PART 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Jodoh ada di tangan Tuhan, tetapi bahagia kita yang ciptakan~

🌿🌿 Happy weekend and happy reading, vote dulu ya biar semangat baca🌿🌿


Pandangan Alya tertunduk ketika berhadapan dengan Ayah yang tengah melihat dirinya saat melintas di depan.

Walaupun tanpa melihat wajah beliau, tetapi perempuan yang tengah ketakutan sudah pasti bisa membayangkan wajah Ayahnya.

Alya pelan-pelan mendengar tapak kaki seperti Dimas yang tengah berjalan di belakangnya. Perempuan itu merutuki dalam hati kenapa Dimas ikutan turun dari mobil. Seharusnya dia pergi dan masalah untuk hari ini sudah selesai.

"Al, masuk kamar!" perintah Ayah kepada putrinya.

Tanpa jawaban dari bibir mungil milik Alya, ia sudah bergegas menuju dalam dan tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.

Sekarang tinggallah dua orang laki-laki dewasa yang saling berhadapan. Laki-laki muda merengkuh tangan Ayah Alya. Mengecup pelan punggung tangan sekejap. Walaupun ia tahu jika laki-laki tua ini tidak pernah mengharapkan kehadirannya, tetapi ia harus bersikap sopan. Siapa tahu bisa melunakkan hatinya yang beku.

"Ada yang mau Ayah bicarakan sama kamu," sahut Ayah Alya sambil menepuk bahu Dimas pelan.

Dimas hanya mengangguk pelan. Jantungnya sudah berdebar kencang. Hampir tiga bulan dirinya baru pernah bertemu dengan laki-laki paruh baya ini yang selalu melarang putrinya agar tidak boleh berdekatan dengan dirinya.

"Ayah akan menjodohkan Alya dengan putra dari teman saya," sahut Ayah masih dengan suara dinginnya.

Kedua kaki Dimas langsung kaku seperti tidak ada tenaga. Dengan keberanian tingkat tinggi, ia menatap wajah yang di depannya.

"Apa boleh saya diberikan kesempatan untuk membahagiakan putri Ayah," pinta Dimas dengan wajah sedih.

Ayah Alya tertawa pelan sehingga Dimas tak percaya dengan apa yang ia lihat. Jangankan canda, senyum pun tak pernah ia lihat selama kepergok mengantarkan Alya pulang.

"Saya tahu kamu sangat mencintai putri saya, tetapi sebagai seorang Ayah pasti menginginkan putrinya menikah dengan orang yang sudah mapan dan berasal dari keluarga baik-baik pula."

Jawaban Ayah sangat menusuk hati Dimas. Walaupun laki-laki tua itu mengucapkan dengan pelan tetapi masih saja terasa di hati yang paling dalam.

Dimas tak melihat sinar amarah dari Ayah Alya, yang adalah harapan yang sangat besar agar putrinya hidup bahagia bersama orang yang pantas.

"Pulanglah dan jangan dekati Alya lagi!" ucap Ayah sambil menepuk pelan bahu Dimas. Laki-laki tua itu pergi meninggalkan Dimas yang masih terdiam di halaman rumah.

Alya hanya bisa menitikkan air matanya lagi dan lagi. Sedari tadi percakapan dua orang laki-laki itu cukup terdengar sampai kamarnya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Sepertinya ia harus merelakan apa yang menjadi keinginannya karena ingin berbakti kepada orang tua khususnya Ayah.

🌿🌿🌿🌿

Hari Minggu Zein semakin panik, pasalnya dua hari lagi orang tuanya akan pulang dan membawanya bertemu dengan seseorang.

Bagaimana tidak, ia sudah menaruh harapan besar jika yang menjadi istrinya adalah Diana tetapi Mamah tak pernah setuju karena beliau menginginkan perempuan yang Sholehah dan menutup aurat.

"Ini tidak boleh terjadi," pekik Zein geram. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan langsung meraih ponsel untuk menelepon seseorang.

Sayang sekali orang yang dihubungi tidak mengangkat telepon. Jangankan tersambung, aktif pun tidak.

Akhirnya terpaksa Zein mengambil kunci mobil yang lain karena mobil Fortuner sedang di bawa sopirnya.

Dengan berbekal alamat di kartu nama, Zein mencari alamat yang di tuju. Tidak butuh waktu yang lama akhirnya ia sampai di rumah sederhana yang didominasi warna hijau.

Ada keraguan sendiri dalam diri Zein untuk meneruskan niatnya. Namun, ia harus melaksanakannya siapa tahu berhasil.

Zein mengetuk pintu rumah dengan pelan dengan jantung yang berdetak lebih kencang.

Setelah pintu terbuka, tampak seorang laki-laki paruh baya di hadapannya.

"Assalamualaikum, Om, " sapa Zein sambil mencium tangan laki-laki yang sebentar lagi menjadi calon mertuanya.

"Wa'alaikumsalam." Ayah mengusap lembut bahu Zein.

"Boleh saya bertemu dan mengajaknya pergi? Ada hal penting yang harus saya sampaikan," pinta Zein dengan sopan.

Ayah mengangguk memanggil Alya-putrinya.

🌿🌿🌿🌿

Alya yang berada di kamar merasa pintu kamarnya diketuk oleh Ayah, ia bergegas membukakan pintu.

"Ada seseorang yang mencari kamu," ucap Ayah dengan wajah bahagia.

"Siapa?" tanya Alya penasaran karena dari tadi tidak mendengar suara motor berhenti di depan rumahnya.

"Cepat pakai kerudung, nanti Ayah kenalkan."

Alya mengikuti Ayah yang sudah berada di depan. Dengan masih memakai piyama dan jilbab seadanya menuju ke depan.

Alya melihat seorang laki-laki yang sedang menunggu di kursi ruang tamu. Pandangan mereka bertemu sekejap dan laki-laki itu selanjutnya melihat ke arah Ayah.

"Dia Zein, lusa dan keluarganya akan kemari untuk melamar kamu," ucap Ayah memperkenalkan Zein kepada Alya.

Sontak Alya sangat kaget. Berarti rencana lamaran yang ia sangka cuma bohongan untuk memisahkan dirinya dengan Dimas ternyata benar adanya. Sekarang di depannya tak lain adalah calon tunangannya.

"Tapi-"

Ayah menepuk pelan punggung Alya sambil berucap, "Zein ingin mengajak kamu pergi. Ada sesuatu yang ingin ia bicarakan untuk acara lamaran besok!"

Alya menunduk, hatinya hancur. Kedua matanya sembab seperti ingin menangis. Ia berbalik ke kamar, entah untuk berganti baju atau menumpahkan kesedihannya.

🌿🌿🌿🌿

Zein sekarang sedang berdua di dalam mobil bersama Alya-calon tunangannya. Sudah hampir setengah perjalanan mereka saling berdiam diri, tepatnya saling membuang tatapan mereka masing-masing.

Alya merogoh ponsel untuk menghubungi Dimas agar bisa membantu dirinya saat ini. Namun sayang, ponselnya dari kemarin tidak aktif setelah dia bertemu dengan Ayah.

Mobil Zein menuju parkiran sebuah kafe ternama di kota ini. Suasana kafe terlihat sangat ramai mengingat banyak yang terparkir di sana.

"Turunlah!" perintah Zein dengan dingin dan suara yang datar. Bahkan ia sama sekali tidak menatap ke arah Alya.

Perempuan yang memakai tunik motif bunga dengan kerudung polos warna senada dengan bajunya agak canggung ketika turun dari mobil mewah milik Zein.

Ia berjalan di belakang Zein yang sudah lumayan agak jauh di depan. Meninggalkan dirinya sendirian berjalan. Sampai di dalam kafe terpaksa mata Alya terus mencari sosok Zein yang sudah hilang di depannya.

Alya mencari ujung ke ujung tetapi tidak menemukannya, apalagi suasana pengunjung yang sangat ramai. Hampir lima menit berlalu dia berdiri kebingungan. Seandainya saja ia mempunyai nomor telepon Zein, mungkin akan segera meneleponnya.

Akhirnya ia berniat untuk pergi sambil merutuki sikap Zein yang mengacuhkan bahkan meninggalkan begitu saja.

"Laki-laki macam apa yang meninggalkan seorang perempuan sendirian?" umpat Alya dalam hati.

Ia melangkah menuju pintu keluar tetapi salah satu pergelangan tangannya ditahan oleh seseorang. Pandangan Alya langsung tertuju pada pergelangan tangan miliknya yang tengah digenggam sebuah tangan kekar.

Mata Alya langsung naik melihat wajah laki-laki yang posisinya sekarang lumayan dekat dengan dirinya.

"Meja sebelah ujung!" perintahnya masih dengan suara datar dan tanpa senyuman sama sekali.

Alya melihat pergelangan tangannya kembali dan langsung menghentakkan tangannya agar tangan Zein dapat terlepas.

Keduanya kembali membisu sambil melangkah meja paling ujung. Zein langsung mengambil tempat duduk berhadapan langsung dengan Alya yang tengah duduk sambil memalingkan wajahnya.

Tak lama pelayan datang membawa sebuah minuman dan makanan yang sudah dipesan Zein terlebih dahulu saat masuk di kafe ini.

Alya menyeruput lemon tea yang menyegarkan tenggorokannya yang kering. Ia sama sekali tak berniat makan dengan seseorang yang ada di hadapannya.

"Al, kenapa kamu mau menerima perjodohan ini?" tanya Zein dengan wajah yang sangat serius. Jika sedari tadi ia sama sekali tidak menatap lawan bicaranya, sekarang ia bisa memperhatikan wajah Alya secara detail.

"Ayah yang menerima, bukan saya," jawab Alya dengan ketus. Ia memberikan sorot matanya yang tajam kepada laki-laki yang tengah menatapnya.

"Saya juga sebenarnya tidak menginginkan perjodohannya ini terjadi. Sejak Papah pertama kali membicarakan ini saya sudah mentah-mentah menolaknya, tetapi sayang keputusan sudah tidak dapat diganggu gugat. Sejak itu sebelum melihat kamu, saya sudah sangat membenci kamu!" ucap Zein dengan panjang lebar sehingga membuat Alya sangat kaget.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro