Pergi - Annisarooh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bundaaaaaaaa"

Tangis anak sulungku mengagetkanku saat sedang asik menonton drakor dikamar.

"Kenapa a'?"  tanyaku kepada anakku yg biasa kupanggil aa, karena mempunyai adik perempuan usia 3,5 tahun.

"Aa di pukulin pake sendal sama Alan sama Ivan bunda. Tadi lagi naek sepedah ditimpuk sampe jatoh terus digebukin."  Adu anakku sambil terisak menahan sakit.

Aku pun segera membuka bajunya dan ternyata benar wajah dan badannya semua merah bekas pukulan sendal.
Aku langsung keluar dan diluar ternyata banyak teman-teman anakku yang mengantar pulang. Mereka langsung bercerita apa yang terjadi dan ceritanya pun sama.

Berarti anakku tidak berbohong!

Kubuka semua baju anakku, ku ganti semua dengan yang bersih. Sambil kupakaikan, aku pun sedikit menasehati.

"Makanya main jangan jauh jauh a'. Memang tadinya kenapa sampe begitu" tanyaku.

"Gak tau bunda, kan aa lagi maen sepedah. Kan bunda juga sering liat aa suka di pukulin. Kalo ada bunda baru pada lari" celoteh anakku.

Iya, memang sering ku dengar aduan dari anakku. Bukan sekali, tapi berkali-kali. Aku pun sering melihat tapi saat itu kupikir masih kenakalan anak anak. Biarlah!

Tapi entah kenapa hari ini aku geram. Sesak nafas rasanya melihat tubuh anakku yang kupikir aku ibunya pun tak pernah memukulinya sampai seperti itu.
Reda sudah tangis anakku.

Iseng ku hampiri rumah Alan. Aku berjalan sesantai mungkin, padahal hatiku menyimpan amarah.

"Na ... beli sabun 1 ya" teriakku dirumah Alan. Berpura-pura aku membeli sabun yang memang ibunya Alan berjualan sembako.

" Ini, 1 aja? apalagi?"

"Udah ini aja. Tadi si Alan kenapa berantem ya sama Reyhan (nama anakku)?" tanyaku selembut mungkin.

" Lah nggak tahu. Alan nggak cerita. Memang kenapa?" tanyanya santai tanpa merasa bersalah.

"Iya. Reyhan di pukulin pake sendal sampe pada merah muka sama badannya" keluhku.

"Alah baru begitu doang juga. Orang tua tuh jangan suka ikut campur urusan anak. Entar juga maen lagi, namanya juga anak anak" jawabnya tanpa rasa bersalah atau merasa kasihan pada anakku.

Aku berusaha memendam amarah serapih mungkin. Pantas saja kelakuan Alan seperti itu, ternyata ibunya sangat cuek terhadap Alan.

“ Na, lain kali bilang ke anakmu. Jangan seenaknya mukulin temennya. Nanti nggak punya temen baru tahu.” Sebelum amarahku benar-benar meledak aku pun berlalu pergi meninggalkan rumah Alan.

Hari ini entah kenapa perasaanku tak tenang. Setelah sholat shubuh aku mencoba berdzikir namun hati ini tetap resah. Kulihat anak-anakku sedang bermain balok kayu dengan tenang. Ah, mungkin hanya firasat anehku saja.

Aku pergi ke dapur untuk membuat sarapan untuk mereka.
“ Bun, aa ke depan dulu ya. Mau ke rumah Reno sebentar, ambil mainan aa yang ketinggalan kemaren.” Izin anakku.

“ Iya a, jangan lama-lama ya. Bunda lagi masak untuk sarapan aa sama dede. Jangan sampai telat sarapan.” Nasehatku kepada anak sulungku.

“ Siyap bun!” Reyhan memberi hormat kepadaku.
Lucu sekali. Dia selalu bercerita tentang cita-citanya yang ingin jadi TNI suatu saat. Aku terkekeh sendiri melihat tingkah laku anakku yang satu ini.

Selang beberapa menit Reyhan tak pulang juga. Nasi goreng milik Reyhan sudah mendingin sedari tadi. Perasaanku mulai was-was. Jangan-jangan Reyhan kena pukul Alan lagi.

“ Bundaa ... aa udah pulang. Sarapan aa mana? Aa laper banget nih, kangen nasi goreng bikinan Bunda, hehe” syukurlah anakku sudah pulang.

“ Aa kok lama? Nasi gorengnya keburu dingin deh.”

“ Hehe maaf ya Bun, tadi aa main sebentar sama Alan.” Dia sambil mengunyah nasi gorengnya dengan sangat lahap.

“ Alan? Bukannya kemaren aa dipukulin sama Alan ya?” aku merasa aneh. Karena aku tahu sifat Alan bagaimana. Dia tidak mau meminta maaf apalagi berteman dengan Reyhan anakku.

“ Iya. Tadi aa main kok sama dia. Aa juga tadi ngasih mainan aa ke Alan Bun.” Tunggu, aku baru sadar bahwa anakku pulang tanpa membawa mainannya.

“ Kenapa dikasih a’? ...” belum selesai aku menginterogasi anakku, tiba-tiba banyak warga yang datang ke rumahku.

“ Permisi ... Bu, Reyhan Bu ... “ salah satu tetangga berbicara kepadaku dengan raut wajah yang khawatir.
“ Iya, kenapa Reyhan Pak?” tanyaku heran.
“ Reyhan meninggal di jalan Bu. Dia sepertinya dipukul pakai batu besar di kepala, perut, dan matanya Bu. Sekarang sudah dibawa ke Rumah Sakit untuk autopsi.

Deg!! Jadi, Reyhan ...

Aku berlari ke dapur. Jleb! Nasi goreng milik Reyhan masih rapi. Belum tersentuh sama sekali.

Karya:  annisarooh

Jurusan: Humor/THAM

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro