Maaf, Pindah, Melindungi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tag : Forwistree
Jumlah kata : 2.666
Penulis : Yemi 🍭

▪■▪

Sepanjang lorong yang dilaluinya terasa asing, bukan bangunannya karena sama saja seperti kelasnya, pilar abu-abu dari bebatuan, dinding dan lantai seputih salju. Akan tetapi, tiap langkahnya sedikit berat.

Bukan karena enggan menuju kelas barunya yang dikenal kelas penyihir tingkat atas—itu sedikit sinis, ejekan bercampur mengagumi karena nama kelasnya memang hanya huruf A dan kebetulan berada di lantai ketiga—gadis itu kesulitan menggerakkan kakinya untuk maju.

Saat merasakan angin menekannya sedetik, dia membeku. Dari mana angin tadi, jika kanan-kiri tertutup di dinding, juga ada atap yang kuat?

Belum sampai sedetik dia berbalik, angin itu datang lagi, kemudian kegelapan menangkapnya.

Dia menjerit hingga seseorang membekap mulutnya.

"Kau siapa, sih, seenaknya teriak?"

Tajam sekali suaranya.

"Itu cuma kertas dan kau sampai teriak? Kau ketularan bodohnya anak kelas B ya?"

Gadis itu mengernyitkan dahi. "Kelas kami tidak ada yang bodoh," katanya sambil melepaskan secarik kertas dari wajah. Pantas tadi tiba-tiba gelap, wajahnya tertutup benda itu. "Tidak tahu ya, kalau sembarangan mengatai orang lain bodoh, sebenarnya dalam dirimu juga a–"

"Kau mau bilang apa?" Biji mata ungu lelaki di depannya amat menakutkan. Gadis itu menunduk tanpa sadar.

"Omong-omong, kau siapa? Kau dari kelas B kan? Kenapa ada di depan kelas kami? Siapa yang ingin kau datangi? Atas izin siapa?"

"Aku kok merasa diinterogasi, ya?"

"Oh baguslah kau sadar."

Kepala gadis itu semakin menunduk. "Kepala sekolah ... dan pembimbing penyihir level A ...," jawabnya pelan, sampai-sampai lelaki di depannya memutar bola mata, gemas.

"Aku tidak paham. Lebih baik kau pergi."

"Baik."

Cih, anak kelas B digertak sedikit langsung melemah. Dasar payah. Diam-diam lelaki itu mengejek.

"Kalau begitu, aku duluan." Gadis itu menjauh. Entah kenapa langkahnya jadi lebih ringan, seolah dari awal dia tidak diperbolehkan mendekat. Dia menoleh sedikit.

Laki-laki itu sudah hilang.

"Sepertinya akan sekelas. Gawat. Aku mengejeknya.  Nanti kalau ketemu, aku harus minta maaf."

Dia mengangkat kertas hitam yang tadi terbang ke wajahnya.

"Ini ... ya ampun!" Dia menoleh ke kanan-kiri. "Aku bawa ke Miss Aria saja. Dia kan pembimbing penyihir level A."

▪■▪

"

Ha ha ha, ada yang dihukum karena bodoh. Badannya yang tegak, Ver! Ha ha!"

Dever berdecak lantas menoleh ke arah pintu. "Miss Aria! Tugas saya hilang karena Riddle menggunakan kekuatan tembus pandangnya."

Riddle menyeringai. "Kan, sudah kubilang, aku sudah melepaskannya.  Dever payah, payah, payah."

"Kau melepaskannya saat aku sedang dalam wujud angin, sialan. Tentu saja itu akan menghilang! Dasar serangga!"

"Apa? Kau panggil aku apa!"

"Serangga. Riddle serangga.  Ah, kau tidak suka, ya? Parasit saja kalau begitu."

"Kau be– mph. Mph? Hmmph!" Riddle melihat bibirnya dengan panik, lalu menoleh ke arah pintu. Miss Aria sedang menatap datar ke arah mereka.

"Dasar. Saya ke kantor sebentar dan kalian sudah seperti itu lagi. Saya kunci mulut kalian tiga hari, jadi kalian tidak bisa bicara, makan, dan minum. Mau begitu?"

Riddle menggeleng cepat, sementara Dever tetap pada sikap hukumannya, berlutut sambil mengangkat tangan, sementara pandangannya terkunci ke arah gadis yang digandeng oleh pembimbing mereka.

"Kenapa Dever?" tanya Miss Aria sedikit membuatnya merinding.

"Miss, kenapa gadis bo– maksud saya siapa itu?"

Gadis biasa dengan tatapan lugu dan pakaian putih yang tadi berteriak karena kertas ...

Setelah kupikir lagi, kertas di lorong kelas pasti kertas yang dibawa kabur Riddle.

"Ayo masuklah, Biky."

Biky? Dever menaikkan alis. Namanya juga terkesan bodoh. Tapi kenapa di sini?

"Eh ... maju seperti ini?" Biky maju selangkah dan kini sudah berada di dalam kelas.

"Majunya biasa saja kan bisa," cibir Dever tanpa sadar dan akhirnya bibirnya juga dikunci.

"Namaku Biky. Jadi begini ...," dia meremas ujung rok selutut," a–atas perintah kepala sekolah dan Miss Aria, selama seminggu aku akan berada di kelas ini sebagai masa percobaan. Mohon berteman, maksudku bantuannya."

Biky menoleh lagi ke Miss Aria. "Setelah ini saya harus apa ya?"

"Ha ha ha, Biky lucu sekali kalau gugup ya? Biky duduk di samping Dever saja." Untuk sesaat Biky merasa akan jantungan.  "Dever, kau bisa duduk sekarang. Jangan bertengkar saat saya tidak ada di sini."

Dever dan Biky saling bertatapan. Baru saja gadis berambut cokelat itu ingin menyapa, lelaki itu menghilang, angin berhembus hingga roknya hampir tersibak jika tidak dia tahan.

Saat itu, dia langsung tahu kenapa ada angin di lorong tadi.

"Kau duduk di sini, cepat." Dever menendang kursi di sebelahnya.

Biky hanya diam.

"Miss Aria, sepertinya dia tidak bisa mendengar," ketus Dever bermaksud menggertak lagi. Baginya, duduk bersama satu gadis asing bukan masalah. Gadis itu cuma level B yang menumpang di kelasnya selama seminggu. Dever berencana menggertaknya terus sampai si Biky Bodoh itu memohon keluar bahkan sebelum seminggu.

"Miss Aria."

"Kenapa Biky?"

Lelaki mata ungu itu tertawa dalam hati. Bahkan belum dimulai, tapi tampaknya Biky terlalu penakut untuk berada di samping seorang Dever.

"Tadi saya menemukan ini di lorong." Biky mengeluarkan kertas hitam yang sudah dia sembunyikan dari tadi di dalam kepalan tangan. Bisa dia lihat wajah Dever semakin menyeramkan. Tapi dia tidak berhenti.

"Saya tahu ini punya siapa, tapi sepertinya dia tidak mau ini dikembalikan. Boleh saya tahan ini selama seminggu?"

Miss Aria terkejut, tetapi kemudian mengangguk kecil.

Sejak itu, ketegangan yang biasanya disebabkan dua lelaki di kelas penyihir level A, bertambah satu orang.

Akan tetapi, kali ini lebih seru.

▪■▪

"Pagi, Dever."

Dever memutar bola mata malas tapi di saat yang bersamaan lega karena Biky sudah datang. 

Rupanya gadis itu harus belajar di dua kelas, entah karena alasan apa, Dever tebak karena Biky bodoh. Tapi sebelum tengah hari, setiap pagi Dever kena hukuman dari Miss Aria seperti kemarin, dan baru lepas jika gadis itu datang.

"Kau tidak lihat matahari sudah ada di atas langit? Ini siang, Level B."

"Hai, Riddle!" Kali ini Biky lebih riang menyapa lelaki itu.

"Hai, Biky imut! Mau duduk di sampingku? Daripada dengan pengecut di sana yang diam-diam ingin membuka tas seorang gadis?" sindir Riddle tepat sasaran. Biky langsung mundur dan memeluk tasnya, sebab di dalam ada kertas penilaian mingguannya.

Dever berdecak, lantas membuang muka. "Sudahlah aku mau duduk saja. Pergi kau, Level B! Bergaul dengan sesama rendahan, lucu sekali."

Riddle ingin membalas, tapi wajah Biky yang menatapnya lekat dengan ekspresi bingung membuatnya ikut kebingungan. 

"A–apa? Apa?" Dia sedikit menaikkan nadanya, meski tak bermaksud menantang Biky.

"Hmm. Riddle memang lucu, mata abu-abunya mirip kelinci. Kalau dibayangkan jadi menggemaskan!"

Hening sesaat membuat Biky merasa bersalah.

"Sepertinya aku salah bicara. Maaf maksudku Riddle memang laki-laki, kok. Tapi kelinci ada yang jantan. Hah!" Biky menepuk mulutnya. "Bukan! Bukan mengejek. Itu pujian. Jangan marah, Riddle. Aku minta maaf ya?"

Dari kejauhan, Dever mendengarkan semuanya dan merasa aneh sendiri. "Padahal, dia tidak salah. Ah, fokus-fokus. Sekarang bisa belajar dengan duduk."

Dia menatap kursi di samping dan Biky secara bergantian.

"Biky."

"Sebentar, Riddle."

Biky membalikkan badan. Hal yang dilihatnya adalah kursinya terbang hingga keluar dari jendela kelas, hanya karena Dever menendangnya. Lelaki itu tersenyum meremehkan.

Sementara itu, semua murid menahan napas. Mereka menatap iba pada korbannya.

"Oh? Kau tidak bisa duduk di sini. Jadi kau dengan Riddle saja sana. Cocok, sama-sama lemah perasaan."

Biky mengerutkan dahi. "Kenapa melakukan itu terus? Kekanakan."

"Pft! Oh? Aku bersin, maaf ya Biky," ucap Riddle sambil menahan tawa.

Beberapa detik kemudian, barulah dia tersadar. Dia bilang "maaf". Satu kata yang tidak pernah terdengar di kelas ini.

"Ha! Orang lembek di sampingmu itu yang kekanakan. Otak bodoh milikmu itu tidak bisa membedakan mana yang hebat dan ceroboh."

Biky menaikkan alisnya. "Riddle bersin karena ada debu. Kalau tidak tahu, bisa tidak jangan ambil kesimpulan? Kan, Dever tidak suka orang bodoh, jadi jangan jadi orang bodoh."

Kali ini Riddle berhasil menahan tawa keluar dari mulut. Sebagai gantinya, dia mengejek lewat tatapan mata dan juluran lidah.

Dever menatap tajam Biky yang mendekat, hingga jarak mereka hanya dipisahkan oleh meja.

"Kau mau apa? Duduk di sini? Tidak ada kursi."

Biky mengembuskan napas panjang. "Aku minta maaf sudah buat kamu marah dua kali. Tapi aku kasihan kursinya. Hanya akan kukembalikan, lalu aku pergi, kok."

"Ya, benar kau itu membuatku marah. Kata maaf itu tidak cukup."

"Cukup, kok." Biky menyentuh meja itu agak lama. Hingga muncul bayangan jam kuno, dengan menit berjalan mundur. Kemudian kursi yang tadinya terlempar, muncul kembali dengan sangat tiba-tiba.

"Kau ... mengendalikan ... kok bisa? Anak level B kan hanya bisa mantera!"

"Dever, itu benar, kok. Barusan aku membaca mantera. Efeknya mirip kan, dengan Dever dan Riddle yang bisa menjadi angin dan menghilangkan diri? Bedanya–"

"Jangan-jangan kau di sini karena mau menantangku?"

"Ada orang tidak mau kalah sedang merengek, nih," ledek Riddle memperkeruh suasana. Sebah setelah itu, Dever berubah lagi menjadi angin dan menyerang leher lelaki bermata merah itu.

"Sialan kau, Dever!"

Semua anak kelas tidak ada yang melerai. Bahkan ada yang menarik Biky untuk menepi. Gadis itu membisu tak mengerti.

Riddle dan Dever menjadi kasat mata. Tapi dari letak meja dan kursi yang bergeser bahkan terlempar ke tembok dengan cepat dan membuat murid lainnya menjerit.

Untuk mengembalikan semuanya, Biky harus menyentuh meja dan kursi itu satu persatu.

"Berat," gumamnya ketika ingin melangkah. "Seperti waktu itu?"

"Itu karena mereka kuat, Biky. Untunglah kamu tidak di tengah mereka." Seorang gadis lain yang mendengar Biky bergumam berbisik, "ruang kelas ini luas, kok. Mereka juga akan keluar jika meneruskan perkelahiannya. Biky tenang ya."

"Ini siapa ya?"

"Pili. Ha ha maaf aku kemarin tidak masuk, tapi karena kalian ribut aku jadi tahu kamu siapa."

Biky menyentuh tangan Pili yang ada di bahunya. "Jadi, kenapa berat? Hanya di kelas ini dan lorong depan yang seperti itu."

"Sederhananya, karena mereka kuat sekali, jadi daratan meminimalisir kerusakan, jika yang memasuki daratan di dekat mereka bukan orang kuat, akan terasa berat. Tapi tidak sakit, kok."

Biky mengangguk. Jadi saat itu berat, lalu ada kertas hitam, dan angin. Mereka bertengkar ya.

Gadis itu memiringkan kepalanya. Kemudian tersenyum.

"Terima kasih, Pili. Tapi tidak baik membiarkan mereka bertengkar apalagi mereka sama-sama kuat. Nanti ada yang terluka."

"Biky? Mau ke mana? Hei tunggu saja!"

Namun, Biky tidak mendengarkan. Pili benar, daratan yang dia pijak seolah menolak langkahnya. Berat sekali hanya untuk menapak. Apalagi, dia tidak tahu kapan meja dan kursi di sampingnya bergeser atau malah terlempar padanya.

"Dever di mana ya? Kalau aku menyentuhnya asal bisa tidak ya?" gumamnya sambil berusaha maju.

Sesaat kemudian angin kencang berada di sampingnya, saat itu juga Biky menjulurkan tangannya. Aha! Dapat! Sekarang tinggal membaca mantera!

Tak lama untuknya membuat Dever terlihat, seperti beberapa waktu sebelumnya. Dia tersenyum menanggapi tatapan tajam lelaki itu.

"Udah dulu, yuk beran ... eh?"

Penglihatannya mengabur, kemudian  tubuhnya oleng kala sesuatu yang berat dan tumpul menghantam punggungnya.

"Biky!"

Dever dengan sigap menangkap tubuh gadis itu. Punggungnya terasa basah dan tercium bau anyir. Dia menyentuh sedikit pakaian gadis itu, darah menempel di telapak tangannya.

Keributan tadi berganti kecemasan. Riddle sudah terlihat dengan napas tersengal-sengal, menatap tak percaya  ke arah punggung Biky.

"Aku ... pikir tadi dia tidak ada di sana. Maksudku, kalau itu kau–"

"Hei."

Riddle tersentak. Raut wajahnya kacau, sempat membuat anak lainnya tertegun.

"JANGAN DIAM DI SINI SEMUA! SANA PANGGIL MISS ARIA KE UKS!" murka Dever.

Setelah itu, dia mengangkat Biky ke atas meja. Dengan kepayahan dia memindahkan tubuh gadis itu ke punggungnya.

"Dih, berat. Makan apa dia? Jangan sampai turun berat badannya!" omelnya sebelum keluar dari kelas, mengikuti Pili yang berlari memanggil Miss Aria.

Semuanya heboh melihat Dever mau menggendong anak level B itu. Sementara di belakang mereka, Riddle ... meneteskan air mata.

Kenapa sesak?

▪■▪

"Hei, kau mau langsung pulang?"

Pertanyaan Biky kemarin ketika jam sekolah berakhir tiba-tiba terngiang begitu saja.

"Pulanglah, kenapa harus di sini lebih lama?"

"Untuk berkemah?"

"Konyol."

"He he, bercanda. Aku mau pulang juga."

Gadis itu aneh. Dia tersenyum seolah tidak takut padanya.  Padahal, Riddle yakin Biky mendengarnya dan Dever berdebat di kelas.

"Kau ... tidak takut diganggu?"

"Siapa?"

"Diganggu olehku."

"Oh ... padahal tadinya kupikir ada hantu." Biky memeluk tasnya erat.

Riddle menyeringai. Gadis di depannya seolah-olah tidak beranggapan dia jahat atau bocah atau penyihir yang harus diwaspadai.

"Aku bisa melakukan hal yang mirip," candanya, terkekeh geli melihat Biky menanggapinya dengan serius. "Mau jadi temanku?"

"Mau, dong. Tapi tidak apa berteman denganku? Dever tidak akan suka."

"Pikiran dan perkataannya tidak mempengaruhi keinginanku, dong."

Biky mengerjap. "Tapi tadi sakit hati kan karena diejek?"

Sejujurnya, Riddle kira anak itu bermaksud menyindirnya. Tapi dia tidak memandangnya seperti Dever melihatnya; merendahkan.

"Itu kan karena dia mengejek, salah ya marah? Terus, kok, aku jadi cerita ke anak level B?"

"Benar juga. Maaf, tidak sebanding ya? Tapi aku suka mendengarkan, jadi Riddle," Biky berhenti melangkah, "karena kita berteman sekarang, aku bisa mendengarkan kau bercerita apa pun itu."

"Jadi, kenapa teman baruku bertanya aku langsung pulang atau tidak?"

"Ah, itu! Tadi Dever tidak marah-marah setelah aku bilang tidak akan mengembalikan kertas hitam ini. Kenapa begitu?"

"Di kelas kami, ada ujian mingguan. Pembimbing kami ingin kami menuliskan kemajuan kekuatan kami. Aku berniat mengintip. Ternyata  tertulis kekuatannya ada di atasku. Karena kesal, aku bawa kabur. Lalu seperti itulah akhirnya, kalau kehilangan itu selama seminggu dia akan dihukum. Ha ha rasakan!" Riddle tertawa puas sebentar. 

"Aneh sekali."

"Iya dia aneh."

"Sebenarnya maksudku Riddle. Jangan marah dulu!"

"Pandai ya baca ekspresi."

"Alis Riddle mengkerut, sih."

Padahal di kelas, Riddle seperti itu pun tidak ada yang melihat atau melarang ... tidak dipedulikan. 

"Ya sudah, kenapa coba aku aneh?"

Sepertinya baru kali itu, Riddle mengesampingkan keinginannya untuk marah. 

"Sebenarnya mungkin aku sok tahu. Jadi aku diam saja atau–"

"Jelaskan!"

"I–itu dalam pandanganku Riddle peduli dengan pandangan Dever. Jadi aneh kalau Dever kena hukum tapi Riddle malah tertawa. Eh tapi tentu saja ... aku tahu apa."

"Jadi?"

"Sampai jumpa besok?"

"Oke. Sampai ketemu lagi, Teman Level B."

"Namaku Biky."

"Iya, siapa yang bilang tidak?"

Begitulah percakapan mereka berakhir.

Teman, Biky, dan luka. Bahkan memikirkan itu saja, membuat Riddle muak dengan dirinya.

"Apa pentingnya membalas pancingan atau sikap merendahkannya itu? Aku malah melukainya. Lalu yang menolongnya justru Dever."

Riddle terdiam. Lalu mengambil tiga tas, miliknya, Biky dan Dever. Sebelum keluar, dia ragu. Perlu sekali ya bawa punya Dever juga?

Ah tidak penting memikirkan itu.

▪■▪

"Kalian berdua parah, ya. Anak baru dibuat samsak. Kalian mau tidak makan dan minum satu bulan?" Miss Aria bersiap mengeluarkan kekuatan dari jari telunjuknya.

"Bukan begitu!" sangkal Dever.

"Benar, bukan begitu. Biky tadi mau melerai kami!" Riddle menambahkan.

"Iya begitu, lalu dia pingsan ...." Dever menunduk, tak sadar Miss Aria takjub.

"Maafkan aku," kata mereka bersamaan.

"Kalian ... rebutan Biky?"

"Bukan."

"Belum!"

Keduanya berpandangan.  Miss Aria membuang pandangan. Jangan sampai kesan galaknya runtuh karena mereka melihatnya tersenyum.  Sekarang susah sekali menahan tawa.

"Hei, Dever, kenapa bilang belum?"

"Kenapa? Kan artinya sama yaitu tidak."

"Kalau bukan itu artinya tidak sama sekali."

"Kalau belum artinya itu ... artinya tidak!"

"Ya sudah. Miss Aria, kapan Biky bangun?"

"Kau tidak boleh bertanya. Kau kan yang membuatnya pingsan!"

"Kau juga tidak boleh melarangku. Kau yang menyerangku duluan!"

"Kalian harusnya berhenti begitu dan minta maaf, untung yang terluka bukan kalian."

"Tapi yang kena kan kau!"

"Benar, harusnya bukan Biky ... BIKY, TEMANKU BANGUN!"

Riddle berdiri dan hampir memeluk gadis itu, kalau Dever tidak menahannya dengan memberi tekanan angin di depannya. 

"Dia temanku juga. Jaga sikapmu."

"Kalian ... ah sakit." Biky merintih saat berusaha terbangun.

"Jangan gerak."

"Kalau lihat saja?"

"Boleh."

"Riddle kok wajahnya mau marah?"

"Si sia– maksudku Dever menahanku. Itu bukan kemauanku kalau alir mataku berkerut!"

"Huh, bisa bicara juga kau."

Diam-diam Miss Aria meninggalkan UKS. Ia rasa tanpa ada di sana pun, mereka tidak bertengkar.

"Kenapa wajah kalian seperti baru saja memasukkan orang kandang banteng?"

"Aku memang melakukan hal yang mirip," balas Riddle sambil tersenyum getir.

"Wajahku biasa saja."

"Sebentar, aku mau lihat–"

Lagi-lagi Dever menggunakan kekuatannya agar Riddle tidak bisa maju. "Tidak perlu. Kau juga Biky, cepat sembuh. Kalau berat badanmu turun, anak itu yang kuhajar."

"Apa, sih! Seperti kau lupa saja kalau kau yang menendang kursi Biky!"

"Kan kau yang minta dia duduk di sampingmu. Miss Aria bilang dia duduk di sebelahku."

Keduanya terdiam.

"Apa? Apa lihat-lihat?"

"Dever kau," Biky menutup mulut.

"Kau suka Biky, ya?" tuduh Riddle.

"Bukan."

"Ternyata benar!" seru Biky yang dibalas gelengan Dever. "Meskipun tajam, kasar, suka menyalahkan orang lain, sebenarnya Dever sopan dan patuh dengan orang yang lebih tua ya! Senangnya Dever punya sisi baik."

"Aku ini hebat dan juga baik."

"HA HA, MESKIPUN, SIH."

Mereka bertiga duduk akur di ruang yang sama, tanpa mengejek merendahkan, tertawa bersama sebagai kawan.

















Author note teret teret teret~

Hehehehehehehehhe
BECAUSE HARI INI TIDAK ADA DEADLINE BISA NYICIL GAMBAR DAN NULIS AHAY AYEY EUY EUY

Tapi tanganku sakit sih😭 gapapa-gapapa, bukan jarinya jadi gapapa~

SUMPAH PENGEN GELUD DENGAN DEVER 😭
DEVER, KAMU ADA MASALAH HIDUP APA SIH?! /heh

Kelas A kekuatannya  dikontrol dan digunakan di diri sendiri
Kelas B butuh mantera agar bisa mengaktifkan kekuatannya itu pun perlu kontak fisik

😭 A(tas) dan B(odoh). Yang bodoh siapa? Dever /heh

I mean, bruh berteman tuh sama semua tipe juga bisa, kalau niatnya mau berteman.

I LOVE THE MOMENT I WRITE IT aku baru sadar sakit pas udah 800 an tapi bisa aku teruskan sampai 2666! Sekali setahun ini mah 😭

BTW APA KABAR KALIAN😭 GA TAHU SIH NYAPA SIAPA, SIAPA PUN YANG BACA SEMOGA KABARNYA SEHAT PIKIRAN DAN FISIK, SEMOGA MOODNYA CERAH, KALAU GELAP AYO TIDUR, APA ITU PR /heh

Aku kesusahan nulis ending  (1) Aku nulis keluar 90% dari outline (2) Aku nulis dari jam 4 sore dan baru selesai jam 9 malam.

Yak yak ini dia perubahan dari excited jadi gloomy 😭

UDAHLAH YANG PENTING NGERJAIN!
'-')9

Terima kasih yang sudah meluangkan waktu untuk membaca ya (≧▽≦) bahkan author notenya juga 😭👌

Terima kasih untuk semua dukungan yang kalian berikan, entah itu vote/komentar(*˘︶˘*).。*♡

Yemi pamit, kalau nggak nugas ya tidur 😭tanganku abis ditusuk/bukan, abis disuntik dan masih nyuttttt gitu

Dadahhh selamat malam all ><

Salam semanis lolipop,
Yemimaliez 🍭






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro