Jika dan Maka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi: Nuris risitya (Romance) - Lira Altair Liraaltair (Teenfiction)

* * *

"Zyva, kamu yakin bisa pulang sendiri?"

Wanita berambut panjang, berhidung mancung lengkap dengan parasnya yang cantik itu mengangguk, dengan sebelah lengan yang menahan tubuhnya di depan pintu masuk taksi, dia melambai.

"Sampai ketemu besok kalau gitu, hati-hati ya, Zy."

Sekali lagi wanita yang disapa Zyva itu mengiakan dengan anggukan. Dia lalu duduk di bangku belakang kursi penumpang.

"Pak, tolong antar Zyva ya," ucap pria dengan kacamata tebal bertengger di hidung mancungnya.

"Siap, Kang Biru," sahut pengemudi supir kepada pria itu.

Biru, pria dengan kemeja kotak-kotak itu mengembuskan napas lega saat taksi berlalu, dia lalu melepas kacamatanya seraya berkata, "Untung saja ada Pak Ujang yang bisa diandalkan dalam situasi begini," ucapnya.

Tidak lama pengemudi taksi berhenti sesuai dengan alamat yang tertera pada map penunjuk jalan pada layar ponselnya. Pria paruh baya itu mencoba membangunkan penumpang yang terlihat sudah terlelap di jok belakang, tapi tidak ada sahutan bahkan pergerakan dari penumpang cantik yang menjadi pelanggan taksinya. Dia bergerak ke arah belakang, mencoba membantu Zyva dengan memapah tubuhnya hingga ke teras.

"Non Zyva, Bapak pulang dulu ya, bayarnya nanti saja saat Non pesan jasa taksi Bapak lagi," ucap pria dengan seragam khas taksi online itu.

"Terima kasih, Pak Ujang," gumam Zyva disela-sela kesadarannya.

"Sama-sama, Non, Bapak tinggal ya, Non cepat ke dalam di luar dingin," tambah supir taksi, dia lalu bergegas pergi setelah menutup kembali pagar rumah.

Setidaknya itulah ingatan terakhir yang bisa diingat-ingat lagi oleh Zyva. Wanita yang masih mengenakan setelan kemeja polos berwarna merah muda dan rok span selutut, baju kerja yang kemarin ia kenakan. Sekali lagi dia mengucek matanya, dia yakin kalau dia ada di teras depan rumahnya. Satu hal yang membuat Zyva merasa kesadarannya dari alkohol yang semalam berhasil membuat dirinya mabuk, belum seratus persen adalah kejanggalan yang dia lihat dengan sepasang mata beriris hazel miliknya yang bergerak-gerak mengikuti pergerakan sapu lidi.

"Aku yakin ini mimpi," ucap Zyva seraya membaringkan kembali tubuhnya ke lantai teras rumahnya.

Suara sapu yang bergerak-gerak dengan sendirinya di halaman, menyapu dedaunan yang meninggalkan ranting pohon, dan bunga-bunga cantik yang berguguran di rumput taman miliknya.

Sayangnya saat Zyva kembali membuka matanya, sapu itu justru sudah berada tepat di hadapannya, sebuah lengkingan terdengar dari mulut Zyva, dia bahkan sampai berlari mundur beberapa langkah. Tapi sapu itu lagi-lagi bergerak dengan sendirinya mengikuti langkah Zyva.

"Se--sejak kapan sih sapu bisa jalan sendiri?" Zyva mengibar-ngibarkan tangannya berharap kalau sapu itu menjauh darinya. Dengan rasa takut yang meliputinya, buru-buru Zyva merogoh tas dan mengambil kunci rumah, berusaha untuk kabur dari sapu.

"Memangnya ini dunia sihir apa?" celetuk Zyva lagi saat akhirnya pintu berhasil terbuka. Keringat dingin mulai bercucuran. Dia yakin kalau dia sedang tidak bermimpi sebab ketakutan yang ia rasakan adalah nyata, dia bahkan mengaduh saat cubitan yang ia buat pada pipinya terasa sakit.

Zyva mengintip dari gorden jendela ke arah halaman rumahnya, dia tidak bisa menemukan keberadaan si sapu. Baru saja Zyva menghembus napas lega tiba-tiba saja pintu diketuk tiga kali.

"Si--siapa?" tanya Zyva memastikan bahwa benar-benar ada tamu di depan pintu masuk rumahnya. Sayang, tidak ada sahutan.

Zyva menelan salivanya, dadanya berdegup kencang. Dia mencoba menelepon Biru Prambudi, bestie-nya di kantor. Saat terdengar sahutan dari seberang telepon, Zyva segera mengungkapkan kalau di rumahnya ada sapu yang bergerak-gerak sendiri. Suara gelak tawa terdengar dari seberang telepon.

"Bii ... aku serius! Ini bukan lelucon, aku sedang ketakutan sekarang," ucap Zyva, dia lalu melanjutkan bicaranya, "Kamu bisa kan ke rumahku, sekalian jemput aku, Bii," ucap Zyva dengan penuh harap.

Sekali lagi terdengar suara ketukan dari arah pintu.

"Permisi." Kali ini ada suara pria yang terdengar setelah ketukan pintu.

Zyva mengerjapkan mata beberapa kali, dia yakin kalau itu suara seseorang. Segera dia membuka pintu, benar saja di depan rumahnya sudah berdiri seorang pria tampan dengan balutan busana serba hitam yang sedang tersenyum kepadanya.

"Maaf, kamu siapa, ya?" tanya Zyva kepada tamunya yang tidak dikenal.

"Aku, Max, baru pindah kemarin di sebelah. Aku mau mengambil barangku yang salah diantar oleh kurir ke sini," ucap pria tampan yang mengaku bernama Max.

Ya Tuhan ... ni cowok kenapa bisa ganteng banget gini sih? kagum Zyva dalam hati.

Terlalu kagum dengan ketampanan pria itu, Zyva sampai terdiam untuk beberapa saat. Hingga suara Max menyadarkannya kembali.

"Apa aku bisa mengambil barangku?" tanya Max lagi.

Zyva menatapnya bingung, tidak paham barang yang dimaksud oleh Max. Dia tinggal sendiri di sini, jadi tidak akan ada orang yang menerimanya.

"Barang apa, ya? Soalnya di sini tidak ada paket atau barang apapun itu." Zyva mengedarkan pandangannya di sekitar halaman rumah, tidak ada paket seperti yang dikatakannya.

Pria itu tersenyum, jauh lebih indah dari senyuman yang pertama kali dia tunjukkan. Zyva mengerjap, dia harus fokus.

"Itu, sesuatu yang di belakangmu."

Mendengar jawaban Max, Zyva refleks menoleh. Dia spontan berteriak kencang saat melihat sapu yang bergerak sendiri itu berada di belakangnya.

"Jangan takut, itu tidak membahayakanmu." Max dengan sigap mengambil sapu itu. Dia tertawa kecil melihat aku yang ketakutan.

Zyva membuang napas lega saat Max mengambilnya. Walau begitu, dia tetap menatap sapu itu menyeramkan karena bisa bergerak sendiri.

"Ayo ikut denganku!" ajak Max sembari dirinya melompat ke gagang sapu itu. Zyva berseru, khawatir dia terjatuh, tetapi rupanya sapi itu bisa menahan beban beratnya—bahkan mengambang seperti betulan di dunia sihir.

Tanpa diduga-duga, Max mengulurkan tangannya—berharap Zyva menerimanya.

"Tapi ke mana?" tanya Zyva ragu-ragu.

"Ke tempat di mana kamu bisa melupakan Biru, buatlah dirimu bahagia dan tinggalkan lelaki yang tidak pernah melihatmu."

Zyva tertegun saat nama lelaki yang dia suka disebut oleh Max. Dia bahkan sepertinya tahu kalau Zyva menyukai Biru, tetapi sayangnya Biru tidak merasakan perasaan yang sama. Zyva mendadak kesal setelah mendengar pernyataan dari Max yang menyadarkannya, Biru memang tidak pernah melihatnya, hal itulah yang membuatnya merasa kesal sekaligus sedih. Maka dari itu, perlahan-lahan dirinya mulai menyambut uluran tangan Max. Dia ingin pergi jauh sampai bisa melupakan Biru.

Saat tangan keduanya hampir bersentuhan, secara mendadak Zyva merasakan getaran di sekitar tubuhnya.

"Akhirnya bangun juga, lagi belajar malah tidur."

Kalimat itu menyapa Zyva kala dirinya membuka mata. Dia membutuhkan waktu untuk sadar sepenuhnya. Saat matanya sudah terbuka sempurna, dia mendapati sosok Biru sedang duduk di sampingnya.

"Bangun Zyva, kamu jangan bikin semua penjelasanku tadi sia-sia!" Biru menggoyang-menggoyangkan bahu Zyva, berharap perempuan itu kembali fokus pada kegiatan awalnya.

Bukannya merespons ucapan Biru, Zyva justru termangu untuk beberapa saat. Dia menyadari ada yang berbeda dengan sekelilingnya. Bukankah tadi dia sedang berada di halaman rumah? Kenapa sekarang dia ada di sebuah kamar?

"Zyva!" seru Biru yang gemas karena sedari tadi Zyva diam saja. Yang dipanggil menoleh, dia menatap Biru dengan heran juga. Penampilan Biru juga berubah, sekarang dia malah mengenakan seragam SMA.

"Kamu ini kenapa?" tanyanya lagi.

"Tadi bukannya aku di halaman depan, ya?" Zyva balik bertanya.

"Apa-apaan? Dari tadi kamu lagi belajar, terus ketiduran. Menyebalkan sekali!" keluh Biru.

Zyva berdecak, ternyata yang tadi itu mimpi. Pantas saja banyak yang berbeda, dari tempat hingga penampilan Biru. Omong-omong yang lebih aneh lagi adalah diri mereka sendiri, di mimpi itu terlihat seperti keduanya sudah dewasa, padahal nyatanya mereka masih remaja. Zyva menarik kesimpulan kalau mimpinya tadi menggambarkan masa depan dan soal getaran tadi, pasti karena Biru menggoyangkan tubuhnya.

"Tuh 'kan, diam lagi. Cuci muka dulu sana, aku ke luar dulu sebentar," kata Biru.

Zyva memerhatikan punggung Biru yang berjalan ke luar. Dia menghela napas, masih memikirkan tentang mimpi yang baru saja dialaminya.

"Kalau itu mimpi, kenapa aku merasa sakit ketika mencubit pipi?" ucapnya keheranan. Hanya saja keanehan itu tidak terlalu dipikirkannya, karena yang lebih aneh lagi adalah isi mimpi tersebut.

"Jadi di masa depan aku menyukai Biru? Lantas apa hubungannya dengan pria dan sapu itu?" Zyva kebingungan, tetapi tidak ada yang bisa menjawab kebingungannya.

"Ah benar, karena terlalu menyedihkannya aku di masa depan, aku sampai bermimpi tentang hal itu," ucapnya pada diri sendiri. Berusaha memberikan jawaban mengenai mimpi anehnya.

Meski gatal ingin menceritakannya pada Biru, Zyva menahannya. Dia yakin Biru akan tertawa mendengar mimpi konyol itu. Aduh, Zyva ini terlalu lama sendiri hingga berakhir memimpikan hal itu.

Sekali lagi dia menghela napas dan bergumam, "jika aku menjadi pacar Biru, maka itu adalah mimpi semata."

Biru adalah teman dekatnya, dia sudah punya pacar, jadi mustahil baginya untuk menjadi kekasih Biru di masa sekarang ataupun masa depan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro