17. Cemburu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alvaro memperhatikan gerak-gerik Titania yang sedang melipat jas laboratorium yang sudah selesai ia pakai, sampai saat ini gadis itu masih tidak mau jujur dan memberitahu siapa pemilik jas laboratorium itu. Meskipun sebenarnya Alvaro sudah tahu, ia hanya menginginkan kejujuran Titania.

"Kamu mau ke mana?"

"Al, panggilannya bisa lo gue aja nggak? Gue belum terlalu nyaman sama panggilan aku kamu," kata Titania setelah selesai melipat jas, gadis itu duduk di kursi. Sementara Alvaro yang mendengar perkataan Titania pun mengangguk saja.

"Gue mau ke kantin," katanya.

Alvaro mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya, jam sudah menunjukkan pukul dua belas kurang enam belas menit. "Mau gue antar?" tanyanya membuat Titania membulatkan matanya, jelas sekali gadis itu akan mengembalikan jas itu kepada pemiliknya.

"Emm, nggak usah. Gue mau beli minum doang kok, lo mau nitip apa gitu?" katanya yang dijawab gelengan ringan oleh Alvaro. "Gue ke kantin dulu ya," pamitnya.

Alvaro mengangguk. "Jasnya kok dibawa?"

Pertanyaan darinya membuat Titania menghentikan langkahnya dan menoleh, senyuman terbit di bibir gadis itu membuat Alvaro ikut tersenyum.

"Iya, mau sekalian dibalikin."

Alvaro kemudian mengangguk dan memperhatikan punggung gadis itu yang mulai mengecil dan hilang dari pandangannya saat keluar dari pintu. Alvaro bangkit dan berjalan mengikuti langkah Titania dengan hati-hati, ia tidak mau gadis itu tahu keberadaannya.

Alvaro memperhatikan Titania yang sedang menunggu di depan kelas Bara, tidak lama kemudian seseorang yang ia duga benar-benar keluar dari ruangan itu. Hati Alvaro sedikit panas melihat interaksi antara Titania dan Bara.

Setelah selesai, tampak Titania berbalik meninggalkan kelas itu hanya saja tatapannya terpaku menatap lurus ke arah mata Alvaro yang sedang menatapnya dengan nafas yang memburu. Alvaro segera melangkah kembali ke kelasnya dengan Titania mengejarnya.

"Al!"

"Alvaro!"

"Al!"

Alvaro masih teguh pada hatinya, ia akan mendiamkan Titania hingga gadis itu menjelaskan dengan gamblang apa yang terjadi sebenarnya. Titania mengejar Alvaro hingga di depan ruang musik, ruangan yang sangat jarang dilewati orang.

Langkah Alvaro terhenti saat Titania berhasil mencekal lengan tangannya, cowok itu masih diam di tempatnya dengan wajah datarnya. Titania melangkah hingga mereka saling berhadapan, Alvaro hanya diam saja.

"Gue nggak ada maksud apa-apa."

Ucapan Titania benar-benar tidak pernah berpengaruh padanya, Alvaro hanya diam menatap lurus ke depan dengan tatapan tajam. "Nggak usah jelasih apa-apa, Ta. Kalau akhirnya lo bakalan balik lagi sama dia," katanya membuat Titania menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Nggak, nggak gitu. Gue nggak ada maksud apa-apa, gue cuma nyari jas dan dia nawarin ke gue. Gue nggak sengaja datang ke dia buat pinjem, tapi gue emang lagi butuh jas itu dia nawarin. Lo ngerti kan maksud aku?"

Alvaro hanya diam menyusuri manik mata Titania yang terlihat sangat bersalah, tangan mereka masih bertaut satu sama lain. "Apa ini juga alasan yang buat lo nggak mau pakai aku-kamu? Lo takut Bara marah karena hal ini," katanya

Titania gelagapan, ini tidak tahu jika Alvaro akan semarah ini padanya. "Itu nggak ada kaitannya sama Bara, Al. Percaya deh," katanya membuat Alvaro berdecap ringan.

"Percaya? Apa yang harus gue percaya kalau hal sekecil ini aja lo nggak cerita? Dan terkesan ditutup-tutupi."

***

Saat ini, baik Alvaro maupun Titania tidak ada yang membuka suara. Saat bel pulang pun, mereka hanya diam di tempatnya sedangkan teman-temannya sudah beranjak dari kursinya untuk segera pulang.

Titania yang tahan dengan posisi seperti itu pun segera membereskan semua buku-bukunya dan segera beranjak. "Gue mau pulang," katanya seraya menunggu Alvaro untuk memberinya jalan, hanya saja Alvaro masih diam di tempatnya.

"Lo kenapa sih?"

Alvaro menghembuskan napas panjang dan menatap Titania. "Lo anggap gue siapa, Ta?" tanyanya, Titania kembali duduk di kursinya.

"Ya lo cowok gue, Al. Gue minta maaf kalau lo nggak suka gue pinjem jasnya Bara," katanya dengan pasrah.

Alvaro yang mendengar bahwa Titania menganggapnya sebagai cowoknya pun tersenyum dalam hati. "Jangan diulangi, gue nggak suka."

Titania mengangguk. "Itu juga terpaksa, nggak ada yang mau pinjemin. Ternyata Bara nawarin sendiri, dari pada aku nggak masuk mapel pak Hermawan."

"Lain kali kalau ada apa-apa, ngomong sama gue. Lo udah punya gue, Ta. Dulu sama sekarang beda, dulu lo memang melakukan apa-apa sendiri. Sekarang ada gue, gue yang bakalan berusaha buat lo," katanya seraya menatap manik mata Titania. "Gue cuma nggak mau lo susah, apalagi berhubungan sama Bara."

Titania diam.

"Gue cemburu."

Titania tersenyum tipis membuat Alvaro yang melihatnya mendengus. Gadis itu mengangkat sebelah alisnya dan menatap Alvaro dengan tatapan bertanya-tanya. "Kenapa?"

"Kenapa malah senyum-senyum?"

Alvaro segera menggendong tasnya dan melangkah keluar mengandeng tangan Titania, Titania yang melihat hal itu pun tersenyum. Tanpa saja hatinya mulai menerima segala perlakuan manis Alvaro, membuatnya kembali merasakan jatuh cinta lagi. Titania tidak menyangka jika ia bisa berdamai dengan hatinya secepat ini.

"Mau mampir ke mana?"

"Nggak usah," kata Titania.

"Aku lapar, ke warung bakso yuk?" ajaknya, Titania mengangguk kecil menuruti ucapan Alvaro.

Setelah sampai di parkiran, Titania menunggu Alvaro di depan parkiran. Alvaro memarkirkan motornya cukup jauh membuatnya harus menunggu beberapa menit, tak lama kemudian Alvaro berhenti di depannya.

"Pakai helmnya."

"Dekat ini, nggak usah ah," kata Titania membuat Alvaro mendengus kecil.

"Pakai."

***

"Boleh minta nomor whatsapp nggak?"

Ucapan cowok yang ada di meja sebelah membuat Alvaro melirik Titania lewat ekor matanya, Titania yang diam saja namun para cowok itu masih teguh pada pendiriannya untuk meminta nomor ponsel gadis itu.

Bunyi denting sendok dan garpu yang dibanting di atas mangkuk membuat Titania berjengit kaget, gadis itu melirik Alvaro yang diam saja. Ia tahu jika cowok itu marah dengan orang-orang yang terus mengganggunya, Alvaro berpamitan untuk mengambil kerupuk padahal di dekatnya juga terdapat kerupuk.

Dari pada membuat Alvaro bertambah marah, lebih baik Titania menurut saja apa yang dikatakan Alvaro.

Setelah selesai dengan urusannya, Alvaro meminta Titania untuk bergeser. Lebih tepatnya Alvaro tidak ingin gadis itu dekat-dekat dengan cowok-cowok aneh yang ada di meja sebelah.

"Cowoknya apa kakaknya nih?"

"Kakaknya kayaknya."

"Gas ajalah."

"Bang, boleh minta nomor adik lo nggak?" kata salah satu cowok itu membuat Alvaro mengangkat sebelah alisnya.

"Buat apa?"

"Buat nambah teman aja, Bang," katanya dengan cengengesan.

"Nggak bisa."

Meskipun Alvaro sudah bersuara dingin, hanya saja cowok itu masih keukeh dengan keinginannya untuk memiliki nomor ponsel Titania.

"Kenapa, Bang?"

"Dia cewek gue," kata Alvaro.

"Kali aja dia mau sama gue, Bang. Lo galak, gue nggak tega sama dia kalau terus kena marah lo," katanya dengan nada bercanda, namun tidak bisa diterima oleh Alvaro.

Alvaro berdiri hendak melangkah untuk menghampiri meja itu dan menghajar laki-laki yang sudah menganggu ketenangannya, hanya saja sebuah tangan menahannya. Ditatapnya Titania membuat Alvaro menghembuskan napas berat.

"Ayo pulang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro