Perang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi: Niiflaaa (Teenfict) & A_Ogies (Romance)

Darah, penganiayaan, dan suara tembak yang saling bersahutan sudah menjadi pemandangan setiap hari.

"Ayo, kita kabur dari tempat ini."

"Tidak, tidak mungkin aku meninggalkan ibu yang sudah tertembak ... di sini. Aku ingin bersama ibu, Kak."

"Jangan gila. Tentara itu semakin dekat."

Suara krasak-krusuk langsung membuat keduanya menoleh. Suara tembakan kembali terdengar.

Dengan sangat terpaksa, Arthur menarik tubuh Angga--adiknya--agar memisahkan diri dari tubuh sang ibu yang sudah lemas tak berdaya di tanah.

"Nggak, Kak. Nggak. Aku mau sama ibu."

Suara rengek yang kemudian berganti menjadi tangis histeris tak membuat Arthur menyerah untuk membekap dan menyeret bocah kecil dari tempat itu.

Hanya ada pepohonan lebat dengan dinginnya malam tak membuat Arthur menyerah.

Arthur semakin mempercepat langkah memasuki hutan saat mendengar suara tembakan, tetapi rintihan sang adik membuatnya seketika berhenti. Sejenak ia mengedarkan pandangan, dan menemukan setitik cahaya yang berasal dari sebuah gubuk.

"Terlalu mencolok bersembunyi di gubuk itu," batin Arthur, ragu.

Melihat luka goresan di betis Angga, Arthur tak memiliki pilihan lain.  Arthur menggendong adiknya ke gubuk tua itu. Diketuknya berulangkali dengan tergesa-gesa, nyaris putus asa hingga seorang wanita tua muncul dengan wajah tak bersahabat.

"Nenek, tolong saya, adik sa--"

Ucapan Arthur terpotong saat wanita tua itu memintanya masuk.

Tanpa bertanya Arthur  digiring ke dalam sebuah lubang persembunyian dan  ditutupi kayu bakar. Tak lupa diberi sedikit celah untuk bernapas. Tidak lama kemudian,  gedoran keras terdengar. Arthur dan Angga terkejut dan lebih mengejutkan lagi, bukan hanya mereka berdua yang berada di lubang tersebut melainkan ada seorang gadis.

"Apa ada orang di sini selain kau Nenek Tua?"

Wanita tua bernama Sri itu menggeleng singkat, tak nampak  ketakutan di sorot matanya. Selain amarah.

"Tunggu! Darah siapa ini?" Pemimpin pasukan  itu mendengkus. "Kau! Kau menyembunyikan mereka!"

Bukannya takut, Nenek Sri justru tertawa. "Anak muda, tidakkah kau lihat darah di jariku ini."

"Baiklah, Nenek Tua. Tapi jika kau terbukti menyembunyikan mereka, kukirim kau ke neraka saat itu juga." Sang pemimpin meludah tepat di depan Nenek Sri. "Ayo! Kita cari mereka di tempat lain."

Helaan napas panjang terdengar melegakan, Nenek Sri menutup mata dan mengusap wajahnya.

Setelah memastikan para tentara Belanda itu menjauh, ia mendekati lubang persembunyian tersebut. Menyingkirkan kayu bakar itu satu persatu-satu. "Keluarlah, Nak. Mereka sudah pergi."

Dengan perasaan bercampur aduk, Arthur memeluk adiknya. Tak lupa, ia mengucapkan terima kasih berulang kali kepada sang nenek.

Setelah mengobati luka Angga, dan merasa tenang untuk saat ini. Arthur mendekati Nenek Sri. Sejak tadi, ia ingin menanyakan perihal gadis yang bersamanya beberapa saat lalu,  dan bahkan sampai detik ini masih saja terdiam. Namun, ketika ia mengambil tempat di sisi sang nenek tanpa sengaja ia bertemu pandang dengan mata bulat bak rembulan itu. Indah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro