27 - Other Love Story

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terdapat adegan yang bersifat candu seperti lezatnya micin, efek akibat adegan tersebut diluar tanggung jawab aku ya :b
Happy reading!

***

Via sempat mendesah melihat penampilannya di cermin. Dress selutut abu-abu, outer berbahan wol merah muda dengan topi rajut ini apa tidak terlalu mencolok? Seharusnya Alvin tidak datang di saat musim gugur seperti ini untuk menemuinya, sangat sulit bagi Via untuk memadupadankan pakaian kencannya dengan suhu di Jepang saat ini.

Jika saja Ify masih tinggal satu kamar dengannya, Via yakin gadis itu pasti akan tertawa sampai perutnya sakit karena melihat tingkahnya. Dulu Via menolak Alvin mentah-mentah dan mengatakan bahwa pria itu aneh dan bukan tipe idealnya. Tapi sekarang justru kebalikannya. Via sangat menantikan hari ini sampai semalam dia tidak bisa tidur.

Pada bulan Agustus lalu, sebenarnya Alvin berjanji untuk datang menemuinya. Alvin ingin mengajaknya untuk melihat pesta kembang api, namun sayangnya pekerjaan pria itu membuat Alvin membatalkan janjinya pada Via. Mengingat hal itu, Via kesal setengah mati karena pekerjaan membuat Via kehilangan momen memakai yukata bersama Alvin dan pergi ke pesta kembang api yang begitu indah.

Mendadak pipi Via langsung merona mengingat bahwa dia akan segera merayakan dua bulan jadiannya dengan Alvin. Bertepatan dengan hari Equinox atau disebut juga shubun no hi yang jatuh pada tanggal 23 September, hari ini.

Hari ini matahari tepat melintasi ekuator, sehingga lamanya siang sama dengan malam hari. Itu berarti, langit pukul tujuh malam ini yang biasanya sudah gelap akan tampak seperti pukul empat sore. Hari Equinox dijadikan sebagai libur nasional dan tentu saja ini menjadi hal spesial bagi Via karena dua bulan lalu di tanggal yang sama, dia pun jadian dengan Alvin.

Tiba-tiba ponsel Via berdering keras. "Alvin!" seru Via senang ketika melihat siapa yang meneleponnya. "Moshi− Sudah sampai!?" pekik Via. "Kenapa tiba-tiba sih?!" lanjut Via sebal sambil tergesa meraih tasnya dan memakai sepatu wedgesnya.

Dia pun berlari keluar kamar dan sempat kembali lagi untuk mengunci pintunya. Hampir saja lupa, pikir Via.

***

Senyuman puas tercetak di bibir pria yang sedang bersantai di halaman rumahnya setelah membaca laporan dari bawahannya. Libur nasional membuat Daniel tidak bekerja di kantor dan memilih untuk mulai menyantaikan dirinya sedikit mulai di libur kali ini.

Alvin benar, dia bukan robot. Tapi entah bagaimana caranya, Daniel tak pernah sakit dengan setumpuk aktivitasnya selama ini. Mungkin karena sudah terbiasa atau karena merasa bahwa itu semua adalah tanggung jawabnya. Entahlah.

"Sudah seharusnya Ify, maksudku Ayumi Hara menjadi pewaris Hara Grup. Setelah ayahnya meninggal sebelum memperkenalkan Ayumi dan Miyuki ke publik," gumam Daniel.

"Itu benar, Tuan."

Daniel menoleh dan mendapati Shin tengah berdiri takzim di sampingnya.

"Tuan tidak pergi?" lanjut Shin.

Senyuman khas Shin membuat Daniel terkekeh pelan, "Aku tak punya teman untuk pergi ke mana pun."

"Tuan tak ingin seperti Tuan Ryo?" goda Shin dengan mata mengerling. "Hari ini Tuan Ryo terlihat tampan sekali, ahh... saya juga sempat menghirup aroma parfum barunya yang dikirim dari Paris minggu lalu saat saya berpapasan dengannya. Apa Tuan Daniel tak berkencan juga?"

Daniel menolehkan kepalanya dan menatap Shin dengan senyuman yang sulit diartikan. Tapi matanya jelas menguarkan rasa ingin yang besar.

"Mungkin Tuan bisa merayakannya di Seoul."

"Alvin sedang di sini, dia akan berkencan dengan Via," kata Daniel datar. Tapi akhirnya dia tersenyum juga, "akhirnya Alvin berhasil meluluhkan hati gadis itu."

"Bukan Alvin yang saya maksud, Tuan."

Daniel bergeming. Tanpa diberitahu pun jelas Daniel mengerti sekali maksud Shin. Tapi tak ada alasan bagi Daniel untuk ke Seoul. Karena gadis itu pun pasti sudah melupakannya.

"Saatnya Tuan Daniel menunjukkan perasaan Tuan pada gadis itu. Jangan hanya menyimpan seluruh hadiah pemberiannya saja." Shin pun membungkukkan tubuh tingginya dan meninggalkan Daniel yang masih duduk di kursi taman rumahnya. Menatap ke langit musim gugur yang jernih, akizora.

Daniel mengerjap ketika pemandangan langit itu mendadak membentuk siluet wajah manis milik Ashilla Kim. Gadis keturunan Korea-Indonesia yang merupakan sepupu Alvin Kim, sahabatnya saat berkuliah dulu.

"Shin!" panggil Daniel dan dia pun berdiri hendak mengejar Shin yang ternyata belum jauh darinya.

"Ya, Tuan?" tanya Shin sambil menahan senyum.

Daniel diam. Dia merasa ragu.

"Apa Tuan ingin saya menyiapkan pesawat jet?" pancing Shin.

"Apa?" tanya Daniel kaget.

Shin tersenyum penuh arti. "Agar Tuan bisa secepatnya sampai di Seoul dan bertemu Nona Ashilla."

Wajah Daniel bersemu merah.

"Baik, Tuan, saya mengerti." Shin pun kembali membungkukkan badannya dan mengeluarkan ponsel dari saku dibalik jasnya.

"Terima kasih, Shin." Ucapan Daniel membuat Shin menoleh dan sekali lagi pria itu membungkuk. Daniel tersenyum malu, Shin bahkan jauh lebih mengerti tentangnya. Daripada Daniel sendiri.

***

Seoul.

Wajah Ashilla tak hentinya menatap ke arah Daniel yang tengah berdiri di depan pintu rumahnya. Tanpa dipersilakan pria itu langsung masuk begitu saja ke dalam apartemen Ashilla yang juga merupakan tempat tinggal Alvin. Sadar akan perbuatan lancang Daniel, Ashilla pun mengikuti pria itu masuk dan hendak mengomel.

"Oppa!" seru Ashilla kesal saat dilihatnya Daniel justru sibuk mengagumi interior kediaman dua Kim bersaudara. "Kau bahkan tak memberiku salam?"

Daniel membalikkan tubuhnya dan hanya bisa meringis. Tangan pria itu pun mengusap tengkuknya. Salah tingkah bisa meruntuhkan kewibawaannya dalam hitungan detik.

"Halo," sapa Daniel datar dengan bahasa Indonesianya. Daniel pun kembali berakting seolah dirinya begitu iri dengan rumah fotografer muda itu. "Apartemen kalian keren sekali, lalu apa yang kalian lakukan dengan rumah lama kalian yang dulu?" Daniel mendudukkan tubuhnya yang terkena jetlag ke sofa berwarna putih dengan motif garis hitam.

"Alvin oppa sedang tak di rumah. Dia ke Tokyo untuk menemui pacarnya," kata Ashilla ketus. "Mau apa kau ke sini?"

Daniel mengernyit. Kenapa Ashilla begitu dingin padaku? "Aku−"

"Oppa dilarang datang ke sini kalau tidak membalas perasaanku," sela Ashilla dengan wajah cemberut. Mulutnya sedikit maju dan matanya menatap Daniel tajam.

Jika tidak kuat iman mungkin Daniel sudah mencubit dan mencium pipi gadis itu langsung tanpa menunggu. Selagi yang menjaganya sedang tak ada di rumah. Daniel tersenyum, "Berterimakasihlah pada Ryo. Juga pada Shin yang terus menggodaku untuk datang ke Seoul."

Bibir Ashilla tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi atasnya yang rapi.

"Jadi... Oppa datang ke sini untuk membalas perasaanku?" tanya Ashilla senang.

"Tidak."

Ashilla melotot, "Mwo−Apa!?"

"Aku ke sini hanya untuk melihatmu. Bogoshipeo."

Mendengar Daniel mengatakan merindukannya dalam bahasa Korea membuat Ashilla langsung berdiri dan memeluk Daniel erat sampai membuat pria itu tertindih tubuh mungil Ashilla.

"Gomawo−Terimakasih, Oppa!" seru Ashilla senang hingga air mata keluar dari almond eyesnya. Cukup dengan kata rindu saja, Ashilla tahu bahwa Daniel sudah menerima perasaannya.

"Saranghaeyo−Aku mencintaimu, Ashilla," kata Daniel serius. Bibirnya pun tersenyum sambil terus mengusap puncak kepala Ashilla dengan tangannya. Akhirnya, pintu perasaan Daniel terbuka lebar dan semua isi hatinya keluar melalui sentuhan lembutnya pada Ashilla. Melalui pelukan hangat yang begitu menenangkan.

"Aku tahu. Kau saja yang selama ini terlalu gengsi," sahut Ashilla penuh percaya diri. "Oppa," panggil Ashilla yang hanya dibalas gumaman oleh Daniel, "sampai kapan kau akan memelukku?"

"Ah?" tanya Daniel. Dia pun segera melepaskan pelukannya dan mendapati Ashilla tengah menatapnya penuh ejek.

"Haruskah aku pindah ke Tokyo? Atau aku pindah ke rumahmu saja? Agar kau bisa memelukku setiap saat."

Daniel memandangi Ashilla dengan tatapan tak percaya. Apa gadis ini tak punya rasa malu sama sekali dengan kejadian tadi? Gadis ini pun segera duduk di sebelahnya dan tak memberikan celah sedikit pun antara dia dan Daniel.

"Apa kabarmu dengan Ryo, Oppa?" tanya Ashilla.

"Baik," sahut Daniel datar. "Kenapa kau memilih membicarakannya? Aku tak suka."

"Kau cemburu?"

"Ya," jawab Daniel cepat dengan wajah cemberut. "Bisakah kita membicarakan hal lain saja selain Ryo?"

"Baiklah, tapi jawab satu pertanyaanku dulu. Aku sangat penasaran dengan hal ini."

Daniel memposisikan dirinya menghadap Ashilla dan menatap wajah seriusnya. "Apa itu?"

Ashilla sempat memundurkan wajahnya sedikit. Kini Ashilla yang merasa berbahaya karena memposisikan dirinya terlalu dekat dengan seorang pria. Apalagi ini adalah pertanyaan sensitif. Dia pun memundurkan duduknya dan memberikan celah sebesar bantal sofa.

"Apa kau juga cemburu dengan Ryo dan pacarnya? Sampai kau membuat mereka berpisah," tanya Ashilla. Matanya masih tak lepas memandang mata Daniel. "Aku pikir, mungkin kau menyukai gadis itu, karenanya kau membuat Ryo dan dia putus hubungan."

Daniel tersenyum kecut, "Tidak."

"Lalu?"

"Aku iri dengan kebebasan Ryo. Dia bisa melakukan hidup sesuai dengan keinginannya. Melukis, bermain, bahkan sampai memiliki pacar. Sementara aku harus bersekolah sambil belajar bisnis. Kemudian dijadikan pemimpin perusahaan.

"Aku rasa semua tanggung jawab dibebankan kepadaku, sementara Ryo tidak sama sekali. Oleh karena itu aku menemui pacar Ryo, kemudian menyuruhnya untuk pergi. Yang membuatku terkejut, ternyata gadis itu tidak bisa bicara."

Ashilla tersentak. Tapi dia masih memilih untuk terus mendengarkan.

"Saat tahu bahwa Ryo berpacaran dengan orang seperti itu aku merasa marah. Dengan nama besar Tennouji, Ryo bisa mendapatkan gadis yang jauh lebih baik darinya."

"Oppa," sela Ashilla. "dengan nama Tennouji kalian, kau bisa mendapatkan gadis yang lebih segalanya dariku."

Daniel terkejut, kata-katanya pasti telah melukai hati Ashilla. "Ashilla, bukan begitu. Dulu, aku merasa terlalu marah. Aku terlalu kesal dengan Ryo, itu sebabnya aku memiliki pikiran sedangkal itu. Cinta tidak terfokus pada kekurangan seseorang, tapi kelebihannya. Kelebihannya yang membuat kita sadar, bahwa kita butuh orang itu untuk melengkapi hidup kita. Itulah cinta, yang baru kusadari sekarang."

Ashilla bergeming.

"Dan kelebihanmu adalah ketulusan. Itu yang aku butuhkan, karena selama ini yang ada di hidupku hanya berisi sebuah tuntutan. Tuntutan untuk menjadi kakak yang sempurna, pemimpin perusahaan yang cerdas dan−"

Daniel membeku, rasanya aliran darahnya mendadak berhenti dan pernapasannya sesak. Bibir Ashilla yang mencium bibirnya cepat membuat pria itu kehilangan kata-kata. Mata Daniel berkedip beberapa kali melihat Ashilla yang menatapnya intens.

"Aku juga gadis yang penuh dengan tuntutan, Oppa. Kuharap kau tak menyesal sudah memilihku," katanya sambil tersenyum simpul. Ashilla segera berdiri dan meninggalkan Daniel yang masih... jetlag akan ciuman pertamanya.

BERSAMBUNG ke EPILOG

Dear, Readers.

Terimakasih untuk sekian banyak bintang, komentar, cinta dan semangat yang kalian kasih sepanjang kisah ini ya. Cerita Teen Fiction yang aku tulis ketika aku remaja (sekitar umur 16 - 18 tahun) ini, baru sekarang kupunya nyali untuk dipublish. Setelah sebelumnya ditolak GPU (iyalah, cerita masih level pemula begini, pasti ditolak T_T )

Jangan lupa juga buat baca kisah Twenty Couple: Secret Wedding dan Marry Me If You Dare ya!

Kuusahakan jauuuuuuuh lebih baik dari The Plan.

With heart and thousand love,

nnisalida.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro