Kejutan di Pagi Hari

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi: Icha iluvplumtea (Romance) - Pine Macaroncrunch (Historical)

* * *

Bukan karena rajin Nara sudah berada di sekolah sepagi ini. Ia bangun sebelum alarm di ponselnya berbunyi. Alhasil ia berangkat lebih pagi dari biasanya ke sekolah.

"Ngapain di rumah juga kamu cuma bengong, mending berangkat sana." Begitu kata ibunya.

Akhirnya di sinilah Nara, di lorong yang menuju kelasnya. Udara pagi yang segar, kelas-kelas yang masih sepi, hanya ada penjaga sekolah. Bibi kantin bahkan masih menggoreng bakwan yang akan dijualnya pagi itu.

Nara mengirim pesan kepada sahabatnya, Melly, agar datang lebih cepat. Juga agar ia bisa menyontek tugas matematika. Ada dua soal yang tidak bisa ia kerjakan semalam.

Menggeliat sambil menguap, Nara melanjutkan langkahnya ke kelas; menyisir rambut panjangnya yang baru dikeramas. Ia bisa tidur lagi sebentar.

Enak juga datang di waktu ini. Mungkin aku harus melakukannya lebih sering, pikir Nara.

Sesuatu yang tertangkap oleh matanya, membuat Nara hampir memekik kaget. Segera ia melakukan manuver jongkok. Ada pemandangan tidak biasa yang ia lihat dari balik jendela.

Seorang siswi yang tidak Nara kenal sedang berdiri di dekat meja Teguh, siswa teladan yang selalu ranking satu di SMA mereka.

Berusaha tidak membuat suara Nara mengintip ke dalam kelas. Siswi itu sedang memasukan sesuatu ke dalam laci meja Teguh.

Tidak ingin membuat siswi di dalam kelas terkejut, Nara diam-diam lari ke tangga. Menunggu hingga lima menit sebelum kembali ke kelas.

Sesuai dugaannya, siswi itu sudah pergi saat Nara kembali. Sambil menaruh tas matanya tak lepas dari meja Teguh. Rasa penasaran mengusiknya. Apa yang disimpan oleh siswi itu.

Perlahan Nara berjalan ke meja yang terletak di barisan paling depan itu. Membungkuk melihat ke dalam laci yang gelap. Tangannya menggapai-gapai, hingga menemukan sebuah amplop merah muda.

Surat cinta.

Nara menggelengkan kepalanya. Ternyata ada juga yang menyukai Teguh. Padahal apa bagusnya, walau tampan, Teguh itu orangnya ketus dan selain belajar sepertinya tidak tertarik kepada hal lain. Sungguh melelahkan.

"Kamu ngapain di situ?"

Nara menoleh dan melihat Teguh masuk ke kelas. Ia lupa kalau si Anak Ambis itu biasanya yang datang paling pagi.

"Apa itu?" Teguh menunjuk amplop yang berada di tangan Nara.

Refleks Nara menyembunyikannya di balik punggung. "B-bukan apa-apa." Ah, seharusnya ia menjelaskan.

Teguh setengah berlari ke arahnya. Dengan gesit merebut amplop merah muda tersebut. Menoleh ke arah Nara, pandangan Teguh tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Teguh langsung membuka amplop tersebut dan membacanya. Tidak ada yang Nara inginkan selain menghilang. Entah kenapa ia merasa malu. Seharusnya ia bisa menahan rasa penasarannya tadi.

"Oke," kata Teguh.

"Huh?" Nara mengerjap-ngerjapkan matanya sambil menatap Teguh. "Oke?"

Teguh menaruh surat dan amplopnya ke tangan Nara. "Oke. Sekarang minggir, aku mau duduk."

Nara mengerutkan keningnya. Teguh menyetujui apa? Segera ia membaca surat di tangannya sambil meminta maaf kepada si pengirim dalam hati.

Isinya memang surat cinta tanpa nama. Meminta Teguh untuk menjadi pacar si pengirim.

Tetapi kenapa Teguh bilang oke kepadaku? pikir Nara. Jangan-jangan ....

"Teguh, aku-—"

"Jangan ribut, masih ada buku yang harus kubaca."

"Tapi."

Teguh memutar kepalanya. "Apa lagi? Aku sudah bilang oke. Diamlah, jangan ganggu pacar barumu belajar."

Mendengar itu, Nara jelas saja terkejut. Benar apa yang ia duga bahwa Teguh salah paham. Teman sekelasnya itu mengira Nara menyukainya, dan bahkan mengajaknya untuk berpacaran.

Padahal, kan Nara hanya ada di waktu dan tempat yang salah!

Baru saja Nara akan membuka mulut, beberapa murid memasuki kelas. Beberapa dari mereka bertanya, tumben Nara datang pagi sekali. Bahkan, di kelas hanya ada Teguh dan dia.

Gadis itu hanya beralasan tidak ingin terlambat. Sesekali, ia melirik ke arah Teguh yang ekspresinya serius membaca buku di tangannya.

Baiklah ... Nara akan menjelaskannya di jam istirahat nanti.

* * *

"Teguh!" "Teguh, tunggu!"

Teguh berhenti berjalan. Dia membalikkan badan, menatap Nara dari atas hingga bawah. Gadis itu terlihat mengatur napasnya sejenak sebelum bicara.

"Aku ... Ingin menjelaskan sesuatu padamu," ucap Nara.

Teguh mengangkat satu alisnya, "bukannya aku sudah bilang 'oke'?"

Nara dengan cepat menggelengkan kepalanya, tangannya terkibas-kibas di udara.

"Apa kau mau mengajakku makan siang? Tapi, kau tau sendiri aku tidak pernah ke kantin saat jam istirahat," balas Teguh masih tanpa ekspresi yang berarti.

Astaga ... Dalam hati, Nara mengomel sendiri. Apakah Teguh adalah jenis manusia yang sering salah paham?

"Dengar, bukan aku yang menulis surat itu!" Jelas Nara. Saat itu, yang bisa dilihat olehnya adalah ekspresi Teguh yang tidak ia mengerti.

Mengapa dia terlihat berusaha untuk baik-baik saja? Bukannya santai atau tenang seperti Teguh yang biasanya.

Hanya saja, Nara membuang pikiran itu jauh-jauh. Mungkin Teguh memang merasa jengkel karena dipermainkan, namun lagi-lagi, kenapa dia harus jengkel?

Apa Teguh menyukainya?

"Kau memikirkan apa?" Tiba-tiba, Teguh bertanya.

"Eh, tidak. Aku hanya bingung kenapa kau diam saja." Nara menjawab. Betapa bodohnya pikiran itu bagi Nara.

Keduanya saat ini berada di koridor ke perpustakaan yang agak sepi. Rata-rata, murid-murid memang pergi ke kantin di jam makan siang seperti ini.

"Jadi, bukan kau yang menulisnya?" tanya Teguh seolah memastikan itu benar. Nara mengangguk mantap. Ia menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Teguh, bagaimana gadis itu bisa menemukan amplop merah muda yang berisikan surat cinta.

"Jadi, kurasa kau harus mencari tahunya sendiri," ucap Nara pada akhir ceritanya.

"Tidak," ujar Teguh tenang.

"Hah? Apa maksudmu?" Nara  bertanya, ia bingung. Apa, sih yang di inginkan cowok ini?

"Aku tidak akan mencarinya sendiri. Kau harus membantuku, dan berhubung kau yang menemukan surat itu, artinya kau masih berstatus sebagai pacarku!"

"Ap-apa?!"

"Aku tidak menerima penolakkan."

Teguh berlalu begitu saja meninggalkan Nara yang syok sendirian di koridor. Astaga ... Hari ini dia resmi berpacaran untuk yang pertama kalinya, tapi kenapa harus dengan cowok ketus dan dingin seperti itu?!

Segera Nara menggelengkan kepalanya. Tidak! Bagaimana  bisa dia malah memikirkan hal semacam itu? Itu, kan hanya sebuah kesalahan.

Justru yang harus Nara pikirkan adalah, bagaimana menghentikan semua ini. Nara hanya harus menemukan si pengirim asli. Dengan ini, hubungan Nara dengan Teguh juga akan berakhir.

Nara membalikkan badan lalu berjalan sendirian untuk kembali ke perpustakaan. Kepalanya dipenuhi rencana untuk menemukan si pengirim asli tersebut. Nara jelas ingat bagaimana bentuk rambut siswi itu dari belakang. Jadi, Nara yakin pasti bisa menemukannya.

Padahal, tanpa dirinya sadari,  kalimat yang diucapkan Teguh tadi, adalah kali pertama Teguh berucap panjang lebar pada seorang gadis.

Sepulang sekolah, Nara mengikuti Teguh. Beberapa murid memang heran melihat dua orang yang biasanya tidak bersisian, kini malah berjalan bersama di koridor kelas untuk pulang, tapi belum ada spekulasi macam-macam. Buktinya, Nara tidak ditanyai apapun oleh teman-teman sekelas mereka, atau paling tidak belum.

Nara mengikuti Teguh karena memang cowok itu yang mengajaknya untuk naik angkutan umum bersama. Katanya, Nara bisa menceritakan ciri khas si pengirim asli di perjalanan nanti.

Angkutan kota yang berwarna kuning berhenti di jalanan dekat sekolah. Teguh dan Nara memasuki kendaraan tersebut.

Nara melihat sekitar jalanan kota Bandung yang ia lewati. Di jam-jam pulang sekolah seperti ini, jalanan memang selalu ramai, tapi Nara bersyukur karena Bandung tidak sepanas Jakarta.

Tahun 2002 beberapa pohon banyak ditanam oleh pemerintah sebagai peneduh jalan. Bukit-bukit juga masih dipenuhi pohon, dan berkat itu Nara mengerti Bandung salah satu kota terdingin di Indonesia.

"Jadi, bagaimana ciri fisiknya?" tanya Teguh membuat lamunan Nara tentang kota tempat tinggalnya ini, langsung buyar.

"Aku hanya melihat siswi itu berambut pendek. Tubuhnya tinggi, sepertinya, sih cantik." Nara berujar dengan mata berbinar. Karena itu artinya, Teguh bisa menerima cinta gadis itu tanpa harus merasa jengkel atau keberatan.

Bagaimana, pun cowok itu suka perempuan cantik, kan?

"Memangnya kenapa kalau cantik?" tanya Teguh lagi.

"Hah? Bukankah, cewek cantik idaman semua cowok?" Nara malah balik bertanya.

Teguh mengangkat bahu, "mungkin saja, tapi kau juga cantik, kok."

Nara terdiam, berusaha mencerna kalimat yang ia dengar. Setelah itu, pipinya malah bersemu tanpa sebab.

"Jadi, kau tetap jadi pacarku saja."

Kalimat itu adalah kalimat penutup dari Teguh. Seolah tidak menerima bantahan, Teguh malah membalikkan badan dan lebih memilih mengarahkan tubuhnya ke arah pak supir.

Padahal, Nara sedang berusaha menekan degup jantungnya yang mendadak berdebar.

Loh, bukannya Nara tidak suka pada Teguh?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro