Dilema Sapu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi: Nia NiaHindrawati (Romance) - Jiesea galerijiesea (Fantasi)

* * *

Cainia menyibak tirai jendela kamar tidurnya. Tetiba saja kedua mata Cai menyipit, bukan karena terkena terpaan silau mentari, melainkan mendapati sesuatu yang tidak umum terjadi. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu pun, mengucek pelan kedua matanya. Begitu selesai, Cai membuka lebar kedua matanya untuk memastikan apa yang dilihat saat itu memanglah nyata.

"Aku tidak sedang berhalusinasi, 'kan?" Cai bertanya seorang diri.

"Coba aku keluar saja untuk memastikannya!"

Masih mengenakan setelan piyama motif garis, Cai berlari meninggalkan kamar tidurnya untuk bergegas menuju halaman depan rumah. Alangkah tidak percayanya ia mendapati sebuah sapu penyihir bergerak sendiri dan tertinggal di halaman depan rumah.

"Milik siapakah sapu terbang ini? Kenapa aku tidak menemukan satu sosok pun di sini?" Cai bertanya-tanya seorang diri sambil mengamati sekeliling halaman depan rumahnya.

"Harus aku apakan sapu terbang ini, ya? Bolehkah jika aku memungutnya? Ya, siapa tahu saja memang aku si empunya sapu terbang ini. Wow! Sungguh terdengar sangat ajaib."

Cai dengan sangat berhati-hati memberanikan diri untuk menyentuh dan menggenggam bagian ujung gagang sapu terbang tersebut.

Namun, sapu tersebut masih berterbangan bebas. Tak kunjung mereda ke bawah, justru semakin tinggi dan jauh dari jangkauan Cainia. Gadis tersebut kesal, tetapi penasaran akan kejadian pagi yang dialaminya. Mengikuti sapu itu ke sana-ke mari membuatnya lelah. Hingga sebuah keputusan dicetuskan untuk berhenti dan mengamati saja.

"Dia pikir, Dia siapa bisa berterbangan bebas di halaman rumahku!" celetuk Cainia sembari berkacak pinggang.

Kanan-kiri pusat matanya tertuju pada sapu tersebut. Belum meleset dari cengkraman tatapan tajam milik Cainia. Lama kelamaan gadis itu bosan. Padahal tidak ada angin kencang yang sanggup menerbangkan sapu kala itu. Cainia berpikir keras, pasti dipengaruhi sebuah sihir. Serta sihir apa yang bisa menerbangkan sapu kalau bukan milik penyihir itu sendiri.

"Apakah ada penyihir di sekitar sini, sampai meninggalkan sapunya?" monolog Cainia.

"Kaulah penyihir itu!"

Sepenggal kalimat membuyarkan lamunannya. Gadis seusianya muncul dari belakang rumah mengendarai sapu terbang. Melaju dengan kecepatan tinggi dan berhenti secara mendadak tepat di depan Cainia. Bukan terkejut lagi, tetapi sudah tak karuan apa yang dirasakan dalam benak pikirnya. Tanpa menunggu lama, Cainia langsung menanyakan identitas gadis asing tersebut.

"Aku Fucostze, panggil saja Fuco. Kamu pasti bertanya, aku siapa, dan keperluanku untuk apa, bukan?"

Cainia hanya berdeham. Ia begitu meragukan sosok gadis asing yang ada di depannya sekarang. Topi runcing dan membawa tas selempang berbahan kulit. Aura pada Fucostze begitu terasa seperti penyihir pada umumnya. Entah dari mana dia berasal. Serta bagaimana bisa berada di halaman rumah Cainia.

"Ibuku bilang, ada teman baru di daerah ini," celetuk Fucostze.

"Teman? Maksudmu, aku juga sama sepertimu? Penyihir?" Sontak Cainia meninggikan nada bicaranya. Ia tak terima tiba saja disebut sebagai pengihir oleh gadis yang tidak dikenalnya.

"Tunggu dulu, jangan berasumsi yang buruk terhadap penyihir. Karena tidak semua penyihir itu jahat. Aku sejenis penyihir putih, baik dan suka menolong."

"Lalu, apa hubunganku dengan itu?" tanya Cainia berkelanjutan.

Fucostze turun dari sapu terbang yang ditungganginya. Sapu tersebut yang sebelumnya berposisi tidur, langsung dipegang oleh Fucostze dan diposisikan berdiri. Terbuat dari kayu serta serabut-serabut akar. Terdapat ukiran tipis-tipis di ganggangnya. Cainia masih tidak mengerti apa yang barusan dialaminya.

"Sapu yang terbang itu, khusus untukmu dariku. Sebagai pertanda persahabatan kita," ucap Fucostze seraya mengulurkan telapak tangannya.

"Aku bukan penyihir sepertimu!" balas Cainia.

"Kau bisa mengendalikan sapu itu. Pejamkan matamu dan rasakan sesuatu di lubuk hatimu, bahwa sebenarnya Kau ingin berkomunikasi dengannya."

Cainia menuruti apa yang dikatakan Fucostze. Mengapa tidak mencobanya. Barangkali benar kata gadis asing tersebut. Kalau benar bisa, hal itu merupakan satu keahlian baru yang mungkin saja bisa dikembangkan.

Kedua mata Cainia terpejam erat. Gelap dan hening. Detak jantungnya sendiri dapat ia rasakan meski samar-samar. Arus angin dibawa oleh sapu berterbangan sedari tadi tanpa henti. Setelah merasa cukup tenang dan merasa kehadiran sapu begitu dekat, Cainia membuka matanya lebar.

Dengan sigap merentangkan telapak tangan kanannya ke arah sapu terbang. Sapu itu pula langsung berhenti seketika, tetapi tidak jatuh ke tanah. Seperti tertahan di udara. Cainia heran dan terkejut pada apa yang disaksikan. Melihat hal tersebut, Fucostze tersenyum sumringah.

"Yey, berhasil! Coba Kau gerakkan tanganmu," seru Fucostze.

Cainia menuruti kata gadis asing itu. Entah mengapa ada sebuah rasa keseruan tersendiri. Tangan kanannya digerakkan ke kanan-kiri berulang kali. Alhasil sungguh di luar dugaan. Sapu itu mengikuti arah tangannya. Kali ini Cainia juga ikut terbawa suasana bahagia yang dirasakan Fucostze.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Fucostze.

"Aku masih belum mengerti bagaimana aku memiliki sebuah sihir yang bisa mengendalikan sapu terbang."

"Itulah yang tidak Kau sadari dan Kau anggap sebatas angin lewat saja."

Fucostze menaiki sapu miliknya. Diikuti Cainia yang mulai penasaran bagaimana rasanya menunggangi sapu terbang. Meskipun belum terbiasa, tetapi Cainia tak bisa melawan rasa keingintahuannya. Fucostze berada di belakang Cainia guna melindungi gadis itu jika tak seimbang. Mereka berdua berkeliling di atas atap rumah Cainia dengan bahagia.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro