22. Audrey

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tiga hari tanpa Alvaro membuat semua orang yang ada di sekolah berpihak pada Audrey yang tengah terang-terangan mengibarkan bendera perang dengannya. Titania hanya diam, ia hanya tidak ingin membuat masalah di sekolah. Jadi, biarkan dia menyelesaikan urusannya di luar jam sekolah.

Orang-orang masih berbicara buruk tentangnya, hanya saja ia mencoba untuk menutup telinga. Ia hanya punya dua tangan, dan itu tidak mampu membungkam mulut orang-orang yang membicarakannya. Ia hanya bisa menggunakan kedua tangannya untuk menutup kedua telinganya, mencoba tidak peduli dengan keadaan sekarang.

Ia beberapa kali berpapasan dengan Bara, cowok itu hanya menatapnya dengan tatapan sendu sedangkan Titania sama sekali tidak peduli. Saat ini ia ditemani Ria sedang memakan es krim di gazebo.

"Cantik sih, tapi anak haram."

"Ibu pelakor, bakatnya nurun ke anaknya juga."

"Amit-amit deh."

Titania yang sedang memakan es krimnya pun mendengus mendengar bisikan itu lagi. Ria yang ada di sampingnya hanya bisa menenangkan gadis yang sudah dianggap sebagai sahabatnya. "Nanti sore kita mau ke rumah Alvaro, dia sakit sampai tiga hari."

Titania mengangguk, selama itu pula Alvaro tidak menghubunginya. Ia butuh seseorang untuk menumpahkan keluh kesahnya, hanya saja ia mencoba mengerti jika Alvaro sedang tidak bisa memberinya kabar.

"Jangan ditanggapi, Ta. Mereka nggak tahu apa-apa, diam lebih baik."

Titania mengangguk menyetujui ucapan Ria, memang benar ia lebih baik diam dari pada meladeni ucapan mereka-mereka yang tidak menyukainya.

"Ayo ke kelas, bentar lagi bel."

"Aku ke toilet dulu, Ta. Kamu ke kelas dulu aja," kata Ria.

Titania mengangkat sebelah alisnya. "Gue temani deh, takut lo kenapa-kenapa."

"Aku nggak apa-apa, kamu duluan aja."

"Lo yakin?"

Ria mengangguk pasti.

Titania mengangguk kecil dan membuang wadah es krim yang sudah tidak ada isinya, ia memutuskan untuk kembali ke kelasnya karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Sementara Ria ke toilet terlebih dahulu, seorang diri. Karena dia memang tidak ingin ditemani.

Di depan kelas ada Rafael dan Gio yang tengah menunggunya, setelah Titania masuk kedua cowok itu ikut masuk dan duduk.

"Pulang sekolah kita ke rumah Alvaro," ujar Gio.

"Siapa aja?" tanya Titania.

"Berempat doang. Gue, Rafael, Ria sama lo."

Titania mengangguk. "Bendahara sama ketua kelas nggak ikut?" tanyanya yang dijawab gelengan oleh Gio.

"Mereka lagi pada sibuk."

***

"Tarik!"

Byurrr!

Dingin mulai merayap pada tubuhnya yang terkena siraman air. Ria mencoba memejamkan matanya saat beberapa orang cekikikan di sana. Tak lama kemudian, ia mendengar langkah kaki mendekatinya.

"Cupu."

Audrey tersenyum puas menatap hasil dari pekerjaan dirinya dan teman-temannya. "Heh, Cupu! Gue udah berapa kali peringati lo buat jauhin Titania, lo nggak nurut juga?!" katanya.

Ria hanya diam.

"Gue peringati satu kali lagi, jangan lupa buat jauhin Titania kalau perlu sebar berita hoax yang menjelek-jelekkan Titania. Paham?!" kata Audrey menghempaskan wajah Ria yang tadi ia cengkeram.

Ria terisak dalam diam, ia tidak mungkin kembali ke kelas dalam keadaan basah kuyup. Untung saja air yang digunakan adalah air bersih, jika tidak entah apa jadinya dia. Ia keluar dari toilet dan banyak orang yang berada di luar seperti menunggunya keluar?

"Kasian, udah cupu dimanfaatin doang. Giliran susah, ke mana tuh anak haram?! Nggak kelihatan," kata salah seorang gadis.

"Makanya, jangan mau dimanfaatin Titania."

Ria segera berlalu, ia tidak pernah merasa dimanfaatkan oleh Titania. Lagi pula Titania memperlakukannya dengan baik, tidak seperti mereka yang memandangnya remeh.

Tak lama kemudian, seseorang menerobos kerumunan. Ria melihat Titania yang sedang berdiri menatapnya khawatir dengan Gio dan Rafael, Ria cukup senang'dengan hal itu.

Titania menyerahkan jaketnya agar dipakai Ria, sementara gadis itu mencari keberadaan Audrey. Biar dia yang membalas kelakuan Audrey, dia sudah berani mengancam orang terdekatnya dan ini tidak bisa dibiarkan.

Ria yang melihat hal itu pun dengan segera mengejar, banyak orang yang berlari untuk menontonnya. Ketika Titania sudah beraksi, jangan tanya apa yang terjadi selanjutnya.

Dia suka keributan.

***

Tatapan Titania fokus pada tiga gadis yang sedang melempar tawa satu sama lain, antara mereka tidak ada yang menyadari kedatangannya. Gadis itu merencanakan apa yang akan ia lakukan nantinya, ia menatap gelas yang berisi minuman berwarna merah.

Boleh juga.

Tanpa aba-aba lagi, Titania mengambil minuman berwarna merah dan menyiramkannya pada wajah Audrey yang kini sudah basah kuyup. Titania menatap wajah Audrey yang menatapnya marah.

"Lo punya masalah sama gue, jangan bawa-bawa orang lain," kata Titania pada Audrey.

Audrey yang merasa di permalukan oleh Titania pun mengambil gelas yang lain dan hendak menyiramkannya pada Titania. Sayangnya seseorang menahan tangan itu dan menatap Audrey dengan tatapan tajam.

"Lo ngapain ikut campur?!"

Titania pun terkejut melihat Bara yang datang, bukankah mereka sepasang kekasih? Namun, kenapa sekarang seperti musuh?

"Berhenti sebar fitnah tentang Titania," kata Bara dengan nada penuh peringatan. "Dan lo, Ta. Pergi aja, jangan hiraukan tikus ini."

Audrey menatap wajah Bara dengan kesal, kenapa cowok itu datang di waktu yang tidak tepat. Gadis itu hanya diam, ia tidak tahu apa yang harus di lakukan. Sementara Titania masih menatapnya dengan garang, seolah-olah gadis itu siap melahapnya kapan saja.

Setelah memikirkan matang-matang, benar juga yang dikatakan Bara. Tidak ada untungnya ia menghadapi Audrey, Titania yang sudah merasa puas pun bertepuk tangan.

"Makasih minumannya," kata Titania berbicara pada salah satu teman Audrey yang hanya diam di tempatnya tanpa berkutik.

***

Dia bisa membalas lebih kejam dari apa yang dilakukan orang terhadapnya, itulah Titania. Gadis berparas cantik itu tidak selembut yang dibayangkan, karena ia merasa dunia ini keras untuk seseorang yang berhati lembut. Ia bisa di hancurkan dengan mudah jika tidak memiliki rasa tega terhadap orang lain.

Dunia terlalu keras untuk mereka-mereka yang lemah, hanya itu yang menjadi pegangan Titania dalam menjalani kehidupan ini.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Gio, Titania mengangguk kecil dan duduk di kursinya.

"Ria udah ganti baju?"

"Dia pulang diantar Rafael," jawab Gio yang diangguki oleh Titania. "Jadi ke rumah Alvaro?"

"Jadi."

Gio mengangguk kecil. "Tapi gue nggak tahu rumahnya, lo tahu?" tanyanya yang dijawab gelengan ringan Titania.

Gadis itu memang belum pernah main ke rumah Alvaro, jadi ia tidak tahu di mana letak rumah Alvaro, Gio tidak mendengar hal itu pun menghela napas.

"Nanti minta alamat aja sama wali kelas, semoga aja kita nggak nyadar."

Titania tertawa kecil. "Semoga aja."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro