Path-05 : Beat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sekarang ini hari Sabtu, jadi sekolah diliburkan. Sudah hampir seminggu sejak sekolah pertama kali dimulai, dan tugas sudah menumpuk. Sudah kuduga, kelas Amature memang melelahkan. Aku tak bisa membayangkan sesibuk apa kelas Senior, apalagi jika aku masuk jurusan Front Witch.

Sekarang ini, aku tengah berlatih berpedang bersama Master Joule--guru berpedangku sejak setahun lalu. Aku masih ingat dengan jelas, pria bertubuh jangkung itu datang kepadaku dan menawarkanku untuk menjadi muridnya. Tentu saja awalnya aku menolak, tapi setelah aku mengetahui bahwa dia adalah guru berpedang Beth dulu, dan Sena juga sempat dilatih olehnya, maka aku menerimanya.

Pedang kayu menghantam pinggangku, membuatku meringis tertahan. Memang pedang kayu tersebut tumpul, tapi tetap saja menyakitkan. Aku mengelus pinggangku yang saat ini sepertinya lebam, karena hantaman pedang itu kuat sekali.

"Kena, jangan melamun!" tegur Master Joule. Wajahnya garang, membuatku menegup pelan ludahku. "Kalau dalam pertempuran asli, kamu sudah dicincang menjadi bubur."

"Bubur tidak bisa dicincang, Master." protesku sembari mengaduh pelan begitu Master Joule kembali melesatkan serangan beruntun. Aku menangkis puluhan serangan tersebut, mencoba mengokohkan kuda-kudaku di saat yang bersamaan.

"Jika kau hanya bertahan, kau takkan bisa menang. Sesekali kau harus melawan."

Aku kembali mengaduh saat mata pedang kayu tersebut mengenai betisku. "Awh!"

"Kena, ada apa denganmu? Seperti bukan dirimu saja," Master Joule menyarungkan kembali pedang kayunya. "Kau sedang banyak pikiran?"

Apakah aku pernah berkata bahwa Master Joule ini orang yang sangat peka? Dia bahkan bisa menebak suasana hati seseorang dari sorot matanya saja. "Umm... mungkin sedikit," jawabku malu. Aku ikut menyarungkan pedang kayuku. "Akhir-akhir ini banyak sekali yang harus kupikirkan."

"Tidak hanya akhir-akhir ini, tapi setiap saat," Master Joule menghela napas gusar. "Tapi hari ini kau tampak lebih banyak pikiran. Kuberi istirahat lima menit, lalu kita kembali berlatih mengasah kemampuanmu sebelum menumpul."

"Baik, terima kasih Master." Aku menunduk kecil, kemudian berjalan sayu ke tempat duduk terdekat.

Sena menunggu di sana, dan menyerahkan sebotol air mineral kepadaku begitu aku sampai. "Kau sudah berjuang."

"Terima kasih," aku menerima air mineral dari Sena, kemudian segera menebas habis isinya. "Phuah, segar sekali!"

"Kau sedang ada masalah?"

"Tidak, kok. Hanya merasa sedikit khawatir saja untuk ujian kenaikkan tingkat," jawabku jujur.

"Kukira kenapa," Sena menepuk pelan kepalaku. "Kau harus melupakan sementara semua itu, dan fokus berlatih. Dengan begitu, kamu bisa lulus dengan mudah."

"Aku sudah mencoba melupakannya!" Aku mengembungkan kedua pipiku. "Tapi tidak bisa."

"Semakin ingin kau melupakan sesuatu, maka semakin kau mengingatnya. Yang perlu kau lakukan hanyalah membiarkannya berlalu."

"Wah, ini kalimat terpanjang yang kau katakan selama sebulan terakhir," ejekku sembari menaik-turunkan alisku, mencoba menggodanya.

Sena memutar bola matanya, jengah. "Ya sudah, sana kembali berlatih. Master Joule sudah menunggumu."

"Baiklah! Do'akan yang terbaik untukku, ya!" Aku berlalu sembari melambaikan tinggi tanganku.

Tanpa kuduga, Sena tersenyum tipis. Hanya sesaat hingga raut wajah lelaki itu kembali datar, membuatku mengira bahwa tadi itu hanyalah halusinasi belaka. "Selalu," gumamnya lirih.

***

Aku menyeka peluh yang sudah membanjiri wajahku. Napasku mulai menderu tak beraturan. Kusarungkan kembali pedang kayuku, kemudian menunduk pelan, menghormat kepada Master Joule yang sama sekali tak terlihat kelelahan meskipun kami sudah berlatih hingga langit mulai menggelap. "Kau belajar dengan cepat." Pujian dari Master Joule membuat senyum di bibirku mengembang sempurna. Jarang sekali Master Joule memberiku pujian, jadi ini bisa termasuk momen langka. "Tapi mungkin, gerakkanmu masih terlalu lambat."

Senyum yang ada di wajahku sirna seketika. Aku menatap datar guru berpedangku itu selama beberapa saat. Aku lambat katanya? Orang waras mana yang akan berkata lambat kepada seseorang yang bahkan dapat berlari dua kilometer hanya dalam waktu lima menit?

"Ayolah, jangan menampilkan wajah seperti itu," pria berumur setengah abad itu terkekeh. Rambutnya yang mulai memutih diterpa angin sore. "Tapi untuk seukuranmu itu sudah lumayan, meskipun dulu saat aku seusiamu, aku sudah bisa berduet dengan secepat cahaya."

"Jangan percaya," Sena berkata dari kejauhan, membuatku menoleh dan mentapnya bingung. "Dia dulu pernah berkata padaku bahwa dia membutuhkan waktu lima menit untuk berlari sejauh satu kilometer."

"Sena, kamu mau merasakan kuncian spesial dariku untuk kedua kalinya?" Master Joule tersenyum maut.

Sena sontak menggeleng. Tentu saja aku tahu apa yang dimaksud dengan teknik kuncian spesial Master Joule. Itu teknik mengunci gerakkan lawan dengan membuat lawan tersungkur, kemudian menghimpit lehernya menggunakkan siku dengan tangan kanan, dan kedua tangan lawan ditahan dengan tangan kiri. Tentu saja terlihat klise, tapi kalian takkan pernah tahu apa yang dirasakan lawan yang terkena teknik kuncian spesial tersebut. Tidak ada yang pernah berhasil lepas dari teknik kuncian itu tanpa ada luka lebam biru di leher dan tangan mereka. Memang, Master Joule adalah seorang mantan ksatria. Jadi tak salah jika dia itu sword man terbaik sedimensi sihir.

"Baiklah, hari sudah gelap," Master Joule berkecak pinggang. "Nah, silahkan pulang dan istirahat, Kena. Sayang sekali ya Sena, kita tidak dapat berduel hari ini."

Sena mengangguk cepat, dia jelas tampak senang akan hal itu. "Tidak masalah, Master."

"Ya sudah, aku dan Sena pulang duluan ya ke Asrama," aku melirik arloji yang melingkari tangaku. "Kereta terbang akan segera berangkat sepuluh menit lagi. Sebaiknya kita cepat, Sena."

"Iya, ayo."

"Kami pamit dulu ya, Master," kataku sembari mengambil tas di atas kursi Taman.

Master Joule mengangguk pelan. "Iya, hati-hati."

Setelah itu, aku dan Sena berlalu, meninggalkan Master Joule sendirian di Taman Ronvile--Taman kecil yang ada di dekat pusat Kota Harva yang letaknya berada di wilayah kerajaan Selatan. Aku selalu datang ke sini menggunakkan kereta terbang--rekomendasi dari Alice. Jika Alice tidak merekomendasikan kereta ini, mungkin aku akan menghabiskan seluruh uangku untuk membeli kristal teleportasi. Aku jarang melakukan misi untuk mendapatkan uang, lagipula setiap bulan William selalu mengirimkan uang sejumlah 10.000 poin kepadaku. Katanya itu hakku sebagai tuan putri.

Sebenarnya, aku bisa saja naik kereta kuda, tapi biayanya mahal sekali jika dibandingkan dengan kereta terbang. Meskipun aku memiliki puluhan pegasus di Istal Istanaku, tapi sekolah melarang kami memelihara hewan. Jadi aku harus pergi ke Istana jika ingin menggunakan pegasus, dan itu memerlukan transportasi lagi untuk pergi ke sana. Sama sekali tidak efektif.

Sesampainya aku dan Sena di stasiun, kami segera mendekati benda berbentuk kapsul besar panjang yang melayang satu meter di atas permukaan tanah. Ini adalah kereta terbang, transportasi umum yang paling efektif sedimensi sihir. Sebelum masuk ke dalam kereta, aku segera mengaktifkan pocket-ku dan membayar ongkos kereta dengan cara men-scan code bar yang ada di pintu masuk kereta. Setelah selesai, baru aku memasuki kereta terbang dan duduk di kursi kosong. Sena duduk di sampingku, karena memang itulah satu-satunya kursi yang tersisa. Kereta malam ini lumayan ramai.

"Lelah sekali," keluhku sembari menatap pemandangan kota Harva. Kereta mulai berangkat, terbang melintasi langit dimensi sihir. "Sena, bangunkan aku jika sudah sampai," pesanku. Tanpa menunggu jawaban dari lelaki itu, aku sudah memejamkan mataku, mencoba untuk terlelap.

"Hei, kau sudah dengar?" Suara gadis-gadis yang duduk di depanku membuatku terjaga. "Katanya di sekolah kita kemarin ada murid baru."

"Oh ya? Dari kalangan mana? Apa kekuatannya?" balas temannya. "Lelaki atau perempuan?"

"Lelaki, aku tidak tahu dia dari kalangan mana, atau wilayah mana. Sepertinya sih dia itu blue blood."

"Wah sungguh? Berarti dia sangat kuat!"

"Oh, bukan hanya itu! Kudengar dia naik ke kelas Amature hanya dalam waktu sehari!"

"Sungguh?!"

Kali ini aku membuka mataku, menatap risih kepada dua orang gadis--yang sepertinya berasal dari sekolah yang sama denganku--yang sedang seru berbincang tanpa memperdulikan suara mereka yang begitu keras dan mengganggu.

Tetapi jika boleh jujur, aku sedikit penasaran dengan orang itu. Siapa dia? Bagaimana caranya dia bisa masuk kelas Amature hanya dalam waktu sehari? Sebegitu kuatnya kah dia?

"Kenapa?"

Aku melirik, menatap Sena lewat ekor mataku. Hanya beberapa saat, hingga aku kembali memejamkan mata. "Tidak apa-apa."

"Mau kuhangatkan?" tawarnya.

Aku terdiam sejenak, kemudian mengangguk pelan.

Sena mengusap kepalaku pelan. Hangat. Aku selalu suka saat dia mengusap kepalaku, tangannya begitu hangat. Tanpa sadar, aku menyenderkan kepalaku ke bahunya, dan mulai terlelap.

Meskipun kadang menyebalkan, kuakiui Sena adalah sahabat yang baik.

Dan entah mengapa saat bersamanya, dia selalu membuatku merasa nyaman.

***TBC***

Magic Cafe

Hai hai! Setelah Vara berdiskusi panjang lebar bersama A-chan, Vara memutuskan untuk apdet di hari Rabu dan Sabtu!!!

Iya yah, pada akhirnya jadwal updatenya mirip SOM wkwkwk :v

Yasudah yaw, bersuka citalah kalian semua. Btw vara lagi mager ngetik Magic Cafe, jadi next path aja yak? Wkwkwkk.

Btw klo mau baca beberapa Magic Cafe, Vara klo lagi mood update Magic Cafe di work random Vara. Judulnya Little Star light hwuehe :v

Dah yaw, met berbuka puasa meskipun dah lewaat~~

See you Next Path~♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro