Bulan Merah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Note: Nanti akan ada adengan dmn Shamhat akan brnyanyi. Kira2 laguny kyk yg ada di mulmed tp bayangin kalau lirik Jepangny it lirik dngan bahasa Paku.

Reader's POV

"Kalian beristirahatlah sebentar lalu mandi! Setelah matahari terbenam, kita akan segera memulai perayaan pertamanya," ucap Gilgamesh kepadaku dan Nona Siduri.

"Baik!" sahut kami berdua.

Aku dan Nona Siduri membungkukkan tubuh kami untuk memberi hormat lalu pergi meninggalkan Gilgamesh.

Sebentar lagi hari akan gelap dan perayaan pertama untuk perayaan berkah kepada Dewa Enki akan segera dimulai. Aku dan Nona Siduri berjalan berdampingan.

Lalu untuk Enkidu, sama seperti biasa dia terbang kesana kemari sambil mengikuti kami. Sama dengan Shamhat, Nona Siduri lebih tinggi beberapa senti dariku dan ini membuatku sedikit minder. Aku pendek.

"Nona Siduri, aku jarang melihatmu berada di istana. Bukankah kamu sekertaris Gilgamesh?" tanyaku.

"Tepat dan Raja Gilgamesh memberikan tugas kepadaku untuk terjun langsung ke kota untuk melihat keadaan penduduk setiap harinya. Setelah itu melihat keadaan perkebunan dan pertanian kerajaan, lalu yang lainnya."

"Ah, tugasmu terjun langsung ke lapangan ya? Sepertinya sangat capek ..."

"Pekerjaan ini memang melelahkan tapi juga menyenangkan karena kita bisa langsung berbaur dengan penduduk di kota."

Nona Siduri tersenyum dengan lembut. Ah, dia terlihat sangat menawan! Salah satu dari kakak idaman!

-----

Para pelayan yang merupakan temanku membantuku untuk memakai tunik serta perhiasan ini. Perhiasan seperti kalung, anting-anting, gelang tangan dan kaki, dan perhiasan lainnya.

Jujur, semua perhiasan-perhiasan ini terasa berat tapi apa daya, aku harus menghormati ucapara ini kan? Kata mereka aku harus memakai perhiasan emas ini karena aku adalah Putri Uruk.

Rambutku digeraikan dengan ada kepangan sedikit. Enkidu juga terlihat antusias, katanya sudah lama dia tidak melihat penampilan dari para pelacur kuil.

Kira-kira penampilan apa yang akan mereka tampilkan? Tapi aku harap, mereka tidak akan menampilkan yang tidak-tidak.

"Sudah selesai (Y/n)! Sekarang kau bisa menemui Raja Gilgamesh! Dia pasti akan terpesona!" ucap salah seorang temanku.

"Terima kasih banyak untuk kalian semua! Kalian yang semangat ya!"

Aku melambaikan tangan kepada mereka lalu langsung pergi menemui Gilgamesh. Aku meminta mereka untuk memanggilku dengan namaku karena aku tidak suka jika mereka memanggilku dengan sebutan putri. Dulu kami juga bekerja bersama sebagai pelayan disini!

Aku bertanya kepada beberapa pelayan dan kata mereka, Gilgamesh sudah berada di depan Istana. Dengan cepat aku dan Enkidu menuju kesana.

Disana terlihat Gilgamesh yang sudah memakai pakaian formal dan tentu perhiasan. Sekarang aku berhadapan dengan punggungnya. Rasa kagum kembali menghampiriku, bahkan dengan melihat punggungnya saja sudah membuatku merasa terkagum-kagum dengannya.

"Gilgamesh," panggilku pelan sambil menepuk punggungnya.

"Hm? Oh (Y/n)! Lihatlah dirimu! Semakin hari kau semakin terlihat mempesona!" pujinya sambil merangkul pinggangku.

Aku merasakan pipiku memanas dan aku membuang wajahku. Tentu aku berusaha melepaskan diri dari rangkulannya. Ugh, raja mesum!

"Pasangan serasi~~" ucap Enkidu yang membuatku menatap tajam dirinya. Kemudian dia tertawa sambil mengucapkan kata 'maaf' kepadaku.

Obor-obor dinyalakan, banyak sekali hiasan-hiasan yang ada disini. Entah bagaimana cara mengatakannya tapi terlihat sangat sangat ramai dan indah! Hari sudah gelap dan mungkin perayaan akan segera dimulai.

Tak lama, dari samping istana muncul segerombolan orang dengan memakai jubah hitam dan tongkat kayu ditangan mereka, lalu dibelakang mereka perempuan-perempuan cantik dengan memakai tunik putih polos dan selendang berwarna senada dengan tunik mereka mengikuti para orang-orang jubah itu.

Aku melihat Shamhat disana, dia memakai mahkota bunga yang berwarna-warni, sama seperti perempuan-perempuan lainnya. Aku yakin kalau mereka itu para pelacur kuil.

"Yang memakai jubah adalah para tetua sedangkan perempuan-perempuan itu adalah para pelacur kuil," jelas Gilgamesh dengan bisikan. Ah, benar dugaanku.

Nona Siduri juga sudah berdiri disamping Gilgamesh, Ayah dan Ibu sudah berdiri dibelakangku. Ketika aku ingin menyapa mereka, Gilgamesh dengan cepat menghentikanku. Ah, tidak boleh ya?

"Jangan bersuara terlalu keras. Kau akan dinilai tidak sopan dan mereka akan menganggapmu pembawa kesialan!" bisik Gilgamesh.

Wah, susah sekali sepertinya. Tapi keadaan disini benar-benar sangat sunyi. Gilgamesh juga masih merangkul pinggangku. Para tetua itu kemudian membuka jubah mereka. Jumlah mereka ada 5 orang.

Sebagian besar dari mereka sudah tua dan berjenggot putih tapi ada seorang tetua yang masih terlihat muda. Hm, apakah dia orang spesial?

Mereka membungkukkan tubuh mereka dan memberi hormat kepada Gilgamesh --yang diikuti oleh para pelacur kuil. Gilgamesh mengangguk kepalanya.

Suara pukulan gendang terdengar tapi mereka hanya memukulnya sekali, kemudian salah seorang tetua yang lebih tua mulai membuka mulutnya, menyanyikan sebuah lagu (?) dengan bahasa yang tidak kumengerti.

Tak lama tetua yang lain mengikuti tetua tadi dan mereka bernyanyi bersama. Setelah bernyanyi sebentar, suara pukulan gendang kembali terdengar, tapi kali ini suara pukulan itu ditemani oleh suara-suara alat musik lainnya.

Para tetua berjalan kesamping, memperlihatkan para pelacur kuil yang sudah mengangkat tangan dan kaki mereka, sudah bersiap untuk menari.

Nyanyian terdengar, bukan hanya berasal dari para tetua tapi juga semua yang ada disini kecuali aku dan Gilgamesh. Aku benar-benar tidak tahu lagu ini dan aku harap mereka tidak akan berburuk-sangka kepadaku karena aku tidak ikut bernyanyi.

Para pelacur kuil menari dengan indahnya. Enkidu juga terlihat sangat gembira, mungkin karena dia dapat melihat kekasihnya menari.

Sekarang, musik-musik dan nyanyian-nyanyian itu ditemani oleh suara pukulan tombak dan perisai oleh para prajurit. Para pelayan istana yang berjenis kelamin laki-laki mengangkat arak-arakan Dewa Enki di bahu mereka lalu para pelacur kuil itu menari mengelilingi mereka.

'Tarian yang indah! Aku jadi teringat dengan Jepang ...'

Setelah bernyanyi dan menari, salah seorang tetua yang lebih muda mendatangiku dan Gilgamesh sambil membawa kalung yang terbuat dari bunga. Dia memberikan kalung itu kepada kami, aku mengambilnya sambil melihat kearah Gilgamesh.

"(Y/n), ikuti apa yang dilakukan oleh Gilgamesh! Dan berhati-hatilah! Tetap tenang dan lihat lurus ke depan!" ucap Enkidu. Di dalam hati aku berterima kasih kepada Enkidu karena dia selalu saja membantuku dalam setiap hal yang tak ku ketahui.

Akhirnya Gilgamesh melepaskan rangkulannya dan dia berjalan menuruni anak tangga. Dengan perasaan berdebar, aku mengikuti aksinya. Suasana menjadi makin ramai dan meriah.

Gilgamesh mengalungkan patung Dewa Enki dengan kalung bunga tersebut, lalu dia membungkukkan tubuhnya, memberi hormat kepada sang dewa. Dengan hati-hati, aku juga melakukan hal tersebut, mengalungkan, memberi hormat, lalu menghampiri Gilgamesh (lagi, terima kasih Enkidu karena sudah memberitahukannya kepadaku).

Gilgamesh memegang tanganku dengan erat, begitu juga denganku. Para tetua ini kembali membungkukkan tubuh mereka, memberi hormat kepada kita berdua.

"HIDUP DEWA ENKI! HIDUP DEWA ENKI! HIDUP RAJA GILGAMESH! HIDUP RAJA GILGAMESH! HIDUP PUTRI (Y/N)! HIDUP PUTRI (Y/N)!" ucap mereka semua bersamaan.

Alat-alat musik kembali dimainkan lalu Shamhat berdiri didepan dan mulai bernyanyi sambil menari yang diikuti oleh teman-temannya.

Pelayan-pelayan --baik perempuan maupun laki-laki juga bernyanyi bersamanya. Lagu yang indah juga tarian yang indah! Tubuh mereka sangat gesit menarikan tarian-tarian susah itu.

Aku melihat Gilgamesh yang terlihat bahagia. Aku dan Gilgamesh masih berdiri disamping arak-arakkan Dewa Enki tapi jarakku dengan arak-arakkan itu agak jauh karena ada Gilgamesh.

Enkidu juga melompat-lompat bahagia, semua orang yang berada disini juga begitu. Wah, perayaan yang menarik. Entah mengapa aku jadi sangat merindukan Jepang.

"Apa kau menikmati perayaan ini? Ini yang pertama untukmu kan?" tanya Gilgamesh.

"Aku menyukainya! Sungguh perayaan yang sangat sangat menarik dan indah! Dan benar, ini yang pertama kalinya aku melihat perayaan orang-orang Mesopotamia!"

Gilgamesh tersenyum lembut kepadaku, akupun juga membalas senyumannya. Disamping kami, terlihat Enkidu yang juga tersenyum bahagia.

Tapi kemudian, langit yang cerah dengan bulan berwarna putih yang seperti biasa kita lihat berubah. Orang-orang yang berada disini menjadi heboh, begitu juga dengan Shamhat dan teman-temannya yang berhenti bernyanyi.

Warna bulan perlahan berubah menjadi warna merah, merah darah. Sama seperti yang ku lihat di Jepang beberapa waktu lalu. Disini juga ada?

Gilgamesh segera memelukku dengan erat, orang-orang menjadi sangat ricuh. Aku harap ini bukan petanda buruk!

"Lagi-lagi bulan merah?" ujar Gilgamesh.

"Huh? Lagi-lagi?"

"Benar, beberapa waktu lalu juga bulan berubah warna menjadi warna merah semerah darah. Tidak ada hal buruk yang terjadi tapi tentu kami merasa khawatir," jelas Gilgamesh.

Berarti ini bukan yang pertama kalinya disini? Jantungku berdetak dengan kencang. Ada apa sebenarnya?

----

Bulan masih berwarna merah ketika perayaan berlangsung. Sekarang kami sudah menghentikan perayaan ini dan akan dilanjutkan besok pagi. Aku memandang bulan ini di kamarku dengan diam.

Enkidu sudah tertidur pulas diranjang, tapi aku yakin dia tidak tidur cuman bersikap seperti manusia yang tidur. Lagipula, apa hantu bisa tidur?

Gilgamesh, kira-kira apa yang sedang dilakukannya? Tadi para tetua memanggilnya dan dia memintaku untuk pergi duluan.

Entah apa yang mereka bahas, apa mereka membahas tentang bulan itu? A-atau jangan-jangan, mereka akan bilang kalau aku adalah penyebab bulan merah itu? Lalu mereka akan menghukumku dan memenggal kepalaku!

B-bagaimana ini? Aku belum mau mati! Aku harus melihat kedua adikku sukses terlebih dahulu baru aku bisa tidur dengan tenang! Aku juga ingin pulang!

"(Y/n)? Apa yang kau pikirkan? Mengapa wajahmu terlihat sangat pucat?"

Tanpa sadar, Enkidu sudah duduk di tepi ranjang sambil melihatku dengan khawatir. Aku menggeleng kepalaku dan tersenyum lemah kepadanya.

"Aku ... hanya takut kalau hidupku akan segera berakhir," jawabanku bagaikan tombak yang menusuk dada Enkidu.

Dengan wajah panik Enkidu segera menghampiriku lalu memegang kedua tanganku. Dia memegang wajahku, terlihat air mata keluar dari sudut matanya.

"M-mengapa kau mengatakan itu? Apa kau sakit? A-apa kau--"

"Bukan! Tadi aku melihat para tetua memanggil Gilgamesh dan aku takut kalau mereka akan bilang akulah penyebab bulan merah itu. Lalu aku takut kalau--"

"Gilgamesh akan menangkapmu lalu memenggal kepalamu? Oh (Y/n)! Kau membuatku hampir mati dan jika aku mati lagi, berarti di dalam hidupku aku sudah mati dua kali! Tenanglah (Y/n), para tetua tidak membicarakanmu melainkan membicarakan ritual yang harus dilakukan oleh sang raja," jelas Enkidu yang membuatku sangat lega.

Aku mengucapkan terima kasih kepada Enkidu, lalu Enkidupun memelukku. Aku kembali mencoba memeluk dirinya tapi nihil, aku hanya memeluk angin.

Hanya dia yang bisa memegangku, aku tidak bisa. Terkadang aku merasa sedikit sedih karena tidak bisa menyentuh kakak laki-lakiku ini.

"Tapi kurasa Gilgamesh pasti sudah istirahat dikamarnya," sahut Enkidu.

Aku tersenyum. Aku berniat ingin mengunjunginya. Aku ingin membicarakan tentang bulan merah ini, mungkin akan memberikan petunjuk untukku agar aku bisa kembali ke asalku!

"Aku akan mengunjungi Gilgamesh! Aku harap dia belum tidur!" aku langsung melewati tubuh Enkidu yang tembus ini beranjak menuju pintu.

"T-tunggu! M-mungkin saja Gilgamesh sedang tidur! J-jangan ganggu dia!"

"Hm? Bukankah katamu dia sering tidur larut malam? Ini belum terlalu larut malam kok!"

"M-mungkin saja karena dia capek dia tertidur! A-ayo, kita tidur juga! Besok kita harus bangun pagi-pagi sekali!"

"Kalau begitu biarkan aku melihatnya sebentar! Bagaimana jika dia tertidur di ruang kerjanya? Aku harus menyelimutinya!"

Enkidu terus memanggilku dan memintaku untuk tidak pergi menemui Gilgamesh. Tapi tentu aku menghiraukannya, bagaimana jika dia tidak memakai selimut atau tertidur di ruang kerjanya?

Dia pasti akan kedinginan! Dan jika dia belum tidur, maka aku bisa membahas tentang bulan ini dengannya!

Aku hampir sampai di kamar Gilgamesh dan Enkidu terus menerus berusaha menghentikanku. Ada apa dengan Enkidu? Mengapa dia seperti itu?

"Y-Yang Mulia ...," terdengar suara perempuan yang tak asing dari arah kamar Gilgamesh.

"Shamhat, seperti biasa tubuhmu terlihat sangat indah, kau juga sangat panas." terdengar juga suara Gilgamesh.

Aku melihat kearah Enkidu, dia lalu membuang wajahnya. Dia membalikkan tubuhnya dan sekarang aku menghadap punggungnya.

Terdengar suara desahan dari dalam kamar Gilgamesh. Huh? Apa aku salah dengar?

Aku membuka pintu sedikit dan membelalakkan mataku ketika melihat Gilgamesh dan Shamhat sedang melakukan 'itu'. A-apa-apaan itu?

Aku menutup kembali pintu kamar tersebut. Mereka berdua ... terlihat sangat gembira, heh?

Aku tersenyum pahit, entah mengapa hatiku terasa sangat sakit. Kembali terdengar suara teriakan Shamhat, aku langsung menutup kupingku lalu berlari menjauh dari kamar Gilgamesh.

"(Y/n)!"

Enkidu memanggilku tapi aku tidak peduli. Aku tidak peduli! Aku berlari keluar istana, berlari kearah taman istana lalu berhenti sambil menangis disana.

Enkidu mengejarku lalu diapun memelukku. Terlihat dari sini sebuah ruangan yang lilinnya masih menyala dan aku yakin kamar itu adalah kamar Gilgamesh. Tak lama lilin di kamar tersebut dimatikan.

Heh, jadi begini kelakuan raja yang sesungguhnya? Jadi begini perayaan orang-orang zaman purba? Berarti benar yang ku baca di internet bahwa ritual hubungan intim itu benar-benar ada!

Aku menangis dalam diam, tapi air mataku keluar dengan sangat banyak. Sesak, rasanya sangat sesak! Entah mengapa aku merasakan rasa ini tapi rasanya benar-benar sesak!

Ritual macam apa itu!? Mengapa harus begitu?! Mengapa harus begitu?! Apakah tidak ada cara lain? APAKAH TIDAK ADA CARA LAIN?! MENGAPA HARUS DIA DIANTARA SEMUA RAJA?!

"(Y-Y/n), sebaiknya kita menjauh dari sini. Gilgamesh akan segera ke koridor kamarnya dan dia akan melihatmu menangis. Ayo (Y/n), ayo ku bantu!"

Perkataan Enkidu sangat lembut dan dia membantuku berdiri. Tapi apa daya kakiku terasa sangat lemas, berdiripun rasanya terasa sangat susah.

"G-gawat! Gil! Gil akan--"

"(Y/N)?!"

Terdengar suara Gilgamesh. Aku melihatnya di koridor kamarnya. Dia sudah memakai tuniknya, lalu dengan cepat dia melompat dari koridor kamarnya. Dia berlari menghampiriku.

Tak lama terlihat juga Shamhat yang juga sudah memakai pakaiannya. Entah tenaga darimana tapi dengan cepat aku berdiri lalu berjalan dengan cepat meninggalkan Gilgamesh.

"Tunggu! (Y/n)! Berhenti! Aku bilang berhenti!"

Aku mengentikan langkahku. Gilgameshpun mendekat lalu memegang tanganku. Aku berusaha melepaskan pegangannya, merasa jijik dengannya.

"(Y/n)? Ada apa denganmu?"

Gilgamesh memegang bahuku lalu memutar tubuhku, sekarang aku menghadapnya dan dia terlihat sangat terkejut. Sial sekali hidupku!

"(Y/n)? Ada apa? Mengapa kau menangis? Apa kau sakit? Atau apa ada yang mengganggumu?"

Gilgamesh mengangkat tangannya, berniat ingin menyentuh wajahku tapi aku langsung menangkis tangannya. Kembali, dia terlihat terkejut.

"(Y/n)?"

"Jangan pernah kau sentuh aku dengan tangan kotormu! Dasar tua bangka mesum! Aku membencimu! Kau sangat menjijikkan!"

Aku berjalan menjauh darinya. Dia terlihat terkejut, kemudian ekspresinya kemudian berubah menjadi sedih. Dia mendekatiku dan berniat ingin memelukku. Aku menangkis tangannya lalu menamparnya dengan keras.

Sangat keras hingga suara tamparanku terdengar dengan jelas. Tidak ada orang disini tapi aku yakin Shamhat dapat melihat kita berdua. Enkidu juga terkejut akan aku yang menampar sahabatnya itu.

Gilgamesh memegang pipinya yang merah lalu dia kembali melihatku dengan tatapan sedihnya. Terlihat darah segar keluar sedikit dari bibirnya.

Aku berjalan mundur lalu meninggalkannya sendirian disana. Aku tidak peduli! Aku tidak peduli lagi jika aku harus mati besok! Masa bodoh! Toh belum tentu aku bisa kembali ke dunia asalku!

Aku membuka pintu kamarku lalu menutupnya sedikit keras. Aku langsung menghamburkan tubuhku ke ranjang ini. Aku kembali menangis disana.

"Hush, hush, (Y/n), sudah sudah! Jangan menangis lagi! Ayo, kita tidur," ucap Enkidu lembut.

Enkidu menarik selimut lalu menyelimutiku juga dirinya. Kemudian dia memelukku, aku dapat merasakan kehangatan yang diberikannya lalu entah kapan aku bisa tertidur dengan pulas di ranjang tersebut.

End of Reader's POV
.
.
.
.
.
.
Author's Note:

Yo dan kembali lagi dengan ane!

Maaf kalau chapter ini gaje, ada typo, dsb desu! Lalu untuk mendeskripsikan, jika ada yg kurang mohon dimaafkan juga!

Lalu untuk ritual hubungan intim, itu memang benar-benar ada dan benar-benar dilakukan di zaman dulu! Ritual itu adalah ritual suci mereka (entah mngapa dianggap suci sma mereka :v).

Jangan lupa memberikan vote serta komen lalu memfollow akun ini jika berkenan! Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Lalu ku berharap agar wattpad tidak heng lagi -_-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro