka udah biasa bahkan mahasiswa lain sampe tahu gini-batin Renjun.

"Mau makan diluar apa di kafetaria? Abis makan gue mau pergi sama sodara gue, mau ikut?" tawar Renjun melirik Yangyang disampingnya.

"Makan di kafetaria aja. Gue ada janji sama Taeyong dan Minghao, kapan-kapan deh gue ikut."

"Iya deh."

Keduanya berjalan menuju kafetaria untuk segera mengisi perut mereka yang kelaparan.

.
.
.
.

Jaemin duduk di studionya bersama Jeno dan Lucas. Mereka sudah selesai kelas sejak tadi, dan Jaemin sedang menunggu Renjun karena mereka berjanji untuk pergi sore ini.

Jeno dan Lucas sedang mabar game di sofa, kalau sudah begitu mereka tidak bisa diganggu. Biasanya Jaemin akan bergabung bersama Hwiyoung tapi kali ini dia lebih memilih sibuk mengedit foto-foto hasil jepretannya di pc nya.

"Kalian nggak pulang?" tanyanya tanpa menoleh pada kedua temannya.

Keduanya masih fokus menatap layar ponsel masing-masing.

"Anjiirrr!! Kena tembak!" teriak Lucas heboh.

"Bego! Lo jangan disitu!" tukas Jeno.

Jaemin yang merasa pertanyaannya tidak di dengar oleh dua orang di sampingnya hanya menghela napas.

"Kacangin aja gue."

"Eh, apa Jaem?" tanya Jeno tanpa mengalihkan fokusnya.

"Nggak pulang?"

"Bentar lagi, nanggung." jawab Jeno. "Lo duluan aja nggak apa-apa. Kita bentar lagi pulang kok."

Disaat yang sama sebuah notìfikasi muncul di ponsel Jaemin.

Dari Renjun.

Jaemin segera mematikan pc nya, meraih tasnya dan beranjak dari duduknya. Sekilas Jeno melirik ke arahnya.

"Mau pulang dulu?" tanya Jeno menatapnya sekilas.

"Iya, gue duluan soalnya mau pergi sama Renjun. Sampai ketemu besok ya!" Jaemin tersenyum memandang kedua temannya yang masih selonjoran di sofa, bersiap mau pergi.

"Adik lo? Tumben?" Jeno bangkit dari duduk selonjorannya dan kini menatap Jaemin.

"Woiiii! Fokus Jenooooo! Diserang nihhh, aahh anjirr gue hampir kena!" teriak Lucas yang masih dengan kehebohannya main game. "Hati-hati pulangnya Jaem, kayaknya mau hujan."

Jaemin tersenyum kecil pada Lucas, temennya ini meski bobrok tapi dia perhatian.

"Mau kemana?" tanya Jeno yang kini atensinya berpindah dari ponsel ke Jaemin.

"Belom tahu soalnya Injuun bilangnya cuma mau jalan aja sama gue. Udah gue cabut dulu ya Jen, Luc!"

Kemudian Jaemin berlalu meninggalkan kedua sahabatnya yang kini sudah beda atensi.
Jeno memandang kepergian Jaemin dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Mampussss! Tuh kan kalah!!!" kesal Lucas, "Lo sih Jen! Nggak fokus jadinya kalah kan kita!"

Jeno hanya menatap Lucas tanpa berkata apa-apa, kemudian dia menyambar tasnya diatas meja.

"Luc gue balik dulu ya!"

"Lah napa? Masih satu pertandingan lagi Jen!"

"Gue ada urusan mendadak, bye!"

Jeno bergegas keluar studio meninggalkan Lucas yang masih terbengong bengong dan lebih memilih kembali main game sendirian.

.
.
.
.

"Lama!"

Itu yang dikatakan Renjun saat melihat kakaknya muncul di parkiran.

"Yakan jauh jalannya Ren, nggak sabar banget deh." goda Jaemin yang merasa gemes melihat Renjun cemberut.

"Mau kemana?"

"Terserah."

"Kok terserah? Kamu mau kemana?"

"Ya gue kan nggak tau ada apa aja di Seoul. Lo tunjukin deh sama gue tempat yang bisa buat nyari inspirasi. No clubbing or pub, okay?"

Jaemin tertawa mendengar ucapan adiknya. Lucu banget sih, emang dia seberani itu ke tempat-tempat begitu? Yang ada dia akan dibunuh papanya.

"Iya iyaaa~ kamu aman sama aku. Ini kita semobil apa gimana? Tadi kan berangkat sendiri-sendiri."

"Pulang dulu deh balikin mobil. Yakali mobil ditinggal sini, yang ada ntar keliatan anak kampus."

Keduanya masuk mobil masing-masing dan keluar dari area kampus.
Setelah sampai dirumah mereka memutuskan naik mobil Renjun.

"Eh, Jaem. Disini tempat beli alat-alat lukis yang lengkap dimana?"

"Oh, ada sih tempat yang lengkap. Biasanya gue nemenin Jeno kesana."

"Jeno suka ngelukis?" alis Renjun mengernyit mendengar hal yang tidak biasa dari sahabat Jaemin yang ngeselin itu.

"Bukan, adiknya yang suka ngelukis. Dia kan sayang banget sama adiknya makanya tiap adiknya minta ini itu pasti dibeliin."

Renjun hanya ber'oh' kecil kendengar penjelasan Jaemin yang sebenarnya nggak perlu.

Sesampainya di tempat yang dimaksud Renjun langsung kalap jalan kemana-mana saking excitednya dia liat semua peralatan yang dia pengen. Sampai lupa kalau dia sedang bersama sang kakak.

Jaemin yang baru kali ini melihat tingkah Renjun yang seperti itu sampai lari larian dari rak satu ke rak lain hanya terperangah dan kemudian tersenyum.

Ini hal baru juga baginya.
Karena selama ini yang dilihatnya hanyalah Renjun yang judes, galak, keras kepala, ngeselin, dan kadang sedikit manja. Sementara sisi Renjun yang seperti ini belum pernah dilihatnya.

Jadi Jaemin membiarkan adiknya itu menikmati hari ini, mengambil hampir semua peralatan yang ada di rak dengan senyum yang terus tersungging di bibirnya.

"Bawain, tangan gue nggak muat." Renjun mengulurkan beberapa jenis kuas beserta cat ke pelukan Jaemin sementara di tangannya sendiri sudah penuh dengan peralatan lainnya.

"Nggak kebanyakan?"

"Nggak, gue perlu semua soalnya disini kan sama sekali belum ada." jawab Renjun kembali meneruskan langkahnya menuju rak lain.
Jaemin hanya bisa geleng geleng kepala meskipun dia sendiri tidak keberatan jika Renjun membeli seluruh tokonya.

Jaemin memilih duduk di sebuah bangku di dekat salah satu rak, keranjang belanjaan yang dibawanya diletakkan di sampingnya.
Lagi dia tersenyum memikirkan betapa dia sudah lama ingin memiliki kegiatan seperti ini dengan Renjun.

Selama ini jika dia berkunjung ke London, Renjun tidak akan mengajaknya pergi kemana mana kecuali ditemani ibu mereka atau om Jaehyun. Renjun lebih sering menghabiskan waktu di rumah atau bersama Mark.

Iya Mark, sahabat Renjun yang membuat Jaemin merasa cemburu. Karena dibanding dengannya Renjun lebih memilih bersama Mark dan Jaemin merasa tidak suka.

Sebagai kakak, dia ingin Renjun bergantung padanya, dekat dengannya, akrab dengannya, dan mungkin bermanja padanya. Tapi Renjun tidak pernah melakukan itu, dia memilih Mark sebagai seseorang yang dipercayainya.

Dan Jaemin merasakan itu selama ini, meski dia tidak pernah mengatakannya pada siapapun.
Tapi kini kesempatan itu datang sekarang, Mark tidak ada disini dan pelan pelan Jaemin ingin Renjun bergantung padanya.

Sementara itu disisi lain lorong Renjun tampak sangat senang dengan sekeranjang penuh alat lukis, buku, pensil, oil pastel, cat warna, kuas dan masih banyak yang lainnya.

Dia sedang berdiri disamping rak ketika sebuah sapaan menyapa telinganya.

"Renjun...?! Itu kamu ya?"

Renjun menoleh dan mendapati seseorang yang sama sekali tidak di duganya ada disini.

"Ngapain lo disini?"

Gadis itu tersenyum dengan mata sipitnya, "Aku beli cat lukis." jawabnya masih dengan senyum kemudian menatap tangan Renjun yang menenteng keranjang penuh belanjaan.

"Wah! Serius kamu belanja sebanyak ini? Buat siapa?" tanya gadis itu.

"Buat gue sendiri, kenapa? Gue butuh semuanya sih soalnya gue nggak bawa yang lama." jelas Renjun yang tanpa sadar dan entah kenapa menjelaskan alasannya berbelanja sebanyak ini.

"Kamu lebih manusiawi kalau nggak galak ya." ucap gadis itu sembari meringis menatap Renjun.

Menyadari komentar gadis di hadapannya Renjun segera melempar pandangannya kearah lain. Karena suasana hatinya sangat baik sekarang sepertinya dia lupa berhadapan dengan siapa. Si gadis pembawa sial.

Damn.

"Nggak usah sok menilai gue deh, nggak kenal juga." ucap Renjun kembali memasang mode jutek yang anehnya gadis itu masih tersenyum menatapnya.

"Lucu deh kamu Ren, sekarang galaknya udah nggak nyeremin."

"Maksud lo apa?"

"Kamu ternyata nggak segalak first impression-nya ya... hehe."

Renjun merasakan wajahnya memanas tanpa sadar mengerucutkan bibir dan menggembungkan pipinya. Dia kesal.

"Diem lo, nggak usah ngajak gue bicara. Udah gue pergi duluan."

"Iihh, tunggu!"

Gadis itu menjajari langkah Renjun yang beranjak pergi.

"Apasih lo! Udah sana nggak usah ikutin gue!" sungut Renjun yang entah kenapa masih merasakan wajahnya memanas.

"Ihh, kok gitu. Kan kita udah temenan jadi nggak apa-apa kan?"

"Kapan gue sama lo temenan?"

"Kok Ren lupa sih, waktu di rumah sakit kan kita udah temenan. Orang yang baik dan nolongin aku adalah temen." jelas gadis itu panjang lebar tanpa peduli dengan ekspresi Renjun di sampingnya.

"Temen lo banyak dong? Secara lo orang yang suka banget bikin celaka so, otomatis banyak yang nolongin dan semuanya jadi temen lo."

Gadis itu berhenti sejenak menoleh menatap Renjun, kemudian mencebik kecil. "Nggak gitu Renjuunn, nggak semua orang sembarangan bisa jadi temen aku tahu."

"Trus kenapa gue harus jadi temen lo? Mendingan nggak usah deh."

"Karena aku mau temenan sama kamu." jawab gadis itu lagi dengan polosnya.

Dan kali ini Renjun benar-benar menatap gadis disampingnya dengan tatapan tidak percaya. Telinganya tidak salah dengar kan? Kenapa juga gadis ini mau berteman dengannya?

"Lo tuh—"

"Bentar-bentar, kakak aku telepon nih! Iya kak... aku masih di toko kok, bentar lagi udahan. Tungguin!"

Gadis itu kembali menatap Renjun, "Udahan dulu ngobrolnya Ren, kakak aku udah nungguin ntar dia marah kelamaan nunggu. Bye Renjun!"

Kemudian gadis itu berlari meninggalkan Renjun yang masih diam atau lebih tepatnya tercengang.
Gadis itu benar-benar diluar kebiasaan para gadis pada umumnya.

"Ren? Udahan yuk..."

Suara Jaemin dari belakangnya membuat Renjun tersadar dan menoleh menatap sang kakak.

"Oh—iya, kita pulang sekarang. Gue udah selesai kok." lanjutnya kemudian berjalan menghampiri Jaemin.

Keduanya berjalan menuju kasir meski kepala Renjun celingukan kesana kemari ke seluruh penjuru toko.

"Kenapa? Masih ada yang kamu mau beli?" tanya Jaemin yang melihat adiknya itu seperti mencari sesuatu.

"Nggak kok, udahan dulu."

Renjun kembali fokus pada barang belanjaannya yang ternyata sangat banyak. Dia mengeluarkan kartunya untuk membayar namun Jaemin menahannya.

"Pakai ini aja." Jaemin mengulurkan black card pada kasir. "Ini dari papa kok tadi di kasih ke aku. Katanya suruh pakai untuk beli apapun yang kamu mau." ucapnya yang membuat sang adik mengerjap.

"Beneran dari Dad?"

"Iya." Jaemin mengambil kembali black card-nya setelah pembayaran selesai. Kemudian membantu sang adik membawa enam kantong belanjaan super besar.

"Mau kemana lagi?"

"Em—pulang deh, capek gue. Eh tapi makan dulu deh, laperr."

"Iya. Duluan ke mobil deh biar aku yang bawain belanjaannya."

Menuruti sang kakak, Renjun pergi lebih dulu ke tempat parkir mobil sementara Jaemin menyelesaikan transaksi dan membawa belanjaan.

Meski sedikit kesusahan dengan banyak kantong belanja di tangannya, Jaemin masih menyunggingkan seulas senyum tipis melihat adiknya.

"Jaemin!"

Mengikuti arah suara, Jaemin menoleh dan mendapati Jeno bersama adiknya dari arah berlawanan.

"Jeno! Eh, sama Dae Hae juga!"

"Kak Jaemin!"

"Lo belanja segini banyak buat apa?" tanya Jeno yang menatap 4 kantong belanjaan di tangan Jaemin. "Lo bilang mau pergi sama adik lo? Mana dia?"

"Oh, iya dia udah duluan ke mobil."

"Loh, kak Jaemin punya adik? Kok aku nggak pernah tahu?" kali ini Dae Hae yang bertanya.

"Iya, aku punya adik. Cuma baru pindah soalnya selama ini tinggal sama bunda di London."

"Oh... adik kak Jaemin suka melukis juga? Sama dong kayak aku, kenalin dong kakkkk!" Dae Hae terlihat antusias kini menatap Jaemin dengan ringisannya yang lucu. Sementara yang ditatap entah kenapa tergagap diam.

"Dae Hae apaan sih? Jangan gangguin Jaemin lagian adiknya juga beda banget kepribadiannya sama nih anak." ujar Jeno yang mengedikkan dagunya ke arah Jaemin lalu menarik lengan adiknya yang kelewat antusias.

"Lain kali aja ya aku kenalinnya, dia udah nunggu di mobil soalnya."

"Yahhh, padahal aku pengen tahu."

"Ngapain sih kamu kepo?" sahut Jeno kesal kemudian menatap Jaemin. "Lagian Jaem, adik lo udah nunggu di mobil sementara lo yang bawain belanjaannya?"

"Nggak, ini tadi emang gue yang mau. Nggak apa-apa kok Jen."

"Bener-bener ya adik lo tuh."

"Jenoo, ini aku yang mau kok."

"Kakak apaan sih? Nggak apa-apa kan kak Jaemin bawain belanjaan adiknya. Bukannya kakak juga sering gitu sama aku? Suka bawain barang-barang aku juga."

"Itu beda lagi kan, bawel."

"Sama ajaa!"

Jaemin tersenyum melihat perdebatan kakak-adik di depannya. Selalu saja begitu sejak dulu, Dae Hae yang bawel dan Jeno yang keras kepala. Tapi Jeno sebatu apapun pendiriannya pasti luluh juga dengan semua permintaan dan rengekan adiknya.

Mungkin sama sepertinya.

"Jaem, lama banget sih! Bentar lagi kayaknya mau hujan..."

Suara Renjun yang tiba-tiba datang membuat ketiganya menoleh.
Ketiganya memiliki ekspresi yang berbeda saat melihat kedatangan Renjun, begitu pula dengan Renjun yang seketika menghentikan langkahnya.

"Renjunnn!"

"Lo?! Kalian—"

"Kamu—"

Keempatnya mengucapkan kalimat yang berbeda secara bersamaan dengan ekspresi terkejut.

"Ah, maaf Ren kelamaan soalnya tiba-tiba ketemu Jeno sama adiknya."

Mata Renjun berputar cepat menatap Jaemin sebelum kemudian menatap Jeno dan gadis di sebelahnya.

What the fuck?!

Gue nggak salah denger kan?
Adik Jeno?!
Si gadis pembawa sial ini adiknya Jeno?!

Renjun menutup mulutnya yang telah sepersekian detik menganga setelah mendengar ucapan Jaemin. Dia masih belum bisa mengatakan apapun dan hanya diam sampai akhirnya Jaemin berjalan mendekatinya.

"Kamu udah pasti tahu Jeno kan, kenalin itu adiknya Lee Dae Hae." ucap Jaemin yang entah kenapa kali ini terdengar pelan dan ragu.

"Loh?? Renjun adiknya kak Jaemin?!"

"Iya, Dae Hae."

"Tunggu. Kok kamu kenal dia?" kali ini Jeno bertanya dengan tatapan menuntut pada adiknya yang tanpa diketahuinya kenal dengan Renjun.

"Dia yang nolongin aku pas jatuh kemarin kak." ucapnya pelan —dan lagi aku sering bikin dia kena celaka tanpa sengaja—batin Dae Hae.

Dan seketika mata Jeno berputar ke arah Renjun, menghujamnya dengan tatapan tidak suka kemudian menatap Jaemin lalu kembali ke sang adik.

"Kita pulang sekarang."

"Loh? Kakakkk, iihh—"

"Mau ujan jadi buruan pulang."

Dan Jeno langsung menarik lengan sang adik pergi tanpa bicara lagi pada Jaemin dan Renjun.

Jaemin menghela napas panjang,  kepalanya tiba-tiba pusing dengan kejadian barusan. Dia kemudian menatap Renjun yang masih berdiri diam.

"Ren ayo, katanya udah laper. Keburu hujan turun juga."

Dan tanpa kata Renjun mengikuti langkah Jaemin menuju mobil sementara matanya masih menatap arah Jeno dan gadis pembawa sial itu pergi.

Dunia itu sempit ya?
Kenapa dari sekian banyak orang harus orang-orang di sekitarnya juga?
Kenapa circle nya hanya berputar disana?

.
.
.

Bersambung.

Jadi ini fakta lainnya yang udah ketahuan...

Lee Dae Hae & Lee Jeno
Kakak beradik yang level kiyowonya akan saingan sama Jaemren ^^

Credit picture from pinterest.

Jadi akan ada dua hubungan family disini yang aku munculin.
Jaemren sama Jeno-DaeHae, dan kedepannya mereka berempat akan memiliki hubungan yang mmmm....
Pengennya gimana?

Ehehehe... tungguin aja di chapter chapter selanjutnya seiring bertambahnya cast lain yang bakal muncul satu persatu.

Makasih untuk yang masih membaca! Love you so much yeorobun ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro