PART 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Terkadang harus terluka dahulu untuk menjadi kuat, harus mengalami kekalahan dahulu sebelum menang karena beberapa pelajaran harus dimulai dengan rasa sakit~

🌿🌿🌿🌿

Budayakan vote dulu sebelum membaca 😊

Mobil Fortuner yang digunakan setelah mengantarkan seseorang, melaju menyusuri jalan tadi sewaktu berangkat. Kedua mata lelaki tampak jeli menatap ke arah kanan kiri berharap menemukan seorang perempuan yang telah dipaksakan turun di jalan ini.

Laki-laki itu menghela napas kasar ketika tidak menemukannya. Kemungkinan sudah pergi mengingat sekarang sudah turun rintik gerimis. Namun, ketika melihat ke arah kanan, pandangannya tak sengaja melihat sosok perempuan tadi yang sedang duduk di bangku taman terlihat sedang menangis.

Dimas bergegas turun dan menghampiri perempuan itu yang masih menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Mbak," sapa Dimas pelan.

Wajah kulit putih yang sekarang sudah kemerahan pelan terangkat. Pipinya basah, kedua matanya bengkak. Seketika pandangannya langsung berbinar-binar menatap Dimas.

"Apa Zein ada di dalam mobil?" tanyanya dengan wajah sumringah. Bahkan tubuhnya sudah beranjak dari kursi taman.

Dimas menggeleng lemah sehingga perempuan itu langsung menjatuhkan tubuhnya lagi menjadi posisi duduk. Air mata kembali berlinang di pipinya yang mulus.

"Mari saya antarkan kembali pulang," ajak Dimas dengan hati-hati. Entah kenapa sejak pertemuan tadi pagi membekas di hati Dimas ketika mengemis cinta kepada majikannya.

"Apa Zein yang menyuruh?" tanya Diana dengan tatapan nanar.

"Tidak," jawab Dimas ketakutan. Ia tidak ingin jika majikannya mengetahui jika dirinya sedang bersama mantan kekasihnya.

"Ayo cepat, antarkan saya pulang sekarang!"

Dimas tersadar dari lamunannya. Ia melihat perempuan itu sudah berjalan cukup jauh di depan. Dengan sedikit berlari Dimas menyusul Diana yang sekarang sudah dekat dengan mobil milik Zein.

Karena kalah cepat dengan Diana, Dimas membiarkan perempuan itu membuka pintu sendiri. Dimas tidak menyangka jika Diana akan duduk di sampingnya saat menyetir mobil.

Hampir seperempat jam keduanya tak ada yang berani bersuara. Apalagi Dimas sadar diri jika posisinya tak lain sebagai sopir pribadi, tak sopan jika harus bertanya terlebih dahulu kepada perempuan ini.

"Siapa calon tunangan Zein," tanya Diana kepada Dimas.

"Saya tidak tahu," jawab Dimas singkat.

"Jangan bohong! Bukankah kamu sebagai sopir paham harusnya paham jika Zein sedang dekat dengan perempuan!" gertak Diana.

Suara Diana sudah naik satu oktaf sehingga membuat suasana di dalam mobil terasa semakin dingin.

"Demi Allah, saya tidak tahu calon tunangan Pak Zein. Saya baru bekerja dua hari ini dengan dia."

Diana hanya menghela napasnya dengan kasar, pandangannya kembali tertuju pada pemandangan di luar mobil.

Sementara Dimas terus berpikir keras siapa sosok yang akan mendampingi majikannya. Setahu dia jika Zein tidak pernah mengajak perempuan naik mobil ini kecuali seseorang perempuan yang tengah duduk di sampingnya.

Pikiran Dimas melalang buana mencari jawaban dari rasa penasarannya. Sampai-sampai semua perempuan yang ia temui di kafe Bintang menyelinap dalam ingatannya. Cepat-cepat ia mengusir sosok bayangan paruh baya yang ia temui saat di sana.

Dimas langsung kembali fokus menyetir mobil karena tujuan utamanya adalah tempat saat tadi menaikkan perempuan ini.

"Terima kasih," ucap Diana saat mobil sudah berhenti di depan rumahnya. Ia menatap sekilas laki-laki yang sekarang menjadi sopir pribadi mantan kekasihnya. Sedari tadi di perjalanan, Diana sama sekali tidak memperhatikan laki-laki ini yang sepertinya bukan orang sembarangan.

Dimas hanya mengangguk sambil tersenyum. Tak ada niat dalam hatinya untuk mendekati perempuan kekasih majikannya. Ia merasa iba saat perempuan ini dipaksa turun oleh Zein.

Gawai Dimas bergetar menandakan pesan masuk, dengan gugup ia membuka pesan berharap bukan dari Zein.

Senyum tipis tercetak di bibirnya ketika membaca kata demi kata pesan dari kekasihnya yang mengajaknya untuk bertemu.

🌿🌿🌿🌿

Seorang perempuan dengan baju tunik panjang berwarna merah muda dengan kerudung motif bunga tengah berdiri di tepi jalan raya dekat kampus. Buku binder yang lumayan tebal ia peluk di depan dadanya.

Tak berselang lama, mobil yang sama seperti kemarin tengah menghampiri dan berhenti di depannya.

Alya langsung masuk dan duduk di samping Dimas. Hatinya berdegup kencang ketika harus berdampingan dengan laki-laki itu. Bukan debaran cinta melainkan rasa takut yang ia simpan sendiri.

"Hari ini kita mau kemana?" tanya Dimas dengan lembut.

"Ada hal penting yang ingin aku bicarakan," tukas Alya dengan wajah yang teramat serius.

Dimas yang hendak menyalakan mobil, akhirnya menatap wajah kekasihnya. Ia tertegun karena baru pernah melihat wajah di samping yang sangat tegang seperti menyimpan suatu masalah.

"Ada apa?" tanya Dimas dengan suara yang khas.

"A-ayah ...." Alya tak mampu meneruskan ucapannya karena suaranya seperti terhenti di tenggorokannya.

"Ayah kenapa?" tanya Dimas yang sudah jantungnya berdetak di atas rata-rata. Ia sempat syok ketika perempuan itu menyebutkan seseorang yang menjadi penghalang hubungan mereka berdua.

"Ayah akan menjodohkan aku dengan laki-laki pilihannya."

Dimas sangat kaget karena apa yang ia takutkan akhirnya terjadi juga. Badannya terasa sangat lemas tak bertenaga ketika mendengar pernyataan Alya.

"Apa kamu menerimanya?" tanya Dimas dengan bijaksana. Bagaimanapun ia tidak bisa memaksakan apa yang menjadi keinginannya.

Alya menutup wajahnya dengan kedua tangannya, isak tangis tetap terdengar walaupun sudah ditahan oleh tangan.

Dimas hanya bisa menahan napasnya karena hari ini sudah ada dua perempuan yang menangis di mobil ini. Entah kenapa takdir mereka sama.

"Apa yang harus sekarang Mas lakukan, Al?" panggil Dimas dengan suara yang dibuat masih sama seperti tak terjadi apa-apa walaupun rasa sesak dan membuncah di dalam dada yang hendak menyeruak memaksa untuk dikeluarkan.

Alya masih terdiam membisu. Ia terus menatap ke pangkuannya yang juga basah karena tetesan air matanya.

"Kamu tahu kan bagaimana perasaan Mas sama kamu? Perjuangan kita selama ini?" tanya Dimas dengan suara yang mulai serak.

"Kita sudah mempertahankan sejauh ini dan sekarang kamu mulai menyerah begitu saja?" imbuh Dimas sehingga membuat Alya semakin terisak.

"Mas harus bertemu dengan orang tua kamu agar bisa memperlihatkan jika Mas tulus dan benar-benar menyayangi kamu."

Kedua mata Alya yang merah dan sedikit bengkak menatap wajah Dimas dengan panik. Gelengan kecil dari Alya cukup sebagai isyarat jika ia tidak menyetujui ucapan Dimas.

"Kenapa Mas tidak boleh datang ke rumah? Karena Ayah kamu tidak setuju? Mas sudah capek dengan hubungan kita yang terus sembunyi-sembunyi?"

Dimas mengacak rambutnya dengan kasar. Ia benar-benar frustasi dengan masalah ini.

Sementara Alya masih sangat panik dan bingung dengan jalan pikiran Dimas. Ia tidak mungkin membiarkan Dimas ke rumah karena nantinya akan membuat Ayahnya marah sehingga mengakibatkan tensinya naik drastis.

"Mas akan tunggu keputusan kamu. Semoga saja hubungan kamu dengan laki-laki itu tidak berlanjut sampai pernikahan sehingga nantinya Mas akan maju menggantikannya," ucap Dimas dengan sekali tarikan napas.

Alya mengangguk pelan, wajahnya berangsur cerah setelah mendengar keputusan kekasihnya. Dalam setiap embusan napasnya ia tentu akan berdoa jika rencana pernikahan dengan laki-laki pilihan Ayah akan batal.

"Sudah sore, Mas antarkan kamu pulang karena mobil ini-"

Hampir saja Dimas mengungkapkan sesuatu yang ia masih sembunyikan dari Alya.

"Alya tahu Mas," ucap perempuan itu sambil melirik ke arah kekasihnya. Sontak Dimas sangat panik, wajahnya tampak gelisah.

"Tahu apa, Al?" tanya Dimas dengan gugup.

"Kalau sebenarnya ini bukan mobil kantor tetapi mobil pribadi milik seseorang," jawab Alya hati-hati karena takut menyinggung perasaan kekasihnya.

"Maaf," sesal Dimas meratapi kesalahannya karena sudah berbohong.

"Apa kamu marah karena Mas sudah berbohong?"

Alya menggelengkan sambil tersenyum dan berkata," Apapun pekerjaannya selama masih halal, akan Alya dukung."

Dimas tersenyum lega, ia memang tidak pernah salah jika memilih Alya untuk menjadi calon pendampingnya.

Mobil sudah sampai di gang tempat mereka berpisah tetapi Dimas tidak menghentikannya. Mobil tetap melaju, bahkan hampir sampai di depan rumah Alya sehingga membuat perempuan ini menjadi sangat panik.

"Mas, kita kok -"

Sayang ucapan Alya terlambat dan mobil sudah berhenti di depan rumah. Alya semakin enggan untuk turun karena ada seorang laki-laki paruh baya tengah memperhatikan mobil ini dari luar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro