14. Cemburu (Part 1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku selalu meyakinkan diri bahwa apa yang kumiliki adalah sempurna.

Kamu, Bunda dan Papa. Tidak pernah sekalipun aku meragukan cinta kalian.

Hingga akhirnya kulihat kembali bahwa yang kurasakan tidak sama.

Cinta itu memang berbeda.

Dan aku cemburu padamu.

_Jaemin_

***

Jaemin berlari tergesa turun dari mobilnya menuju rumah.
Chat dari papa-nya tadi cukup untuk membuatnya segera pulang seusai kelas.

"Paaaa!"

Jaemin mencari keberadaan papa-nya tapi tidak ada tanda-tanda keberadaannya.

"Paaa! Papa udah pulang kan? Paaa!"

"Sayang, kenapa teriak-teriak gitu sih? Nggak sopan ah, panggil papa sambil teriak."

Hyuri berjalan menuruni tangga dari lantai dua, seulas senyum tergambar di bibirnya menatap anak lelakinya yang kini diam dengan mata terbelalak.

"Bunda!?"

"Hai sayang, kangen nih Bunda sama kamu."

"Ini beneran Bunda? Aku nggak lagi halusinasi kan?"

"Coba sini peluk biar tahu ini Bunda apa bukan." Hyuri berhenti di hadapan putranya itu merentangkan tangan.

Jaemin sontak melemparkan dirinya dalam pelukan Bundanya, memeluk erat.

"Bundaaaaaa~ ini beneran? Jaemin kangen!"

Hyuri tersenyum mengelus punggung putranya, "Bunda juga kangen."

"Kok Bunda tiba-tiba disini? Papa nggak ada bilang apa-apa tadi."

Jaemin melepaskan pelukan dan menatap Bundanya, tidak menyangka dengan kehadiran Bundanya yang tiba-tiba tanpa pemberitahuan.

"Iya, Bunda buru-buru kesini karena adek kamu sakit kan?"

"Ren sakit? Papa nggak bilang apa-apa juga sama aku, terus sekarang Ren dimana? Papa bilang Ren udah pulang, kok sakit?"

"Jaemin, satu-satu kalau nanya. Bunda bingung mau jawab gimana."

"Iya maaf Bunda."

"Duh gemesnya anak Bunda." Hyuri mengusak rambut Jaemin gemas membuat putranya itu merengut kesal karena pertanyaannya yang tidak kunjung dijawab.

"Papa mana Bundaaa? Jaemin udah nanya dari tadi loh."

Hyuri tersenyum lalu menggandeng tangan putranya itu.

"Papa ada di atas sedang menemani adek kamu dikamarnya."

"Kesana yuk Bun!"

"Sayang, Bunda ngomong sebentar boleh?"

Jaemin yang sudah akan melangkahkan kaki segera berhenti karena tangannya digenggam oleh sang Bunda.

"Kenapa Bunda, mau ngomong apa sama aku?"

Entah kenapa tapi Jaemin melihat sekelebat kekhawatiran pada ekspresi sang Bunda namun segera terganti oleh seulas senyum lembut menghiasi bibir Bundanya.

"Sayang, kamu nanti jangan menanyakan atau menyebut apapun tentang acara perusahaan kenarin pada Ren ya?"

"Ah- itu, iya Bunda. Jaemin nggak akan bilang apa-apa sama Ren."

Bingung.

Itu yang dirasakan Jaemin mendengar permintaan Bundanya tapi dia tidak mau berpikiran macam-macam dulu.
Dia ingin menemui Ren yang membuatnya kepikiran dua hari ini, jadi ketika Bundanya itu berterimakasih dan tersenyum Jaemin langsung menarik Bundanya ke atas menuju kamar Ren.

Dilihatnya Ren sedang duduk di ranjangnya bersama papa mereka.

"Injuuuunnn!"

Jaemin melangkahkan kakinya tergesa dan menubrukkan diri pada tubuh adeknya itu.

"Aw! Sakitttt! Jaemin!"

Tentu saja Renjun tumbang terbaring karena terjangan Jaemin.
Sementara papa dan mama mereka hanya tertawa melihat tingkah keduanya.

"Jaemin lepas! Gue nggak bisa napas!"

"Nggak mau. Kangen dua hari nggak ketemu."

"Dih! Pergi nggak lo!? Sesek iniiii! Momm, Dadd! Jaemin nih!"

"Jaemin adeknya jangan dipeluk gitu, kasian sesak napas." tegur Kyuhyun yang akhirnya memilih bangkit dari duduknya di tepi ranjang dan berdiri di samping Hyuri. Sedikit khawatir terkena tendangan keduanya.

"Lepasin adeknya dulu, Sayang. Kasian tuh."

Renjun mendorong tubuh Jaemin saat kakaknya itu melonggarkan pelukannya. Tapi Jaemin masih bisa menangkap lengannya dan berakhir dengan tendangan Renjun pada sang kakak.

"Udah nanti lagi, adeknya masih pusing itu." tegur sang papa lagi.

Jaemin bangun dari posisinya dan duduk menghadap Renjun.

Takk!

"Aw!"

"Jangan berani-beraninya kamu bikin aku khawatir lagi. Jangan pergi-pergi dari rumah dan ninggalin aku sendirian. Ngerti?" omel Jaemin setelah satu jitakan dilepaskannya di kepala sang adik namun berakhir dengan elusan di kepala.

"Bawel. Biasanya juga lo sendiri. Manja banget ada gue sekarang." sungut Renjun yang kemudian beranjak memeluk sang mama.

"Dih, kamu ngapain manja sama Bunda?"

"Terserah gue, sirik lo."

"Pa, kok nggak bilang ke Jaemin kalau Bunda datang?" kali ini Jaemin melayangkan protes pada papa-nya yang sejak tadi tersenyum melihat mereka.

"Yakan kamu cuma nanya keadaan Renjun, ya papa jawab itu aja."

"Papa nggak asik deh."

"Sekalian surprise-in kamu kan?"

"Hum, iya sih."

"Kalau gitu kita semua makan siang yuk!" ajak Hyuri yang membuat ketiga laki-laki dihadapannya itu kini tersenyum bersamaan.

"Iyaa!"

.
.
.

Jaemin menatap gambaran yang ada di depan matanya sekarang.

Bunda, Papa dan Renjun.

Mereka sedang berbincang di ruang tengah, membahas ini itu, tertawa, dan yah bercengkerama khas keluarga.

Hal yang sudah sangat lama tidak dia rasakan sejak terakhir saat kecil.

Keluarganya memang tidak utuh.
Tidak tinggal bersama.

Tapi bisa tetap dalam kehangatan seperti ini adalah hal terbaik yang bisa didapatkannya.

"Bunda akan disini dalam waktu lama kan?" tanya Jaemin yang masih duduk sambil melihat film yang mereka putar saat itu.

"Hm, tidak tahu juga. Bunda kemarin kan buru-buru kesini karena adek kamu nih."

"Jadi kalau Ren nggak sakit, Mom nggak akan kesini?" protes Renjun cemberut.

"Bukan gitu Sayang, ih gemes kalau liat kamu gini."

Renjun yang memang rebahan disofa dengan kepala di pangkuan sang mama, terkikik geli saat Hyuri mencubit pelan pinggangnya.

"Mom, I'm not a kid anymore. Geli aduhh!"

"You always be my kid, sweetheart."

Keduanya saling terkikik tanpa menyadari seseorang kehilangan fokusnya.

Jaemin.

Jujur dia tidak ingin terlalu memikirkannya namun pikiran itu kadang muncul dan mengacaukannya.

Sejak dulu sebenarnya Jaemin merasakan sebuah perbedaan, bukan-bukan perasaan iri ya, namun sedikit perbedaan sikap Bundanya.

Dulu sekali Jaemin akan berpikir perbedaan itu disebabkan karena posisinya sebagai kakak yang sudah pasti dianggap mandiri saat adiknya lahir. Wajar jika sang Bunda memberikan perhatian lebih pada adiknya.

Jangan berpikir Jaemin diabaikan.

Tidak.

Jaemin tidak pernah diabaikan oleh sang Bunda hanya saja perhatian yang diterimanya terasa berbeda.

Bundanya selalu adil dalam banyak hal tanpa membedakan, apa yang diberikan untuk Jaemin juga diberikan untuk Renjun begitu pula sebaliknya.

Selalu sama.

Tapi Jaemin menyadari pada akhirnya bahwa semuanya berbeda. Entah kenapa Jaemin merasa bahwa Renjun begitu berharga melebihi segalanya bagi Bundanya.

Tatapan sang Bundanya memang selalu penuh kasih dan cinta untuknya, juga senyum dan kata-kata hangat yang selalu didengarnya.

Tapi saat Bundanya bersama Ren, semua afeksi yang didapatkannya seolah menjadi berkali-kali lipat.

Senyum bundanya lebih cerah, tatapan itu lebih hangat, begitu juga gestur-gestur kecil yang tanpa sengaja tertangkap oleh Jaemin.

Jaemin merasa bahwa Bundanya milik Renjun seutuhnya.

Bukan miliknya.

Entahlah itu mungkin hanya perasaan Jaemin saja.

Seperti saat ini melihat mereka saling tertawa membuat Jaemin ikut tersenyum kecil.
Pahit rasanya.

Tapi sekali lagi,
He try to ignore his feeling.

Just overthinking.

Bundanya tidak pilih kasih padanya.

Dan Jaemin mengulang kalimat ini berkali kali dalam kepalanya.

"Sayang, sini deh! Nggak mau ikutan Bunda ngerjain adek kamu nih?"

Tuh kan, dia tidak pernah ditinggalkan begitu saja.

"Mom, nggak adil kalo keroyokan sama Jaemin! Dad-help me, aaaaargh!"

Jaemin yang kini duduk di samping Bundanya memulai aksi tangan nakalnya menggelitik sang adik.

"Dad! Help me!"

Renjun meronta berusaha turun dari sofa namun tidak berhasil.

Sementara Kyuhyun hanya tersenyum melihat mantan istri dan kedua anaknya. Hal yang tidak pernah dipikirkannya akan terjadi.

Kyuhyun tergelak saat akhirnya Renjun terjatuh dari sofa dan meringis kesakitan.

"Sini sini papa bantuin." Masih dengan senyum di bibirnya, Kyuhyun mengulurkan tangannya dan disambut oleh raut cemberut Renjun.

Hal yang membuat semuanya kembali menyunggingkan senyum jenaka.

.
.
.

Jaemin terbangun pagi-pagi sekali karena kehausan dan keluar kamarnya bermaksud mengambil air di dapur.

Namun langkah kakinya terhenti saat dia melewati kamar Renjun.

Pintu yang tidak tertutup sempurna itu menyisakan sedikit celah membuat Jaemin mengarahkan pandangannya kesana.

Tampak sang Bunda yang duduk bersandar pada kepala ranjang dengan Renjun yang berbaring memeluk sang Bunda.

Jaemin mengerjap berusaha menetralkan dirinya yang baru bangun tidur, tapi tetap saja rasa tidak nyaman itu menyeruak dalam dirinya.

Menyandarkan diri pada dinding, Jaemin menarik napasnya pelan.

Kenapa sih aku harus begini?
Kenapa harus iri sama Renjun?

Dia memang anak manja kan?
Wajar sih ya

Tapi kenapa sakit ya melihatnya?
Kenapa Bunda begitu menyayangi Ren sampai-sampai rela terbang dari London demi Ren yang sakit.

Demi Ren.

Hhh... please, ayolah Jaemin.
Ini semua hanya perasaanmu sendiri.

Jaemin masih terus bermonolog dalam hati ketika suara sang bunda terdengar dari dalam.

"Jangan sakit lagi ya? Mom rasanya kehilangan tenaga begitu mendengar kamu sakit, you make me so worried sweetheart."

Ucap Hyuri sembari mengelus surai coklat Renjun yang sejak semalam enggan melepaskan pelukannya dari sang mama.

"I'll promise, and Mom... I'm so sorry for ruined everything."

"No, you didn't. Kamu tidak pernah mengacaukan apapun dan itu bukan salah kamu Sayang. Ini salah Mom karena tidak bisa menjaga kamu dengan baik. Maaf."

Terlihat keduanya mengeratkan pelukan sementara Hyuri mengecup pelan kepala Ren.

"Kamu tahu kan, you're my everything Ren. Mom rela menukarkan segalanya dalam hidup hanya untuk memastikan kamu baik-baik saja dan selalu bahagia. Jadi Mommy harap kamu tidak akan mengalami sakit itu lagi."

"Maaf ya, kamu harus mengalami semuanya sendirian karena kesalahan Mommy."

"Mom, stop it. Ren nggak mau denger Mom bicara seperti itu lagi. Aku nggak apa apa kok."

"Kamu harus ingat Sayang, that I'll never leave you alone. Never."

"Janji ya Mom?"

"I'll promise."

Keduanya kembali saling memeluk. Renjun mengeratkan pelukan dan menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher sang mama sementara sang mama hanya tersenyum dan mengusap kepala Renjun penuh kasih sayang.

Tanpa mereka tahu ada seseorang yang menatap mereka dari celah pintu dengan hati yang patah.

Jaemin menyandarkan punggungnya pada tembok dan mengeratkan genggaman tangannya berusaha menetralkan napasnya, menghalau sesak yang menyeruak.

That's it.

Perasaan yang selama ini selalu Jaemin abaikan dan coba untuk hilangkan dan ternyata malah seperti bom waktu untuknya.

Melihat dan mendengar sendiri.
Rasanya sakit.

Selama ini Jaemin menolak perasaan ini karena intensitas mereka untuk bertemu cukup jarang.

Perlu waktu berbulan-bulan setiap kali dia mengunjungi mereka.
Dia harus menunggu waktu luang atau liburan untuk menemui Bunda dan adiknya hingga perasaan ini hilang dengan sendirinya dan berganti dengan perasaan bahagia namun sekarang saat mereka begitu dekat dengannya, Jaemin sadar perasaan itu masih ada didasar hatinya.

Perlahan Jaemin melangkahkan kakinya kembali ke kamar, rasa haus yang tadinya dirasa kini entah kemana berganti dengan rasa sesak di dadanya.

Kenapa ya Bunda sesayang itu pada Ren?

Bunda sayang sama aku tapi itu beda.

Ren berarti 100x lipat dariku.

Apa bedanya aku sama Ren...?

Kita berdua sama-sama anak Bunda dan bahkan aku punya papa sementara Ren-

Kenapa sih aku ngerasa gini?

I hate myself.

Jaemin bodoh, buat apa cemburu sama adik sendiri?

Tapi rasanya sakit...

Aku nggak mungkin bicara ke papa

Aku nggak bisa protes ke Bunda

Aku juga nggak bisa marah ke Ren

Aku harus gimana?

Jaemin memejamkan matanya, dia menarik selimutnya kembali dan berbaring.

Dia tidak bisa menahan semuanya sendirian. Diraihnya ponsel di nakas samping tempat tidurnya. Menghubungi seseorang yang bisa jadi sandaran dan tempatnya jujur berkeluh kesah.

Lee Jeno.

Baru saja Jaemin akan mengetikkan pesan pada Jeno, pintu kamarnya diketuk dan kemudian terbuka.

Jaemin segera mematikan ponselnya dan berpura-pura masih tidur.

"Good morning, sayangnya Bunda. Belum bangun ya?"

Hyuri berjalan menuju tempat tidur Jaemin dan mendudukkan dirinya dipinggir ranjang.
Dielusnya pelan surai hitam sang putra lalu menarik sedikit selimut Jaemin agar sang putra bangun.

"Hari ini kamu ada kelas pagi kan, bangun dulu yuk sayang."

Jaemin membuka matanya perlahan seolah maaih mengantuk lalu tersenyum menatap sang bunda.

"Bunda, hari ini Jaemin boleh minta anter ke kampus nggak?"

"Kenapa, kamu sakit?" tangan Hyuri refleks menyentuh dahi Jaemin.

"Nggak sakit kok Bunda."

"Terus?"

"Jaemin pengen dianterin Bunda, boleh?"

Hyuri mengusak rambut Jaemin gemas, tersenyum lalu menangkup pipi Jaemin dengan kedua tangannya.

"Bunda minta maaf sekali sayang, karena bunda harus bertemu uncle Vernon sesegera mungkin. Maaf ya?"

Kalau Ren yang minta pasti Bunda kabulin kan?

Jaemin lo kenapa sih?
Apa yang lo harapkan tiba-tiba begini, nambahin sakit hati yang nggak perlu banget—batinnya.

"Mm, iya ngga apa-apa kok Bunda. Jaemin cuma bercanda aja." jawabnya kemudian tersenyum.

Sedikit sakit rasanya.

"Gimana kalau nanti pulangnya aja Bunda jemput, kamu mau?" tawar sang Bunda.

Jaemin bangun dari posisi tidurnya kemudian maju untuk memeluk sang Bunda, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher sang Bunda.

Merasa bodoh dengan segala overthinking-nya. Merasa bodoh meragukan kasih sayang sang Bunda yang jelas-jelas benar selama ini.
Hanya karena sedikit perbedaan antara dia dan adiknya, Jaemin merasa seperti ini.

"Kenapa Sayang?" tanya Hyuri lembut mengusap punggung Jaemin, "Ada yang  bikin kamu kepikiran ya."

Jaemin menggeleng pelan, merasa menyesal dengan kebodohannya.
Keberadaan sang Bunda disini sekarang harusnya dia syukuri lebih dari apapun.

Setelah selama ini dia hanya bisa berharap menjalani hari-hari biasa bersama sang Bunda seperti ini.
Melihat Bundanya di pagi hari, dibangunkan seperti ini sebelum memulai rutinitas, dan tentu saja berada di rumah yang sama dengan sang Bunda.

"Udah ah magernya, mandi sana. Bunda mau siapin sarapan."

Jaemin melepas pelukannya dan tersenyum menatap Bundanya.

"Bunda, terimakasih ya udah sayang Jaemin."

Hyuri menatap putranya itu heran sebelum akhirnya mengecup kepala Jaemin lembut.

"Iya sayang, Bunda juga sayang kamu. Dan sekarang waktunya kamu beneran harus mandi kalau nggak mau kesiangan."

.
.
.

Jaemin sudah bersiap akan berangkat ketika mobil Jeno memasuki di halaman rumahnya.

"Jeno, ngapain pagi-pagi kesini? Tumben banget lo nggak ngabari gue dulu." gerutu Jaemin menuruni undakan menghampiri Jeno.

Jeno sudah akan membuka mulutnya untuk menjawab sampai pintu penumpang disampingnya terbuka lebih dulu.

"Pagi kak Jaemin."

"Oh, Dae Hae?"

Jaemin cukup terkejut mendapati kedua kakak beradik Lee ini berada dirumahnya.

"Sorry nggak ngabarin, ini karena Dae Hae tiba-tiba maksa minta dianter kesini."

"Aku nggak maksa kakak tuh, kan kakak sendiri yang setuju."

"Kapan aku bilang gitu, kamu ya!" Jeno menggeser tubuhnya ke samping Dae Hae kemudian mencubit pipinya.

"Iihhh, kwakakkk!" protes Dae Hae memegangi tangan Jeno di pipinya.

Jaemin hanya bisa menggeleng dan tersenyum melihat keduanya.

Selalu saja dimanapun mereka bersama pasti terjadi perdebatan seperti ini.

"Ini lo jemput gue buat berangkat bareng apa gimana?" tanya Jaemin yang masih tersenyum.

"Iya gue mau jemput lo sekalian nih," Jeno mengedikkan dagunya ke arah adiknya,"Katanya mau jenguk adek lo."

"Tuh kan jadi lupa niat awalnya, kakak sih."

Dae Hae memutar tubuhnya menghadap Jaemin dan tersenyum.

"Kak, aku mau jenguk Ren, boleh? Kak Jeno nggak bilang sih dari kemaren."

"Oh–iya, tapi udah agak mendingan kok. Masuk aja, yuk Jen masuk sekalian."

"Ntar kita telat."

"Sebentar aja, masih 50 menit sebelum kelas kan."

Jaemin menarik lengan Jeno menyusul Dae Hae yang sudah berjalan lebih dulu. Sampai di ruang depan mereka bertemu Kyuhyun untuk pergi ke kantor.

"Selamat pagi paman Kyuhyun."

"Dae Hae, paman nggak salah lihat kan kamu pagi-pagi begini?"

"Maaf paman kalau Dae Hae mengganggu paginya, tapi Dae Hae cuma sebentar kok. Mau jenguk Ren sebelum kelas pagi." jelas Dae Hae sambil meringis malu-malu.

"Eh, mau ketemu anak bungsunya paman nih? Kirain mau ketemu Jaemin." gurau Kyuhyun yang membuat Jaemin dan Jeno yang baru masuk terdiam.

"Papa apaan sih." protes Jaemin.

"Pagi paman."

"Eh, ada Jeno juga ya. Adek kamu lucu banget Jen, udah lama paman nggak melihat kalian berdua barengan. Kalau mau ketemu Ren langsung ke kamarnya aja ya, ada tante juga kok. Paman harus segera berangkat, sampai nanti anak-anak."

Setelah berpamitan, Kyuhyun bergegas untuk berangkat bekerja.

"Ada nyokap lo?"

"Iya, kemarin baru sampai."

"Kok nggak bilang?"

"Hehe, lupa. Bentar ya gue panggilin Ren." ucap Jaemin sesampainya mereka di depan pintu kamar.

Jaemin mengetuk pintu kemudian masuk lebih dulu.

"Injuuunnnn~"

Ren yang sedang belajar di temani sang Bunda mendongak menatap Jaemin.

"Lo belom berangkat?"

"Tadinya mau berangkat tapi ada yang nyariin kamu tuh."

"Siapa?"

"Jeno sama Dae Hae."

Alis Renjun mengernyit heran, kenapa kakak beradik Lee itu ingin bertemu dengannya.

"Aku suruh masuk ya?"

"Eh—"

Jaemin membuka pintu kamar Ren dan mempersilahkan Jeno dan Dae Hae masuk.

"Hai Ren! Selamat pagi." sapa Dae Hae yang meringis menatap Renjun yang masih diam agak terkejut.

"Oh, h-hai juga. Kok lo tiba-tiba kesini?"

"Aku mau jenguk kamu dong. Kak Jeno nih nggak bilang kalau kamu sakit, padahal dua hari ini aku bolak balik ke kelas nyariin kamu." protes Dae Hae.

"Temennya Ren ya?" sapa Hyuri yang sejak tadi diam mengamati kedatangan anak-anak itu.

"Ah, i-iya tante." Dae Hae yang baru sadar ada ibu Ren dan Jaemin kini menyapa dengan malu.

"Maaf tante, kita datang tiba-tiba." Jeno memberi salam dan menarik tangan sang adik sedikit mundur.

"Nggak apa-apa kok. Tante agak kaget karena Ren punya teman disini." jawab Hyuri tersenyum.

"Mom."

"Iya kan teman kamu selama ini cuma Mark aja. Mommy kaget aja liatnya."

"Kalian teman sekelas?" tanyanya pada Jeno dan Dae Hae.

"Jeno ini temannya Jaemin Mom trus itu adeknya seangkatan sama Ren tapi nggak sejurusan."

"Jeno temen Jaemin—oh, kamu Jeno putranya Donghae?" tanya Hyuri yang tampak kaget lalu berdiri menghampiri Jeno. "Dulu kita pernah ketemu pas kamu kecil, sekarang udah segede ini ya?"

"Iya tante."

"Dan ini adek kamu? Cantiknya mirip Yoona ya."

"Tante kenal mama?"

"Tante Hyuri ini temennya papa sama mama, kamu ihh!" gerutu Jeno pada sang adik.

"Yakan aku nggak tahu, kak."

Hyuri tertawa melihat tingkah adik-kakak Lee ini, kemudian pandangannya terruju pada Jaemin yang sejak tadi diam.

"Anak Bunda kenapa, kok diem dari tadi?"

"Nggak kok Bunda."

"Yauda, Bunda turun dulu. Kalian ngobrol dulu aja." pamit Hyuri kemudian berlalu meninggalkan kamar.

"Kak Jaemin, mamanya cantik ya? Dae Hae baru ketemu langsung suka." ujar pada Jaemin.

"Hehe, makasih. Anaknya aja ganteng-ganteng gini kan." jawab Jaemin meringis dan mendapat kerlingan dari semua orang.

"Ren sakit apa? Kok nggak bilang-bilang, aku tanya Yangyang juga nggak tahu."

"Gue cuma sedikit demam kok, udah baikan. Besok paling udah masuk kampus lagi."

Dae Hae mendekat kearah Renjun lalu mengulurkan ponselnya.

"Apa?" tanya Renjun heran menatap gadis didepannya itu.

"Tulis nomor kamu, kan aku nggak ada kontak kamu. Biar nanti aku gampang nyariin kamu."

Ketiga anak laki-laki disana menatap Dae Hae terperangah. Terutama Jeno.

"Kenapa harus?" tanya Renjun.

"Karena kamu temen aku."

Renjun ragu, dia tidak pernah berbagi nomor dengan orang lain. Kontak di ponselnya hanya beberapa orang.
Tangannya terulur meraih ponsel gadis itu, mengetikkan nomornya cepat lalu mengembalikannya pada gadis itu.

"Udah tuh. Jangan kasih sembarang orang ya."

Dae Hae meringis mendengar ucapan Renjun lalu segera menyimpan nomornya.

"Nih."

Kali ini Renjun menatap binging Jeno yang juga mengulurkan ponsel padanya.

"Tulis nomor lo di ponsel gue, biar gampang ntar gue nyari Dae Hae kalo dia nggak ada."

"Lo kira gue pengasuh adek lo? Nggak."

"Buruan tulis atau gue minta dari Jaemin."

Renjun melirik Jaemin yang sedari tadi hanya diam dan tersenyum.
Tumben dia tidak ikut berisik.

Dengan malas akhirnya Renjun memberikan nomornya pada Jeno juga.

Tak lama ketiganya pamit berangkat ke kampus dan meninggalkan Renjun untuk beristirahat.

Dalam perjalanan ketiganya lebih banyak diam. Jeno fokus menyetir sementara Jaemin diam disampingnya menatap pemandangan dari jendela.

Jeno merasa dan ingin sekali bertanya kenapa Jaemin diam sejak tadi namun di bangku belakang ada Dae Hae.
Jeno hanya melirik sahabatnya itu, mengemudikan mobilnya menuju Skyndia.

.
.
.

"Lo kenapa deh? Gatel mulut gue pengen nanya sejak tadi."

Akhirnya Jeno menyuarakan isi kepalanya pada Jaemin setelah menurunkan Dae Hae turun di depan gedung fakultas musik.

"Apa deh Jen, gue nggak kenapa-kenapa."

"Bohong."

Jaemin tersenyum menghela napasnya pelan kemudian menatap Jeno.

"Renjun tuh mudah disayangi ya Jen."

"Hm, maksud lo?"

"Ya dia anak yang gampang disayang bahkan sama orang yang baru kenal."

"Lo kenapa deh tiba-tiba gini, lo cemburu adek gue begitu ke adek lo?"

Jaemin terkekeh mendengar pertanyaan sahabatnya itu.

"Nggak kok, tapi emang gue sempat merasa seperti itu. Aneh ya gue, rasa sayang gue ke Ren tuh gede banget tapi disaat yang sama gue merasa cemburu dengan semua hal yang ada pada dia. Terlebih gue kadang merasa kecemburuan itu pada kasih sayang Bunda."

Akhirnya apa yang ingin Jaemin katakan pada Jeno lewat chat sebelumnya dikatakannya secara langsung, tentang perasaannya.

Jeno menatap Jaemin diam, entah apa yang ada dipikirannya karena sejurus kemudian tangannya terulur mengusak kepala Jaemin pelan dan menepuk bahunya.

"Lo tuh ya, don't be overthinking. Perasaan lo itu biasa dirasain sama seorang kakak."

Jaemin terdiam, menatap Jeno yang kemudian turun lebih dulu dari mobil berjalan menuju kelas mereka.

"Ah-Jenooooo! Tungguin gue!"

Bersambung.

Ehehehe, halo semuanya! ^^
Maaf sekali baru bisa muncul kembali setelah sekian lama. Huhuhu...

Maaf sekali ya?
Bener-bener maaf karena nggak bermaksud mengabaikan update an tapi emang rl nya lagi hectic sekali, T_T

Semoga kalian masih mau baca ya, :') dan terimakasih untuk kalian yang masih baca....
Huehue... sayang kalian banyak-banyak!

Salam hangat.
Mama-nya Jaemren.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro