Path 03 : Charming

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cahaya mentari terasa setajam jarum, menusuk kulit hingga rasanya hampir membakar. Langit cerah tanpa awan di awal musim Semi itu mungkin akan menjadi pertanda yang bagus untuk mengawali hari pertama Sekolah. Aku menyisir rambut biruku yang kini sudah memanjang hingga pinggul, kemudian mengikatnya menjadi dua bagian. Setelah memastikan penampilanku sudah cukup rapih di depan cermin, aku segera melesat ke nakas di samping tempat tidur dan mengambil tongkat sihir milikku yang memiliki batu sihir berwarna biru kolbalt. Aku masih ingat dengan jelas meski dua tahun lamanya sudah berlalu, bahwa tongkat sihir ini pemberian Nova―wakil ketua Dewan di Fortune Academy―saat aku berusaha meminta tanda tangan persetujuan kerja sama untuk perang. Aku memutuskan untuk menyimpan dan menggunakannya sebagai kenang-kenangan, dan jimat keberuntunganku.

Xia-xia tampak masih tidur pulas di atas tempat tidur, mendengkur lembut dengan berirama. Aku tersenyum tipis, mati-matian menahan tanganku agar tidak mengelus tubuh bulat gempal milik pixieball-ku itu. Astaga, Xia-xia tampak imut sekali saat tidur, berbeda jika sedang terbangun. Dia akan berubah menjadi sangat menyebalkan.

Tak tega membangunkan tidur pulasnya, aku memutuskan untuk segera keluar dari kamar Asrama yang sudah kutempati selama dua tahun itu, kemudian berjalan cepat menuju Kafeteria. Sepanjang perjalanan, banyak murid-murid yang menyapaku, entah itu memanggil namaku, ataupun memanggilku dengan embel-embel tuan putri. Jadi begini rasanya disegani, aku baru paham. Ternyata rasanya sangat menyebalkan. Aku tidak suka dipanggil tuan putri dan semua orang tahu itu. Tapi tetap saja mereka memanggilku begitu.

"Kechan, selamat pagi!!" Alice yang baru saja keluar dari kamarnya menyapa begitu melihat kehadiranku. "Mau ke Kafeteria ya? Aku ikut!"

"Pagi juga, Alice. Ayo kalau begitu," kataku dengan seulas senyum simpul.

Kami berdua kemudian menelusuri lorong Asrama perempuan ditemani percakapan ringan. Sesekali Alice membahas tentang masa lalu, saat awal pertemuanku dengannya. "Dulu Kechan dingin sekali! Apalagi aku dapat merasakan dengan jelas emosi Kechan yang tidak suka denganku," Alice bercerita dengan cemberutan di wajahnya. "Tapi untunglah Kechan sedikit senang karena ada aku, itu juga karena aku berasal dari negara Jepang, kan?"

Aku tertawa ringan, "ya begitulah."

"Oh ya, Sabtu ini ada acara?" Alice menatapku dengan penuh semangat. "Kalau tidak ada, ayo kita pergi ke kota Excensia menggunakan kereta terbang! Sudah lama sekali aku ingin ke sana! Aku akan mengajak yang lainnya juga."

Dengan sesal, aku menggeleng. "Maaf, tapi hari Sabtu ini aku ada jadwal kelas berpedang bersama Master Joule."

Raut wajah antusias Alice berubah menjadi kecewa seketika, "yaaahh, sayang sekali. Kalau begitu lain kali saja deh," katanya pada akhirnya. "Sejak setahun lalu, Kechan jadi belajar berpedang ya? Aku jadi ingat kepada putri Annabeth. Kalian mirip sekali."

Aku tersenyum, "tentu saja kami mirip. Aku kan adiknya."

"Oh iya ya," Alice tertawa ringan, "aku hampir lupa. Habisnya, putri Annabeth lebih keren sih, berbeda dengan Kechan."

"Hei!"

"Ahaha, aku hanya bercanda kok."

"Kena, Alice!" Suara panggilan dari Yura membuatku dan Alice berhenti melangkah dan menoleh ke sumber suara. Terlihat, Yura dan Lizzy sedang berjalan dari koridor yang berlawanan arah dengan kami. "Kalian mau ke Kafeteria untuk sarapan?"

"Iya!" Alice dan aku menjawab kompak. "Jadi Yura, menu pagi ini apa?"

"Aku sih semalam mengirim resep salad dan sup krim ke tim dapur, karena pagi ini bukan jadwalku memasak." Kami berempat mulai berjalan beriringan menuju Kafeteria. "Tapi entahlah, bisa saja mereka mengganti resepnya."

"Tidak mungkin," bantah Lizzy, "resep buatanmu selalu enak! Apalagi jika kamu sendiri yang membuatnya. Tak heran jika hanya dalam waktu setahun kamu sudah menjabat menjadi ketua tim dapur."

Yura tertawa, tapi di saat yang bersamaan dia membusungkan dadanya, bangga. "Tentu saja, jangan remehkan calon Chef masa depan dimensi sihir!"

Kami terus melanjutkan perbincangan hingga sampai di Kafeteria. Sesampainya di sana, tempat itu sudah penuh sesak oleh para murid yang hendak sarapan. Harum masakkan sudah menggugah selera, membuat siapapun rela mengantre panjang demi mendapatkan semangkuk sup dan segelas cokelat hangat. Aku, Yura, dan Alice diminta oleh Lizzy untuk mencari tempat duduk saja, sedangkan dia mengantre untuk mengambil bagian kami. Awalnya aku ragu. Maksudku, bagaimana caranya dia membawa empat nampan makanan seorang diri?

"Kekuatanku gravitasi, ingat?" Lizzy menyeringai lebar. "Aku sudah bisa mengendalikan beberapa benda sekaligus. Jadi aku tinggal membuat nampan-nampan itu melayang."

Dan begitulah, jadi kami bertiga―aku, Yura, dan Alice―mencari tempat duduk yang kosong. Beruntung ada meja yang belum diisi di sudut Kafeteria. Kami segera duduk di sana, menunggu Lizzy selesai mengantre.

"Oh iya, ujian kenaikkan tingkat ke kelas Senior itu minggu depan, ya?" Alice menopang wajahnya menggunakan kedua tangannya. "Menyebalkan sekali. Baru juga masuk sekolah, sudah ujian saja."

"Tapi kan pengumuman ini sudah diberitahukan sejak setahun lalu," protesku. "Sekolah memberikan liburan panjang. Benar-benar panjang. Setahun setengah itu waktu yang lebih dari cukup untuk latihan meningkatkan kekuatan."

"Benar," Yura menimpali. "Sekarang, aku sudah belajar cara memblokir serangan musuh. Lama-lama, kekuatanku ini mirip dengan kemampuan netraler Sena, tahu? Tapi tentu saja, kemampuan Sena lebih hebat. Sekali dia mengaktifkan kekuatan netraler-nya, sihir apapun tidak akan bisa melukainya."

"Bicara tentang Sena, aku tidak melihatnya di pesta kemarin," ujar Alice sambil menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan. "Sena tidak mengucapkan selamat padamu, Kena?"

Aku menaikkan sebelah alisku. "Eh? Dia datang kok."

"Benarkah? Kapan?"

"Saat petang, kami bertemu di Taman Istana. Dia mengucapkan selamat padaku," jelasku singkat.

Alice mengembangkan senyum lebarnya. "Lalu kalian bicara apalagi? Hanya itu?"

Aku terdiam sebentar, mencoba mengingat-ingat kejadian kemarin. "Hmmm... kami sempat berbincang sebentar, kemudian kami berdansa."

Yura dan Alice serentak menatapku. "B-BERDANSA?!!"

"Kecilkan suara kalian!" Aku berdesis sebal karena mereka berteriak sehingga meja kami menjadi pusat perhatian untuk beberapa saat. "Kalian ingin seluruh dunia ini tahu, ya?"

"Maaf, hehe." Alice dan Yura menyengir lebar. "Tapi itu sebuah kemajuan."

"Kemajuan apa?"

"Kau akan mengetahuinya nanti," Yura berkata dengan senyum tipis. "Tapi bukan sekarang. Sekarang ini, kau belum cukup umur." Sahabat menyebalkanku itu mengusap kepalaku, memperlakukanku layaknya seorang anak kecil.

"Apa maksudmu?" Aku menepis pelan tangan Yura dari kepalaku. "Aku ini sudah 19 tahun, tahu!"

"Aku 20!" seru Yura sembari menunjuk dirinya sendiri menggunakan ibu jarinya.

"Aku juga 20," timpal Alice.

"Aku 22."

Kami bertiga serempak menoleh ke sumber suara dan mendapati Lizzy berdiri di sana bersama empat nampan berisi makanan melayang di sekitarnya. "Eh? Kau 22?" tanya Yura seakan tidak percaya.

Lizzy tertawa sembari menjentikkan jarinya. Detik itu juga nampan-nampan berisi makanan itu mendarat dengan mulus di depan kami―di atas meja. "Iya, umurku 22 tahun. Kalian yang lebih muda dariku seharusnya memanggilku dengan sebutan kakak," ujarnya dengan nada bercanda sambil menarik kursi di samping Alice dan duduk di sana.

"Baik, kak Lizzy!" sahutku patuh.

"Kak Lizchan, aku lapar. Tolong suapi aku ya!"

"Kak Lizzy, tolong kerjakan pekerjaan rumahku!"

"Baiklah, hentikan. Kalian membuatku jijik." Lizzy bergidik pelan. "Oke, jangan berisik. Mari kita mulai makan. Sebentar lagi bel masuk berbunyi."

"Baik kak Lizzy!"

Lizzy mendelik. "Aduh, sudah kubilang hentikan!"

***

"Hmm... pilihan, ya?" Aku termangut-mangut menatap selembaran kertas di atas meja. Beberapa menit lalu, Miss Rosseline datang ke dalam kelas dan membagikan selembaran kepada kami. Selembaran ini berisi mengenai apa bakat dan spesialisasi kami, juga jurusan yang kita harapkan. Aku sedikit bertanya-tanya, mengapa kami diminta memilih jurusan? Bukankah jurusan kami terpilih sesuai hasil tes ujian kenaikan tingkat? "Hey Sena, kenapa kita diminta memilih jurusan?"

Sena yang sedang terdiam di sebelahku menoleh, menatapku. "Karena diminta?" jawabnya yang sejujurnya sama sekali tidak membantu.

"Aku tahu kita diminta untuk mengisi ini," aku mendengus sebal. "Maksudku, bukankah jurusan ditentukan lewat hasil tes? Lantas, untuk apa kita mengisi ini?"

Sena mengendikkan bahunya. "Entahlah, tapi mungkin ini meningkatkan peluang untuk masuk ke jurusan yang diinginkan."

Aku ber-oh ria. "Kalau begitu, kamu mau masuk jurusan apa?"

"Mungkin Front Witch."

"Oh iya, Sena kan mahir, pasti bisa diterima." Aku mengacungkan ibu jariku, menyemangatinya. "Kalau begitu, menurutmu aku masuk jurusan mana? Front witch atau Netralize witch saja seperti Beth?"

"Front witch."

"Kenapa?"

"Karena cocok."

"Hmm... baiklah!" Aku mengangguk riang. "Kalau begitu, saatnya mengisi selembaran!" Dengan cepat, aku mengambil pena dari dalam pocket-ku, lalu segera mengisi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di atas kertas. Tepat setelah aku menggoreskan tinta huruf terakhir, kertas tersebut menghilang, melebur menjadi serpihan debu bercahaya, menandakan kertas tersebut telah selesai kuisi dan sudah dikirimkan kembali kepada Miss Rosseline. "Oh iya, Sabtu ini aku ada kelas berpedang. Kamu mau ikut, Sena?"

Sena terdiam beberapa saat, "sekaligus berlatih untuk ujian kenaikkan tingkat?"

"Iya, bisa dibilang begitu." Aku mengeluarkan buku tebal berisi mantra-mantra ke atas meja karena setelah ini akan ada kelas sihir. "Katamu, ujian kenaikkan tingkat kelas Senior itu ada dua tahap kan? Tertulis dan praktek lapangan, jadi aku sekalian berlatih untuk praktek lapangan."

"Baiklah, biar kubantu."

"Bagus lah kalau begitu," aku menyeringai lebar. "Master Joule pasti senang kau datang lagi."

"Ya," lelaki bersurai merah itu tampak tak terlalu senang. "Kuharap dia tidak memintaku untuk berduel lagi dengannya. Dia terlalu kuat."

"Tapi bagus kan?" Aku tertawa. "Kamu bisa jadi lebih kuat nanti."

"Iya, nanti," Sena menghela napas berat, "bukan sekarang."

Aku menepuk bahu Sena dengan prihatin. "Sabar ya, kupikir kamu sudah terbiasa. Master Joule kan pernah menjadi guru berpedangmu dulu. Master Joule juga guru berpedang Beth, jadi aku harus belajar dengannya."

"Hm."

"Oh iya," seakan teringat sesuatu, aku berseru semangat. "Kau dulu pernah bilang, jika aku berhasil menguasai teknik berpedang level tertinggi, kamu akan memberikanku sesuatu kan?"

Sena terdiam, kemudian mengangguk. "Iya."

"Memangnya apa?" tanyaku penasaran. "Hadiah? Makanan??"

"Rahasia."

"Haishhh," aku mengerucutkan bibirku dan menatap lelaki berbola mata emerald itu dengan datar. "Dasar tripleks."

"Huh? Kau mengatakan sesuatu?"

"Tidak," jawabku cepat.

Pintu kelas terbuka, menampakkan Miss Ann--guru sihir kami--memasuki kelas. Seperti biasa, banyak buku-buku yang berterbangan di sekitarnya, mengikutinya. "Baiklah semua, kelas akan segera dimulai. Buka buku sihir biru kalian di halaman 568."

Aku menatap buku yang membisu di hadapanku itu. Aku mengangkat telapak tanganku, kemudian meletakkannya tiga puluh senti di atas buku bersampul biru itu. Aku memejamkan mataku, membaca sebaris mantra, dan segera mengucapkam angka 568 dalam hati. Detik saat aku membuka kembali mataku, buku tebal itu sudah terbuka, tepat di halaman 568. Aku tersenyum puas. Mempelajari banyak mantra sihir ternyata sangat meringankan hidup. Tanpa perlu repot-repot mencari halaman satu-satu, hanya dengan sebaris mantra semua dapat diselesaikan dengan mudah. Tapu mungkin ini sedikit masalah, karena dengan semua kemudahan ini, aku menjadi orang yang sangat pemalas.

Di saat Miss Ann menjelaskan tentang materi pelajaran, aku lebih memilih menatap ke luar jendela sembari menopang wajahku dengan tangan. Tidak terasa, dua tahun telah berlalu dengan cepat. Perbincangan tentang tragedi yang terulang itu perlahan-lahan tidak pernah disentuh lagi. Orang-orang mulai fokus terhadap kehidupannya masing-masing. Aku juga sudah hanyut dalam kesibukkanku sendiri. Dua tahun di sini, aku sudah mempelajari banyak hal. Mulai dari berbagai macam mantra sihir, latihan berpedang, dan melatih kekuatanku. Semua orang berubah, aku juga berubah.

Tapi, mungkin ada sesuatu dari diriku yang tetap sama. Aku masih mencemaskan tentang sesuatu. Entahlah, tapi aku merasa semua masalah yang menimpa kami dulu belum sepenuhnya berakhir. Kristal kematian yang kini berada di tangan Lucifer membuat enam kerajaan--minus Utara--rutin mengadakan rapat. Harpine juga belum ditemukan keberadaannya, di dimensi sihir maupun di dimensi manusia. Tak jarang para Raja bergantian mendatangiku secara personal, demi mengatakan kepadaku bahwa Harpine telah dinyatakan tiada, tapi tentu saja aku menolak. Aku adalah orang yang paling mengenal Harpine. Harpine bukanlah tipe orang yang suka melanggar janji, jadi aku yakin bahwa suatu saat dia pasti akan kembali. Pasti.

Untuk suatu alasan, Harpine pasti sedang bersembunyi di suatu tempat.

Di suatu tempat yang tidak bisa kujangkau.

***TBC***

A/N

Haha, tumben nggak ada yg neror Vara. Kalian semwa udah pada tobat yak? Wkkwkwkwkk.

Btw, Magic Cafe mungkin akan Vara adakan lagi mulai next chap. Tapi Vara bingung mau bahas apa hehe :v

Mungkin di Magic Cafe itu Vara bakal buat corner in the corner :D

Dont Forget to Vote and Comment!!!

Babayyy!

Big Luv, Vara
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro