Part 04

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Rambut Merah"

*** (Name)'s pov ***

Sudah 3 hari berlalu, kejadian dimana aku memecahkan gelas karena mencoba mengingat sesuatu. Semenjak itu, si lobak putih--Midorima--melarangku untuk mengingat dalam waktu dekat ini. Menyebalkan sih, tapi disisi lain dia mengizinkanku untuk mencoba mengembalikan saraf kakiku dengan berjalan pelan berkeliling keluar ruangan.

'Aku merasa aneh harus berjalan dengan sangat lambat dan berpegangan dengan dinding...' pikirku melihat koridor rumah sakit yang udaranya dipenuhi oleh bau obat yang cukup pekat.

...dan juga koridor rumah sakit yang sepi dan gelap, karena aku keluar ruanganku saat malam hari. Dengan dibalut selimut tipis, aku berjalan di lorong yang sedikit terang karena cahaya bulan diluar.

"Hee... diizinkan keluar ruangan? Bukannya itu bagus, (Name)-chan!"

"Tapi aku dilarang mengingat masa laluku dalam waktu dekat ini." gumamku melihat Momoi sedang mengupas apel, "Apa itu untukku?"

"Tentu saja! Memangnya untuk siapa lagi?"

"Kupikir untukku, Satsuki."

"Dai-chan, diam!"

"Tapi (Last Name)cchi dilarang mengingat, kenapa-ssu?"

"Aku memecahkan gelas saat mengingat sesuatu..."

"Hee, mengingat apa-ssu?"

"Jangan ditanya, nanodayo." dan dengan begitu sebuah clip board mendarat ke kepala Kise dan membuatnya cukup kesakitan

"Ittai-ssu~" rengeknya pada Midorima, tapi sepupuku itu hanya menghadap ke arahku lalu melempar sebuah kotak padaku yang kutangkap dengan mudah.

Ternyata dia memberiku kotak yang dibungkus dengan kertas kado berwarna (f/c) dan dengan pita merah.

"Itu untukmu, nanodayo."

"Dari siapa?"

"Manusia, nanodayo."

"Iyalah, masa alien? Spesifiknya?"

"Orang, nanodayo."

"Ampun, Shintarou..."

"Laki-laki, nanodayo."

"Laki-laki?"

"Buka saja, (Name). Aku kenal siapa pemberi kado itu, nanodayo."

"Kami juga mengenalnya-ssu!"

"Dan aku tidak? Aneh..." gumamku lalu mengangkat bahu, "Tapi baiklah."

Begitu kubuka, aku melihat sebuah headphone berwarna merah dan sebuah music player berwarna (f/c).

"Oh, pemberinya juga bilang kalau sudah ada lagu di dalam music player itu, nanodayo."

"Sepertinya itu sangat mahal." komentar Aomine.

"Oh, aku ingat. Itu keluaran terbaru." sahut Kuroko.

Aku lalu memasang headphone itu di kepalaku dan disambungkan ke music player. Begitu aku menghidupkan music player dan menekan tombol play. Sebuah lagu langsung memasuki telingaku.

'Kanashikute nomikonda kotoba,
zutto ato ni tsuite kita.
Iradatte nagedashita kotoba,
kitto kaeru koto wanai.'

(Words I swallow sadly,
they always trail behind me.
Words I spout while irritated,
there's surely no taking back.)

'Kotoba ni suruto uso kusaku natte;
Katachi ni suruto ayafuya ni natte.
Choudo no mono wa hitotsu mo nakute;
Fugainai ya...'

(When I make words, they smell like lies;
When given form, all becomes unclear.
I can't make a single thing the way I want it;
I'm simply worthless...)

'Aishiteruyo, Bibi - ashita ni nareba,
Baibai shinakucha ikenai bokuda.
Hai ni nari-souna madoromu machi wo,
Anata to tomoni oite iku no sa...'

(I love you, Vivi - once tomorrow comes,
I'm going to have to say bye-bye.
This sleepy town, near turned to ashes,
I leave behind, and you with it...)

Aku langsung melepasnya dan entah kenapa aku merasa sangat takut untuk mendengar lagu tersebut.

"(Name)-chan?" panggil Momoi.

Aku hanya menggeleng, "Aku tidak apa-apa."

'Siapa pemberi headphone itu? Dan kenapa lagu itu membuatku takut? Takut kalau seseorang akan meninggalkanku?'

Aku menghela nafas lalu melihat ke depan, dan perhatianku tertuju pada salah satu kursi tunggu di lorong rumah sakit. Disana duduk seseorang--lebih tepatnya laki-laki--dan sepertinya dia sedang tertidur.

Kenapa dia bisa menarik perhatianku? Simpel saja.

...karena rambut merahnya.

'Mengingatkanku pada Aka-kun.'

Perlahan tapi pasti aku mendekati laki-laki itu. Dari raut wajahnya sepertinya dia sedang bermimpi buruk. Aku hanya duduk di sebelahnya dan memperhatikan ekspresi sedihnya yang sedang tertidur.

'Aku tidak mengenal orang ini. Tapi kenapa hatiku berkata lain?' pikirku.

Dan aku mengikuti kata hatiku, menyelimuti laki-laki berambut merah itu. Lagi-lagi perhatianku tertuju pada rambut merahnya. Perlahan tanganku mendekati rambut merahnya sampai...

(Grep!)

Dengan tiba-tiba laki-laki itu mengenggam pergelangan tanganku, membuatku terkejut. Perlahan dia membuka matanya, dan aku semakin terkejut melihatnya.

'Laki-laki bermata hetero! Orang yang pertama kulihat saat aku sadar!'

Begitu dia melihatku, lensa heteronya membesar.

"U-uhm..." aku masih menatap matanya, "Ka-kau terlihat kedinginan jadi kuberi selimut."

Dia tersadar dan langsung menghempas tanganku, begitu juga dengan selimutnya yang ia lempar ke atas kepalaku.

"Aku tidak kedinginan, dan aku tidak perlu selimut. Jadi jauhkan tanganmu dariku, karena kau tidak pantas menyentuhku." ucapnya kasar, lalu berdiri dan meninggalkanku sendiri di lorong itu.

Tanpa kusadari tanganku mulai meraih laki-laki itu dan hendak mengejarnya tapi karena kakiku yang belum bisa berjalan tanpa pegangan, aku terjatuh dan membuat suara jatuh yang lumayan keras.

(Brugh!)

"I-itte..." gumamku.

Aku berusaha berdiri dengan bantuan kursi yang berada di dekatku tapi sepertinya tanganku menjadi lemah dan juga tenagaku seperti terkuras habis karena aku gagal untuk berdiri berulang kali.

...sampai aku mendengar helaan nafas dari depan dan aku langsung diangkat dengan gaya tuan putri.

"E-eeh? A-apa yang--"

"Diam." ujarnya tajam, "Menyusahkan saja."

Aku hanya menutup mulutku, lalu bersandar pada dada bidang laki-laki tersebut.

'Ucapan dan tatapannya mengatakan bahwa dia membenciku karena berani menyentuhnya... tapi, kenapa sikapnya mengatakan hal lain?'

Dia membawaku dengan mudah dan menenangkan, membuat mataku perlahan menutup dan mulai tertidur.

'Laki-laki bermata hetero dan dengan rambut merah... entah kenapa aku ingin memanggilnya Aka-kun' pikirku berada di ujung kesadaran.

"Terima kasih... Aka-kun." tanpa kusadari itulah yang kuucapkan sebelum akhirnya aku tertidur.

...dan entah ini hanya perasaanku saja tapi aku mendengar detak jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya.

*** Akashi's pov ***

"Akhir-akhir ini aku sering melihatmu memakai headphone, (Name)." komentarku melihat headphone berwarna (f/c) tergantung di leher (Name) saat kami sedang berada di atap SMA Rakuzan untuk makan siang bersama.

"Tentu saja, aku sedang tergila-gila dengan Vocaloid!"

"Voca...loid?"

"Yup! Itu adalah--"

"Nah, aku sudah tau apa itu Vocaloid (Name)."

"Huh? Kau tau?"

"Tentu saja, aku tau semuanya. Karena aku--"

"Absolut, selalu menang dan selalu benar." potong (Name) memutar bola matanya, "Bukan hanya itu, aku juga sedang tergila-gila dengan Utaite!"

Aku hanya mengangkat sebelah alisku.

"Maksudku, siapa yang tidak suka 2 hal itu? Lagu-lagu yang Vocaloid nyanyikan selalu keren dan... AARGH! Aku tak tau harus berkata apa lagi. Dan Utaite selalu men-cover lagu Vocaloid. Bukan bearti aku lebih menyukai Utaite daripada Vocaloid. Aku menyukai keduanya karena mereka punya kelebihan masing-masig!" jelas (Name) dengan wajah yang berbinar-binar.

Aku yang melihat ini hanya bisa tertawa kecil dan (Name) menyadarinya.

"Kenapa kau tertawa? Jangan mengejekku!" kesalnya.

"Untuk laki-laki cool sepertimu, kau ternyata menyukai hal seperti itu, hm?"

"Hei! Apa salahnya?"

"Tidak salah. Maksudku, apa kau tidak takut itu akan merusak image dirimu yang cool?"

"Hmph! Aku tidak peduli dengan hal seperti itu. Aku bebas melakukan apa yang kumau, jika ada yang tidak suka maka aku tidak peduli. Sederhana, kan?"

Aku hanya tersenyum lalu sedikit mengacak rambut (h/c) pendeknya yang poninya ia jepit dengan jepit berwarna hitam itu. Ya, penampilannya tidak pernah berubah dari kami pertama bertemu SMP sampai SMA sekarang.

"Tidak salah. Itulah alasan kenapa aku memilihmu untuk jadi Wakil Ketua OSIS, (Name). Aku suka sikapmu itu."

"Hahaha. Kuharap kau tidak gay, Aka-kun."

"Hush, aku normal dan berhenti tertawa dengan nada sarkas, (Name)."

"Hehe, maaf. Kebiasaan."

Dan dengan refleks, aku menangkap tangan yang hendak memegangku.

'Halus...' pikirku sebelum akhirnya membuka mataku.

Dan menatap sepasang lensa (e/c) yang balas menatapku, yang berhasil membuatku syok sejenak.

"U-uhm..." dia masih menatap mataku, "Ka-kau terlihat kedinginan jadi kuberi selimut."

Beberapa saat kemudian aku tersadar dan langsung menghempas tangannya, begitu juga dengan selimutnya yang kulempar ke atas kepala (Name) tapi tidak menutupi wajahnya.

"Aku tidak kedinginan, dan aku tidak perlu selimut. Jadi jauhkan tanganmu dariku, karena kau tidak pantas menyentuhku." ucapku lalu berdiri dan hendak pergi.

Sampai aku mendengar suara jatuh yang lumayan keras.

(Brugh!)

"I-itte..."

Aku memperhatikan (Name) yang mencoba untuk berdiri berulang kali, tapi gagal.

'Oh, betapa sakitnya hatiku melihat kau begitu kesulitan untuk berdiri, (Name).'

...dan ini semua salahku

Aku menghela nafas sedih lalu mengangkat (Name) dengan gaya tuan putri.

"E-eeh? A-apa yang--"

"Diam." ucapku memotong ucapan (Name), "Menyusahkan saja."

(Name) menuruti ucapanku, lalu bersandar pada dadaku.

'Ah, sudah berapa lama aku tidak menyentuh (Name)?'

...pastinya sudah sangat lama.

"Terima kasih... Aka-kun."

Mendengar nama itu membuat detak jantungku berdetak cepat karena syok dan panik, lalu menoleh ke bawah dan mendapati (Name) sudah tertidur. Melihat itu hanya membuatku menghela nafas lalu kembali fokus ke depan: ke kamar (Name).

'Dia pasti mengucapkannya saat setengah sadar. Tidak mungkin dia tau kalau aku adalah Akashi.'

***

Setelah meletakkan (Name) diatas kasur dan menyelimutinya, aku berencana untuk keluar tapi berhenti saat melihat headphone merah pemberianku untuk (Name).

"Apa (Name) menyukai hadiah yang kuberi?" tanyaku begitu Midorima memasuki ruang kerjanya.

"Ah, Akashi. Sejak kapan kau disini, nanodayo?" tanyanya sedikit terkejut.

"Tidak lama."

"Mengenai hadiah yang kau beri, aku tak bisa memastikan apa dia menyukainya atau tidak, nanodayo."

"Hm? Kenapa begitu?"

"Karena saat (Name) mencoba mendengarkan lagu yang sudah kau simpan di music player, dia dengan cepat melepasnya, nanodayo."

Aku hanya mengangguk.

"Momoi khawatir lalu memanggilnya dan (Name) menjawab kalau dia baik-baik saja. Yang lain tentu percaya tapi aku tidak, aku adalah sepupu dan dokternya. Aku tau kalau dia sedang takut, tapi aku tidak tau apa alasannya, nanodayo."

'Lagu apa yang kau dengar sampai kau ketakutan, (Name)?' pikirku mengelus pipinya.

Lalu aku memakai headphone dan menekan tombol play pada music player. Aku sedikit terkejut saat mendengar lagu yang keluar dan menatap heran (Name) yang sedang tertidur.

'Kenapa... lagu ini bisa membuat (Name) takut?'

***

*lap keringat* Selesai! ( ' ▽ ' )ノ

Gomen kalau baru update, reader-chan! (ಥ_ಥ)

Dan untuk lagu yang (Name) dengarkan itu bukan lagu vocaloid, tapi lagunya Kenshi Yonezu yang berjudul 'Vivi'

Serius, itu lagu bikin Author nangis lho (';Д;`). Jadi disarankan untuk mendengarkannya. Apalagi kalau nonton video Osomatsu-san di Youtube dengan judul 'Vivi', nah author bikin basah bantal author nonton itu video 。゚(゚'Д`゚)゚。. Lagunya juga bisa di dengar di media dan itu versi Osomatsu-san.

Maaf juga kalau arti lagunya itu bahasa inggris, soalnya author ga nemu dan ga tau arti lagu itu dalam bahasa indo (๑•́ω•̀๑).

Kritik dan saran yang membangun akan sangat diterima~

-Rain

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro