Path-02 : The Momment

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menelusuri keramaian pesta, melewati panjangnya lorong Istana yang dipenuh sesak oleh orang-orang. Tak sedikit yang menyapaku dan mengajakku berbincang, membuatku terpaksa ikut masuk ke dalam beberapa obrolan ringan. Setelah berusaha sekuat mungkin untuk keluar dari kerumunan itu, aku akhirnya sampai di Taman istana dengan helaan napas lega.

Udara Taman yang begitu segar menerpa kulitku. Dingin. Sama seperti dulu.

Siluet seseorang terlihat dari kejauhan, membuatku melangkahkan cepat kakiku ke arahnya sehingga siluet itu tampak terlihat lebih jelas. Seorang lelaki yang dibalut tuxedo hitam malam berdiri gagah di sana, membelakangiku dan tampak sedang menatap air mancur yang mengalir membawa ketenangan di antara riuhnya pesta.

"Hei, sudah lama menunggu?" Aku menyapa begitu tubuhku sudah berada tepat di sampingnya.

Lelaki itu menoleh, dengan ekspresinya yang begitu khas dan tidak pernah berubah dari dulu. "Iya."

Aku mendengus pelan, "kamu itu terlalu jujur, ya?"

Alih-alih menjawab, dia justru hanya terdiam sembari menatap air yang masih menari-nari di pancuran air mancur besar berwarna putih bersih. Beberapa Love bird dan angsa tampak sedang asyik bermain di atas permukaan air yang bening. Siulan dari burung-burung yang hinggap di dahan pohon menghiasi suasana Taman yang sedikit sunyi, hanya terdengar sayup-sayup lagu keras dari pesta di Aula.

"Kau tahu, aku memutuskan akan tetap tinggal di Kamar Asramaku hingga aku lulus kelas Senior!" Aku berujar riang. Menceritakan tentang kehidupan sehari-hariku kepadanya sudah menjadi rutinitasku sejak setahun lalu. "Kau juga akan tetap tinggal di Asrama, kan?"

Dia mengangguk. "Yang lain juga."

"Aku tahu," aku mengulaskan senyum lebarku. "Flo dan Yura sudah memberi tahuku bahwa mereka dan lainnya akan tetap tinggal di Asrama. Katanya kamar Asrama lebih nyaman dibanding Istana megah mereka yang selalu sepi."

"Ya," lelaki itu mengangguk mengerti. "Benar."

"Apanya yang benar, huh?"

"Mereka."

Aku menghela napas panjang, kemudian tergelak. "Kau tetap irit bicara seperti biasanya ya, Sena."

Sena hanya terdiam, tanpa menampilkan segaris lengkunganpun di wajahnya. Ekspresinya yang datar membuatku selalu kesulitan menebak suasana hatinya. Aku harus sedikit berhati-hati padanya. Bisa saja dibalik ekspresinya yang sedatar papan tripleks itu, dia diam-diam menyimpan dendam padaku kan? Tidak ada yang tahu.

"Bagaimana dengan latihanmu?"

Pertanyaan yang terlontar dari mulut Sena sontak membuatku mendongakkan kepalaku, demi menatap wajah tegas lelaki itu. "Huh? Latihan berpedangku? Oh, baik. Sekarang aku sudah bisa mempraktikkan skill-skill tertentu!" ucapku dengan wajah bangga.

Sena menatapku sesaat, kemudian tersenyum tipis. "Kerja bagus."

"Tentu saja! Selamat untuk diriku." Aku bertepuk tangan untuk diriku sendiri, membuat Sena memutar bola matanya. "Oh, ujian kenaikan tingkat ke kelas Senior tinggal seminggu lagi, ya? Menurutmu, lebih baik aku masuk jurusan apa, Sena?"

"Kau tidak bisa memilih jurusan. Hasil tesmu yang menentukan."

Aku menghentakkan kepalaku, jengah. "Kan seandainya, Sena. Ayolah, jangan serius begitu!"

"Aku mempelajarinya darimu," balas Sena dengan nada datarnya yang menjengkelkan.

"Huh? Sejak kapan aku serius?" Aku bertanya balik.

"Kau selalu serius. Selalu memakai logika yang tak bisa dicerna akal sehat."

"Tidak! Sama sekali tidak!" Aku menyilangkan kedua lenganku sehingga membentuk huruf X. "Aku bukan tipe orang yang selalu serius!"

Sena yang sepertinya tidak berminat memperpanjang perdebatan akhirnya hanya memutar bola matanya. "Terserah." Hening menyapa kami, membuat suasana sekitar terasa sedikit canggung. "Sebaiknya kau kembali," Sena berujar begitu suara alunan musik klasik terdengar. Sepertinya pesta dansa sudah dimulai.

"Kau tidak mau menikmati pestanya?"

"Aku tak terlalu menyukai keramaian."

"Aku juga!" ujarku. "Tapi, setidaknya nikmati pesta dansanya sebentar!"

" .... sepertinya tidak perlu."

"Kenapa?" Aku mengerutkan dalam keningku. "Jangan bilang kau tak bisa berdansa?"

"Aku bisa."

"Lalu? Ayo masuk dan nikmati pestanya!"

Sena menatapku datar, namun di saat itu juga raut wajahnya sepolos bayi. "Tidak bisakah menikmati pestanya di sini saja?"

"Hmm ... bisa sih," aku termangut-mangut. Lagipula, suara musik yang menggelegar terdengar jelas hingga ke sini. "Lalu, bagaimana cara menikmati pesta dansa di sini?" tanyaku dengan penuh tanda tanya.

Sena terdiam, sekilas aku melihat ada sedikit rona merah di sana. "Kalau begitu ... mau berdansa?"

Aku tercekat, tak mengira lelaki sedatar papan tripleks itu akan mengajakku berdansa. "A-Aku? Kau mengajakku??" Aku menunjuk diriku sendiri dengan ragu.

"Memangnya ada siapa lagi di sini selain kita?"

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, menjelajahi sekitar. Benar juga, Taman sangat sepi sekali. Tak ada siapapun yang lewat di sekitar sini. "Um ... boleh." Akhirnya aku menjawab setelah dilanda kebimbangan.

"Baiklah," Sena mengulurkan tangannya, dan aku segera menyambut uluran tangannya dengan lembut. Telapak tangannya merambat di pinggangku, sedangkan satunya lagi menggenggam erat tanganku.

Telapak tangan Sena terasa sangat hangat, sampai-sampai membuatku terlena akan kehangatannya. Kakinya mulai menari, menyesuaikan dengan irama musik.

"Kau pandai juga," pujiku. "Aku tak menyangka kau bisa berdansa."

"Seharusnya aku yang berkata begitu."

Aku tertawa. Hening kembali melanda sekitar, membiarkan aliran musik dari Aula menggema di sekitar kami. Aku menatap tepat di manik mata Sena. Tampak hijau dan berkilau. Garis wajah lelaki itu begitu tegas, kulit putih bersihnya tampak indah saat diterpa cahaya bulan. Ini pertama kalinya aku dapat melihat wajah Sena sejelas ini, dari jarak yang begitu dekat dengannya.

Kulit putih bersih Sena tampak memerah, begitu merah sampai aku dapat melihatnya dengan jelas. Hal itu membuatku bertanya-tanya, apakah Sena sedang sakit demam?

Jantungku berdetak begitu cepat saat Sena tersenyum tipis padaku. Tipis. Sangat tipis. Tapi mengapa sekarang aku merasakan wajahku sedang terbakar?

Sena melepaskan tanggannya yang menyentuh pinggangku, kemudian mundur perlahan. "Sudah ya." Sena melepaskan genggaman tanganku yang sedang menggenggam tangannya erat. "Sudah malam, sebaiknya kau beristirahat."

"Kau juga," balasku. "Sepertinya kau sedang demam."

Sena terdiam, cukup lama sehingga membuat suasana sekitar menjadi sedikit canggung. "Kau benar. Kalau begitu, aku pulang dulu." Lelaki itu menunduk pelan, menghormat kepadaku.

Aku balas menghormat. "Iya, istirahat yang cukup, ya."

Setelah melihat anggukan kepala Sena dan pamit, kami berpisah. Aku berjalan menelusuri koridor Istana yang tampak begitu sepi. Kedua tanganku menyentuh kedua pipiku yang rasanya sudah memanas. Kenapa jantungku berisik sekali sih sedari tadi? Kukira aku akan terkena serangan jantung. Dan lagi, wajahku terasa terbakar.

Sepertinya ... aku sedang terkena demam juga.

***TBC***

A/N

Kena, pekalah dikit. Kau tuh kebanyakan belajar tauk :v

Hai mantemannnn~! Jumpa lagi dengan author terkawaii ini~~♡

//muntah online.

Ini masih tahap pembukaan alias masih adegan pemanis (ehh bukan!)

Maksudnya, mungkin ini pembukaan buat ngejelasin Kena ngapain aja di dimensi sihir selama 2 tahun itu wkwk :v

Baru terungkap satu yak, Kena belajar berpedang di situ :D

Ini baru awal-awal, jadi konflik muncul perlahan.

Sebagai bocoran, Vara kasih tau deh gambaran konflik di sini.

Bocorannya ada di sinopsis cerita ini (((>♢<)))

Kalo kalian nggak kena virus gapekanya Kena sih... mungkin peka. Tapi kalo iya.. wkwk, wassalam :p

Karena jadwal PH masih random, jadi Vara putuskan akan update dua kali seminggu di hari Jumat, Sabtu, atau minggu.

Iya, silahkan teror Vara :>

Tapi jangan teror Vara selain di hari itu yakk!!

Don't forget to vote and comment!!!

Okay, stay tune!

Adios~

Big Luv, Vara.
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro