Path-10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menatap kumpulan kertas yang tertempel di mading raksasa, tepat di hadapanku. Aku mengerutkan dahi, tidak mengerti. Kertas berwarna merah, jingga, kuning, dan hijau saling bertumpukan tertempel diatas mading, aku bahkan sampai bingung bagaimana caraku membaca satu-satu kertas sebanyak itu.

"Tempat apa ini?" Tanya Yura yang ekspresinya tidak jauh berbeda dariku. "Banyak sekali kertas aneh."

Lizzy terkekeh pelan. "Ini namanya papan misi. Semua siswa disini dilarang bekerja. Jadi, untuk menghasilkan uang, pihak yayasan memberikan kesempatan mendapatkan uang yang cukup banyak sesuai dengan misi yang siswa ambil. Seperti contohnya kertas hijau itu,"

Lizzy menunjuk kertas hijau yang berada paling atas papan mading raksasa. Sedetik kemudian, muncul layar transparan di hadapan Lizzy.

"Misi harian - Mudah
Mengumpulkan 15 Junk Fruit
dari pohon Oleva di bukit
Roneve, kemudian
serahkan kepada miss Luve
untuk diracik menjadi obat.

Imbalan : 10.000 point

Terima/Tolak"

Aku membaca baris per baris kalimat yang terdapat di layar transparan. "Sepuluh ribu poin? Apa itu maksudnya?"

Lizzy menatapku sambil tersenyum lebar. "Sepuluh ribu poin itu uang yang banyak, Kena! Kita bisa membeli selusin baju modis di pusat kota dengan uang sebanyak itu!"

"Ya, ya ... baiklah. Sekarang aku mengerti, jadi, poin itu seperti mata uang disini, huh?" Ujar Yura sembari menghela napas pendek. "Lalu, dimana letak bukit Roneve ini? Apakah jauh?"


"Sebenarnya tidak jauh," Lizzy mengelus tengkuknya. "Jika naik sapu terbang."

Yura menatap Lizzy dengan tatapan horor. "Aku terbang selama satu menit saja sudah jatuh, apalagi aku harus kesana dengan sapu terbang?!"

"Menurutku ini ide yang bagus." Ujarku tanpa memedulikan tatapan maut dari Yura. "Yura, kamu bisa melatih menaiki sapu terbangmu dalam perjalanan kesana. Atau, jika kamu takut, kenapa kamu tidak memakai kekuatan teleportasimu saja?"

Yura mendengus kasar. "Aku hanya bisa berteleportasi dengan membayangkan tempat yang akan aku tuju. Bagaimana mungkin aku bisa bertelepostasi kesana sedangkan aku tidak tau bagaimana bentuk tempat itu?"

"Ya sudah, itu deritamu."

"Kena jahat!!" Yura mengembungkan pipi chubby nya. "Aku juga mau ikut, tahu!"

"Sudah, sudah, menurutku ucapan Kena tidak ada salahnya dicoba. Lagipula, ujian kenaikan tingkat 'kan sebentar lagi. Kamu tidak mau gagal 'kan? Jika aku pribadi sih, aku tidak mau gagal kali ini." Ujar Lizzy, lengkap dengan senyuman manisnya.

Aku tersenyum penuh kemenangan, sedangkan Yura cemberut penuh kekalahan. "Bagaimana?"

"Baiklah, aku ikut."

"Yosh! Baiklah kalau begitu!" Lizzy menekan tombol "terima" di layar transparan yang mengambang tepat di hadapannya. "Kita berangkat besok sehabis kelas, ya? Menurut perhitunganku, hanya memakan waktu sepuluh menit untuk terbang dari sini ke bukit Roneve. Semangat!"

Aku tersenyum lebar. "Yah, ayo semangat." Godaku sambil melirik Yura dengan tatapan penuh ejekan.

Yura mendengus kesal. "Baiklah, mungkin besok akan menjadi sepuluh menit terburukku."

Aku dan Lizzy hanya bisa tertawa.

***

Aku mengeringkan rambutku dengan handuk. Rasanya segar sekali sehabis kelas langsung mandi. Aku menghempaskan tubuhku ke atas tempat tidur. Jam sudah menunjukan pukul tujuh, waktu makan malam.

Sebuah panggilan masuk dari pocket-ku. Terdapat nama "Elizabeth" diatas layar transpatan. Aku menekan tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan.

"Halo? Kena!! Kamu dimana sih?!"

Telingaku terasa mati rasa. Untung saja ini bukan smart phone yang bila sedang menerima panggilan harus merapatkan ponsel tersebut ke telinga, bisa-bisa telingaku tuli!

"Bisakah kalian tidak berteriak? Aku bisa mendengar kalian, tahu!" Ujarku sedikit sengit.

"Hehe, maaf." Terdengar suara Yura di seberang panggilan. "Kena, kamu dimana sekarang?"

"Di kamar." Jawabku singkat, padat, jelas, dan mudah dipahami.

"Apa?! Dari tadi kami menunggumu di lobby asrama tahu! Cepat turun kesini! Jam makan malam sebentar lagi selesai!!" Kali ini terdengar suara cempreng Lizzy.

Aku berdecak malas. "Aku tidak mau makan malam. Kalian saja sana."

"Kenapa?"

"Malas."

"KENA! MELEWATI MAKAN MALAM ITU TIDAK BAIK!!" Suara Yura yang memekakkan telinga nyaris membuatku tuli. "Kenapa kamu pemalas sekali, sih?! Aku sering heran kenapa kamu dulu dijuluki murid terajin di sekolah!"

Ada disaat tertentu aku ingin Yura menghilang.

"Dan lagi, kenapa kamu begitu tidak peduli dengan pola makan mu?! Nanti kalau kamu sakit bagaimana?!!! Nanti kan aku juga yang sedih!!"

Tapi disaat tertentu juga, aku ingin Yura tetap berada di sisiku.

Aku memang egois.

Tapi aku juga manusia yang tidak luput dari dosa, jadi tidak ada salahnya jika aku juga memiliki sifat egoisme.

"Tapi aku malas." Sayangnya rasa malasku lebih besar daripada rasa keinginanku untuk hidup sehat. Lagipula aku juga tidak terlalu memikirkan pola makanku. Tidak penting.

Dan saat itu juga, sambungan panggilannya dimatikan.

Sempat terlintas di benakku bahwa Yura marah, tapi biarlah. Toh, besok juga paling akan baik lagi.

Karena bosan, aku hanya berguling-gulingan diatas tempat tidur. Ini sungguh membosankan! Tidak ada gadget, tidak ada novel, tidak ada televisi yang biasa mengisi waktu luangku. Ah! Bagaimana mungkin yang seperti ini dibilang lebih maju?! Apa aku harus pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku? Tapi, aku malas beranjak dari tempat tidurku!

Dalam kebosanan ini, aku teringat sesuatu. Dengan semangat, aku beranjak duduk di atas ranjang dan mengotak-atik pocket-ku. Aku membuka pesan dari miss Vere, yang berisi bocoran ujian.

Aku membaca sebaris kalimat yang tertera di layar transparan.

"Latih kecepatanmu."

Itu, hanya itu yang tertera di layar pesan pocket-ku. Apa ini? Ini bahkan sama sekali bukanlah sebuah bocoran. Ini lebih seperti .... peringatan? Entahlah, aku tidak peduli.

Aku menutup layar pocket-ku dan kemudian kembali berbaring diatas ranjang. Baru kali ini aku merasa hidup begitu membosankan.

Ah, harusnya tadi aku menerima ajakan Yura dan Lizzy untuk makan malam.

Tapi mau bagaimana lagi? Aku paling malas makan malam. Aku merasa makan terlalu banyak saat makan siang tadi, tapi entah mengapa perutku mulai menggerutu.

Oh, ayolah. Sekarang sudah hampir jam delapan dan makan malam pasti sudah berakhir. Tidak mungkin aku meminta ibu penjaga cafeteria untuk memasakkan sepiring omelet untukku.

Bicara soal omelet, aku jadi rindu masakan ibu. Bagaimana kabar ibu? Apa ibu sedih aku menghilang? Apakah aku tidak akan bisa bertemu ibu lagi seumur hidupku? Bagaimana ini? Aku rindu rumah, rindu roti bakar buatan ibu, aku rindu ibu.

Aku menyeka setetes air mata yang mengalir dengan mulus di pipiku. Aku menangis? Tidak. Untuk apa aku menangisi apa yang sudah terjadi? Itu hanya membuang tenagaku.

Baiklah, aku harus melupakan apa yang barusan aku pikirkan! Aku menepuk kedua pipiku dengan keras. "Ayo, semangat, Kena!"

Biasanya jika sedang galau begini, aku memikirkan sesuatu yang kusukai. Seperti ... roti bakar cokelat ....

Ah, sial. Kali ini aku benar-benar lapar.

Aku merasa bagaikan orang paling kelaparan di dunia, dan yang bisa aku lakukan hanyalah uring-uringan diatas tempat tidur.

Benar-benar memalukan.

Aku mendengar pintu kamarku terbuka. Aku membeku sesaat, siapa yang mau bertamu malam-malam begini? Apakah ... yang membuka pintuku barusan ... ha, hantu?!

Aku merinding, dan karena takut, aku aku bersembunyi dibawah selimut tebal. Aku merapalkan doa dalam hati, semoga saja itu hanya angin.

Aku mendengar langkah kaki mulai mendekatiku, aku merapatkan selimutku. Aku sangat ketakutan. Tapi, sesuatu yang manis tercium di hidungku. Sesuatu yang harum dan membuat perutku meronta-ronta. Dengan sisa nyali yang kupunya, aku menurunkan sedikit selimutku dan mengintip.

"DOR!"

"WAAA!!!" Jantungku nyaris copot saat melihat Xia-xia terbang dengan wajah meledek, menyebalkan.

"Xia-xia! Menyebalkan sekali!"

"Habisnya kamu penakut sih, menyedihkan." Ujar Xia-xia dengan tampang merendahkan.

Wajahku memerah menahan malu. "Heh?! Bilang apa kamu??!"

"Sudah, sudah!" Yura dan Lizzy menghela napas bersamaan, begitu pula dengan Yumi dan Fance.

"Nih," Yura menyerahkan plastik putih dengan setengah ikhlas.

"Apa ini?"

"Roti bakar cokelat keju, desert malam ini." Jawab Yura dengan kesal. "Tadinya aku mau membungkuskanmu nasi kari, tapi karinya tidak enak, aku bahkan hampir muntah memakannya. Mana ada kari dengan potongan wortel? Menjijikan."

Lizzy tertawa. "Sepertinya lidah Yura terlalu berkelas, ya? Dia tadi bahkan membujuk miss Rane agar dia yang memasak, atau paling tidak dia yang menulis resep katanya."

Aku ikut tertawa. "Jika Yura yang masak, mungkin porsi makanku akan bertambah."

Yura tersenyum mendengar pujian tidak langsung dariku.

"Memang sebegitu lezatnya ya masakan Yura?" Tanya Yumi dengan nada merendahkan.

Yura memutar matanya jengkel. Aku jadi ikut-ikutan dongkol. Sifat Yumi dengan Xia-xia sebelas dua belas, bukan, justru sama-sama sebelas jika perlu.

"Baiklah, sebaiknya kita kembali ke kamar masing-masing. Kita harus mempersiapkan energi untuk besok." Saran Lizzy sembari membuka pintu kamarku.

Yura, Yumi, dan Fance menyusul Lizzy keluar dari kamarku. "Jangan lupa kunci kamarmu, Kena!"

Aku tertawa, kemudian mengangguk.

"Selamat malam."

To be continue ...

Published 31-07-18

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro