18. Oase

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anda adalah orang asing yang terasa dekat.

.
.
.

Sejak kedatangan Erick sebelumnya, kini Renjun jadi sedikit lebih pendiam saat berada di kampus. Meski dia berusaha menutupinya namun teman-temannya terutama sang kakak merasakan perbedaan sikapnya.

Renjun tidak lagi sering berkeliaran di perpustakaan atau galeri kesenian lagi, sesekali dia akan berada ruang lukis dan berada disana dalam waktu yang lama, atau dia akan datang saat kelas dimulai dan segera pergi ketika kelas berakhir.

Bahkan Yangyang merasa kesulitan hanya untuk mengajak Renjun nongkrong di cafetaria bersama yang lain, Renjun akan beralasan cepat pulang.

"Ren, lo kenapa sih? Udah hampir sebulan lo kayaknya nggak mau nongkrong bareng kita lagi deh." keluh Yangyang saat mereka menuju praktik melukis siang itu.

"Bukan gitu, gue agak sibuk aja dirumah. Lain kali aja ya, gue pasti ikut."

"Heleh, dari kemarin lo juga ngomong gitu tapi akhirnya nggak mau ikut. Capek gue ditanyain yang lain nyari lo kemana."

"Iya iya, ntar gue ikut."

Kemudian mereka menuju kelas profesor Kim yang kali ini berada di aula galeri kesenian. Kembali menyibukkan diri dengan melukis seperti ini Renjun merasa sebagian kekhawatirannya menghilang. Karena dia bisa menyalurkan 'perasaannya' melalui goresan goresan kuasnya.

Sungguh kedatangan Erick membuatnya tidak tenang, dia mulai menyukai segala hal disini, teman-temannya, suasana kampus, dan juga kehidupannya. Namun kini bayang-bayang Erick akan menghancurkan segalanya jika kenyataan tentang dirinya terbongkar. Mungkin teman-temannya akan menjauhinya karena statusnya, belum lagi pasti kehidupan Jaemin di kampus akan terpengaruh, dan yang paling utama adalah nama baik papanya. Dia tidak ingin merusak nama dan kehormatan papanya hanya karena memiliki anak tiri sepertinya.

Tapi Erick belum menampakkan dirinya lagi sejak saat itu.

"Ren... Ren..."

Sayup sayup sebuah suara menyadarkannya dari lamunan. Dia menoleh dan mendapati Yangyang sedang menggoyangkan lengannya pelan sembari menatapnya penuh tanya.

"Kenapa?"

"Lo yang kenapa, tuh liat lukisan lo." bisik Yangyang mengedikkan dagunya kearah kanvas Renjun yang kini penuh corak tak berbentuk, bukan abstrak tapi lebih ke berantakan.

Renjun menatapnya terkejut, tidak menyadari tangannya yang bergerak asal dan merusak goresan awal yang harusnya menjadi sebuah karya. Dilihatnya kanvasnya kini tidak berbentuk dan harus menggantinya dengan yang baru. Melihat sebagian besar teman-temannya sudah hampir menyelesaikan tugas mereka, dia menghela napas pasrah. Bagus, kini dia mengacaukan pelajarannya.

"Kim Renjun, bisa tinggal sebentar dan membantuku membawa beberapa lukisan ini?" tanya profesor Kim ketika kelas berakhir.

"Ya profesor, tentu saja."

Dengan berat hati Yangyang meninggalkan Renjun bersama profesor Kim padahal dia ingin memaksa Renjun bertemu yang lainnya.

"Sepertinya ada sesuatu yang mengganggumu hari ini?"

Renjun mendongak menatap profesornya yang kini masih sibuk menata beberapa kuas ke tempatnya.

"Ya, profesor?"

"Kulihat kau terganggu dalam mata kuliahku hari ini. Tidak biasanya begitu."

"Ah, itu... tidak apa-apa profesor, saya baik baik saja."

"Kau tahu, lukisan adalah representasi dari jiwa dan perasaan sang pelukis. Dan sebuah karya tidak bisa berbohong. Itu yang kulihat dari goresan kuasmu hari ini."

Renjun terdiam, menatap punggung sang profesor yang masih sibuk di mejanya. Menghela napasnya pelan Renjun menunduk, apakah dia benar-benar tidak pandai menyembunyikan perasaan hingga orang lain bisa dengan mudah membacanya?

"Apakah anda punya sebuah rahasia profesor?" tanyanya pelan namun dia bisa melihat sesaat sang profesor terhenti dari kegiatannya.

"Tentu setiap orang memilikinya, Ren."

"Ada sebuah rahasia yang ingin saya simpan dalam-dalam, tapi disaat yang sama saya ingin mengatakannya dengan jujur karena rasanya saya tidak bisa menyimpannya."

"Dan kau sudah mengatakannya pada seseorang?"

"Saya tidak menemukan orang yang bisa saya beri kepercayaan itu profesor."

Kini mereka berpindah untuk menyusun cat warna yang berurutan pada sebuah konter box.

"Jadi kau menyimpannya sendirian?"

"Iya."

Profesor Kim menoleh untuk menatap wajah muridnya itu, sedikit merasakan sebersit perasaan halus yang entah kenapa dia rasakan tiap kali dia menatap Renjun.
Perasaan halus seperti sebuah kasih sayang, dia sendiri bingung kenapa dia begini pada seorang anak yang belum satu tahun dikenalnya.

Tanpa sadar tangannya terulur untuk mengelus surai kecoklatan muridnya itu, membuat si pemilik menolehkan kepalanya terkejut.

"Aku tidak tahu apa itu, tapi tidak seharusnya anak muda sepertimu memiliki sebuah rahasia yang membebani."

Renjun terdiam menatap sang profeser, dia tidak mengerti kenapa selalu merasa familiar dengan interaksinya bersama profesor Kim.

"Apakah itu benar-benar terlihat diwajah saya, profesor?" tanyanya membuat sang profesor tertawa kecil.

"Kenapa kau terlihat seperti anak kecil begini? Maaf jika aku terlalu lancang bertanya."

"Tidak apa-apa profesor, terimakasih sudah memperhatikan saya." ucapnya sambil sesekali melirik sang profesor yang kini sibuk kembali pada kanvas- kanvas di sisi ruangan.

Tanpa disadarinya seulas senyum tersungging di bibirnya. Ada perasaan hangat setiap kali dia ada bersama profesor Kim.

"Ah, apa Dae Hae sudah kembali?"

Renjun menoleh, tidak yakin apakah pertanyaan itu ditujukan padanya.

"Apakah dia sudah menemuimu? Dia mengatakan padaku akan pergi ke Amsterdam bersama ibunya untuk urusan keluarga. Anak itu tidak mengatakan kapan akan kembali."

"Kenapa anda bertanya kepada saya profesor, bukankah anda lebih tahu?"

Profesor Kim tertawa kemudian menoleh untuk menatapnya, "Akhir-akhir ini dia sering menceritakan padaku tentangmu. Kupikir hubungan kalian dekat sekarang."

"Tidak! Kami hanya berteman." sanggahnya cepat dan melihat reaksi profesornya. "Apakah anda sedang cemburu profesor?" tanyanya pelan.

"Aku cemburu?" profesor Kim kini terbahak, "Kenapa kau berpikir seperti itu?"

"Itu-bukankah anda dan Dae Hae memiliki hubungan yang cukup dekat?"

"Hubungan apa yang kau maksud nak?" tanya sang profesor masih dengan sisa tawanya.

"Mm-hubungan dekat lebih dari dosen dan muridnya. Maaf! Saya tidak bermaksud lancang."

Mendengar itu tawa profesor Kim semakin kencang membuat Renjun berpikir apakah profesornya menjadi gila karena cemburu berlebihan.

"Kau berpikir seperti itu padaku dan Dae Hae, astaga lucu sekali!" kali ini sang profesor membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan sesuatu yang kemudian diberikannya pada Renjun.

"Ini-"

"Ya itu fotoku dan Dae Hae saat dia berusia 13 tahun. Lalu apakah menurutmu hubunganku dengannya dimulai sejak dia masih bocah ingusan?" tanya sang profesor dengan tawa mengejek, "Aku bukan pria seperti itu Nak."

Renjun terdiam mendengar penuturan sang profesor, 'jadi selama ini dia salah paham sendiri?' kenapa dia sebodoh itu?'

"Dia putri dari sahabatku, dan aku sudah menganggapnya seperti anakku sendiri. Dia begitu dekat padaku dibandingkan kakaknya yang kaku itu. Apakah aku benar-benar terlihat seperti itu saat bersamanya?"

"Maafkan saya profesor! Saya sungguh tidak tahu kebenarannya dan menyimpulkan sendiri. Maafkan saya." ucap Renjun yang membungkuk, merasa bodoh dan malu.

"Hahaha, tidak apa Nak, kau hanya tidak tahu dan aku memakluminya. Tapi apakah itu artinya aku masih tampak muda?" tanya sang profesor setengah berbisik di akhir.

"A-itu, ya anda memang kelihatan masih muda karena itu aku berpikir kalian berdua memiliki hubungan serius." memang benar yang dikatakan Renjun bahwa sang profesor masih tampak sangat muda sehingga sangat masuk akal jika dia memiliki sebuah hubungan dengan mahasiswinya.

"Well, kuanggap itu pujian yang membuatku memaafkanmu."

"Terimakasih profesor."

"Dia anak yang periang, tapi dia tidak memiliki banyak teman karena kakaknya terlalu kaku perihal siapa saja yang menjadi temannya. Karena itu aku senang dia berteman denganmu dan kelihatannya Jeno tidak keberatan."

Apanya yang tidak keberatan?
Dia bahkan selalu menatap tajam setiap bertemu denganku.
Jika bukan karena aku adalah adik Jaemin juga pasti ga bakalan dibolehin jadi temen adeknya-batin Renjun.

"Mau ikut ke tempatku? Jika kau tidak sibuk." tawar sang profesor.

"Apa tidak menganggu anda?"

"Tidak, tentu saja. Nanti akan kutunjukkan beberapa karya koleksi di galeriku."

Mendengar itu mata Renjun berbinar, seulas senyum terbit di bibirnya kemudian mengangguk.
Perasaan nyaman ini selalu dia rasakan saat berada disekitar profesor Kim. Kecanggungan yang dirasanya berangsur hilang dan digantikan oleh perasaan familiar.
Mungkin ini yang dirasakan Dae Hae hingga gadis itu sangat menyukai profesornya ini.

Setelah membereskan semuanya, mereka kemudian pergi meninggalkan kampus.

Renjun mengambil ponselnya dan mengetikkan pesan untuk Jaemin, memastikan kakaknya itu tidak akan mencarinya.

Sesampainya di galeri lukis sang profesor, Renjun dibuat kagum oleh banyaknya mahakarya yang ada.
Banyak lukisan karya sang profesor yang pernah mengikuti pameran dilihatnya disana.

Ada beberapa dari pelukis lain yang terkenal, dan Renjun merasa seperti sedang berada di pameran sungguhan.
Galeri ini cukup luas, Renjun tanpa sadar menyusuri lorong menuju sebuah ruangan luas dibagian samping.

Di ruangan itu banyak lukisan wanita, seperti yang pernah dilihatnya di galeri Skyndia.

Sepertinya itu wanita yang sama dilukis dari berbagai sudut pandang dan juga latar belakang yang berbeda.

"Kau melihatnya?" tanya sang profesor yang tiba-tiba muncul dibelakangnya setelah tadi meninggalkannya saat mereka masuk.

"Maaf prof, saya masuk sembarangan."

"Tidak apa-apa, aku sudah memberimu ijin untuk datang yang artinya kau tidak dilarang melihatnya."

Keduanya bertukar pandang sekilas lalu tersenyum.

"Profesor, apakah dia wanita yang sama dengan lukisan anda di galeri seni Skyndia?"

"Benar."

"Sepertinya dia menjadi inspirasi anda."

"Dia adalah rahasiaku."

Renjun kembali menoleh untuk menatap profesornya itu, tidak mengerti apa maksudnya.

"Seperti yang kau katakan tadi, setiap orang memiliki rahasia. Akupun demikian, rahasia yang tak bisa kubagi dengan siapapun tapi terkadang aku ingin seluruh dunia tahu kebenarannya."

Profesor Kim menatap lukisan dihadapannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kesedihan dimatanya namun sebuah senyuman samar terlukis di bibirnya.

"Apakah wanita ini sudah-tiada?" tanya Renjun pelan, takut menyinggung, "Maaf profesor, saya tidak bermaksud lancang."

Profesor Kim menggeleng pelan dan tersenyum lembut, "Tidak apa, aku bisa memakluminya."

Kemudian profesor Kim berjalan menghampiri salah satu lukisan dengan potret orang yang sama namun kali ini berlatar belakang sebuah altar pernikahan.

"Dia masih hidup. Hanya saja dia berada di tempat yang tak lagi bisa kujangkau."

Renjun menyadari bahwa hampir semua lukisan wanita ini tidak menampilkan wajah gamblang.
Potret tubuhnya jelas, hanya bagian wajahnya yang selalu disamarkan entah oleh untaian rambut indahnya, atau hiasan cantik dikepalanya yang hampir selalu menutupi sebagian wajahnya.

"Kenapa anda tidak melukis wajahnya dengan jelas, profesor? Apakah anda sengaja membuatnya seperti itu?" tanya Renjun pada akhirnya.

"Benar." profesor Kim tersenyum dan menoleh padanya, "Ternyata kau lebih jeli dari yang kukira."

"Maaf profesor."

"Tidak perlu minta maaf, aku memang sengaja tidak melukis wajahnya karena aku ingin dia tetap menjadi rahasiaku. Tetap berada di ingatanku sebagaimana semestinya. Tapi tanganku sepertinya tidak bisa menahan diri untuk tidak melukisnya setiap kali aku memikirkannya. Jadi begitulah hingga semua lukisan ini tercipta."

Ada sekitar lima puluh lebih lukisan wanita ini dengan berbagai ukuran dalam ruangan ini.

Sepertinya wanita ini begitu berarti bagi profesor Kim.

"Apakah dia tahu, bahwa dia menjadi inspirasi karya lukisan anda? Bahkan tanpa wajah yang jelas pun dia terlihat begitu indah."

Profesor Kim kembali tersenyum, kemudian menghela napasnya pelan.
"Tidak, bahkan dia tidak pernah tahu aku bisa melukis."

"Mungkinah dia orang yang anda sukai semasa muda dulu? Dan anda tidak bisa melupakannya? Harusnya dia tahu bahwa anda sangat menyukainya seperti ini."gumam Renjun.

"Dia cinta pertamaku dan juga terakhirku. Apakah itu terdengar klise?" tanya profesor Kim sembari tertawa kecil, "Aku menemukan bakat melukisku setelah berpisah darinya."

"Ah-jadi kalian sempat bersama?" Renjun terkejut dengan mulutnya yang sejak tadi bertanya tanpa tahu malu. Dia bahkan menanyakan hal-hal pribadi pada profesornya, sungguh dia tidak pernah melakukan ini sebelumnya.

"Tentu saja, kami bahkan menikah."

Mendengar penuturan itu mau tidak mau Renjun sedikit terkejut dan hanya bisa diam.

"Jadi dia adalah istri anda?"

"Hm, bisa dibilang begitu dulu."

Saat keduanya terdiam larut dalam pemikiran masing-masing, bunyi ponsel Renjun mengalihkan perhatian mereka. Renjun meminta ijin untuk menjawab panggilan itu.

"Hai Dad, maaf terlambat memberitahu. Tapi Ren akan pulang sedikit malam."

"Kenapa tidak ijin dulu Nak, Dad khawatir kamu kenapa-napa lagi."

"Maaf, tadi udah bilang ke Jaemin kok. Nggak disampaikan ke Daddy ya?"

"Udah disampaikan tapi Dad tetap khawatir, mau dijemput?"

"Nggak usah, bentar lagi aku pulang kok."

"Baiklah, hati-hati dijalan ya. Dad tunggu dirumah."

"Ya Dad, see you."

Setelah mematikan sambungan teleponnya Renjun mencari sang profesor yang sudah hilang entah kemana, bermaksud untuk berpamitan. Kemudian dilihatnya sang profesor sedang berada disisi ruangan lain yang merupakan ruang kerja, sibuk dengan sebuah pena dan kertas di tangannya.

"Saya harus segera kembali, profesor Kim." pamit Renjun sesampainya di hadapan profesor Kim.

"Oh, sudah harus pulang ya? Ini untukmu." ucapnya menyerahkan sepucuk amplop berisi kertas yang baru saja ditulisnya tadi pada Renjun.

"Apa ini profesor?"

"Tugas untukmu. Kuharap kau sudah menyelesaikannya saat kita bertemu pekan depan."

"Ini termasuk tugas tambahan?"

"Bukan, itu tugas pribadi, jawabanmu akan menjadi kunci apakah kau bisa datang lagi kemari atau tidak karena aku sudah mempersiapkan sesuatu untukmu."

"Jika tidak selesai dalam satu pekan?"

"Pasti selesai, aku percaya pada kemampuanmu."

Setelahnya Renjun pamit, dan segera memesan sebuah taksi online untuk mengantarnya pulang. Dia meninggalkan mobilnya di kampus karena dia bersama profesor Kim saat datang kemari sebelumnya.

DIbukanya amplop pemberian profesor Kim tadi untuknya.

Rahasia akan tetap menjadi rahasia. Mengaburkan kenyataannya pada dunia tidak akan membuatmu kehilangannya, namun akan memberimu ruang untuk sedikit bernapas lega.

Nb. Aku ingin melihatmu bernapas lega pekan depan, Nak.

Renjun tersenyum mendapati pesan yang dituliskan untuknya itu.
Sebuah tugas aneh yang membuatnya merasa bersemangat.

Bersambung.

Profesor Kim.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro