Bab 7 Penyesalan?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Penyesalan tidak langsung datang saat membuat keputusan, tapi saat semua itu telah terjadi

*****

Semarang, 1 Januari 2018

Bagi Raja waktu selalu malam hari. Diantara dua puluh empat jam dalam sehari, baginya malam adalah hari dimana ia bisa menikmati hidupnya. Ia hanya berharap, dunia terus malam tanpa adanya pagi, siang dan sore hari. Tapi, semenjak SMP Raja tak lagi menyukai malam. Baginya, malam adalah waktu terburuknya.

Jam dinding tepat menunjukkan pukul setengah dua belas malam dengan mata yang masih terbuka dan duduk di atas kasur. Terdengar suara langkah kaki menuju pintu kamarnya. Lalu, Raja segera berlari ke arah pintu dan menguncinya. Raja sesekali menghela napas, ia benci pada orangtuanya yang menganggap Raja berlebihan hanya untuk popularitasnya.

"RAJA! CEPAT!" bentak Hanin di balik pintu kamar dengan menggedor-gedor pintu.

Tak ada jawaban dari Raja. Ia hanya duduk di balik pintunya sembari menahan gedoran keras dari arah belakangnya.

"Cepat Bu, ini sudah terlambat," teriak Reza sembari menghampiri Hanin.

"RAJA! APA KAU TAK PUNYA JAM?" Reza yang mulai emosi menggedor pintu dengan keras membuat Raja tersontak kaget dan berdiri.

"JIKA KAU TIDAK MAU IKUT, KAU BUKAN ANAK KAMI LAGI. BRENGSEK!" Perkataan Reza membuat Raja terduduk lemas. Ia merasa takut. Tangannya mulai memegang knop pintu berwarna coklat yang ingin membukanya. Namun, hatinya seakan berkata jangan. Situasi ini membuat jantungnya berdebar kencang karena rasa cemas. Karena terlalu lama memilih emosi Reza benar-benar memuncak.

"AH, ANAK SIALAN!"

"Sudah-sudah, Raja ayo sayang. Jika kamu tidak ikut, kita nanti harus bicara bagaimana?"

"Busuk" batin Raja dengan rasa cemas.

Raja menatap pintu berwarna coklat itu dengan tangan yang memasang earphone di kedua telinganya dan menyetel lagu yang ia tekan. Ketenangan yang kini ia butuhkan. Ia duduk di lantai dengan mendekap lutut dengan kedua tangannya. Walau hatinya gelisah, tapi ia tetap yakin akan pilihannya.

"RAJA!" Hanin terus berteriak tanpa henti dengan nada yang kesal.

"Sudahlah, ayo pergi kita cari alasan saja nanti. Liat saja kau brengsek!" Raja sedikit merasa lega ketika langkah kaki itu pergi menjauh.

Sunyi yang kini menjadi suasana favoritnya. Kesendirian yang bahkan menjadi lingkaran tak sempurna hidupnya. Namun, ia berusaha untuk membuat lingkaran yang sempurna dalam hidupnya.

Tiga puluh menit setelah kepergian mereka, Raja tidak merubah posisinya. Hanya menatap kosong pada pintu dan pikirannya yang merasa lelah.

Drrrrr

Ponselnya bergetar dan nada dering dari ponsel membuat ia tersentak kaget. Segera ia cabut earphone ditelinganya dengan cepat. Lalu, menatap layar ponselnya. Nomor yang tidak dikenal membuat Raja enggan mengangkatnya. Segera ia tolak dengan cepat. Namun, nomor itu terus menelepon dan mengganggu. Akhirnya Raja pasrah dan mengangkatnya.

"Halo?" Raja segera memasang kembali earphone ketika ia mendengar sebuah suara dari lubang earphone sembari beranjak pergi ke kasurnya.

Langkahnya terhenti mendengar sebuah kalimat demi kalimat yang diucapkan dari penelepon. Matanya terbelalak tak percaya. Dadanya sedikit terasa sesak. Tangannya mulai memegang dada dengan keras. Nafasnya mulai tak beraturan, ada rasa amarah dan sedih yang menyelimuti dirinya. Namun begitu, Raja tak memasang ekspresi sesuai rasanya. Yang ia tunjukkan tetap wajah yang datar sedikit lesu dengan bibir gemetar dan lidahnya terasa kelu.

*****

Raja terbangun dari mimpi buruknya. Mimpi yang selalu menghantui dirinya sejak saat itu. Entah karena masih ada rasa bersalah atau ia dipaksa untuk merasa bersalah. Yang pasti, ia selalu menerima hal buruk darinya jika tidak menurutinya.

Napasnya terengah-engah dan keringat dingin mulai turun dari dahinya. Lagi-lagi tepat jam dua belas malam ia merasa gelisah. Dadanya seakan sesak dan segera ia mengambil obat di laci mejanya dan menelannya begitu saja. Obat sesak yang kini ia butuhkan pada saat-saat seperti ini. Setelah merasa lega Raja meminum obat tidur yang biasa ia lakukan setelah meminum obat sesak.

Hatinya mulai kembali tenang dan pandangannya menatap kosong pada vas bunga tulip biru yang berada di atas meja belajarnya. Ketika menatapnya, pikirannya tertuju pada seorang gadis yang ia kenal dulu, Vyosha. Menurutnya dua-duanya adalah simbol ketenangan baginya.

*****

Jakarta, 2 Februari 2016

"Hmm, my baby," ucap Vyo dengan senyum yang lebar dengan meniru gaya Sisi.

"Gimana nih, baguskan akting gue?" Vyo hanya tersenyum dan memandangi semua orang yang berada di kantin sekolahnya.

"Bagus bangett," jawab Melly dengan mengacungkan jempolnya. Semua orang hanya tertawa melihat tingkah centil gadis itu.

"Udah-udah, sekarang adegan ngasih bunga. Mana sih Digonya?" ujar Vyo kesal.

Di tengah suasana ini, tiba-tiba seorang anak lelaki datang dengan membawa bunga tulip berwarna biru.

"Bunga ini sama cantiknya denganmu," katanya sembari memberi bunga itu.

"Lebay banget sih. Lah, kok lo yang jadi Digo?" Vyo kaget dengan kehadiran kakak kelas yang selalu mengganggu dirinya. Ia hanya memandang tajam bunga itu.

"Lo yang lebay. Bukan gue" Raja kaget sendiri dengan perkatannya.

"Apa? Lo kaget lo bilang bahasa gaul?"

"Gara-gara lo si gue jadi bilang lo gue," ucapnya kesal.

"Masih kecil gak boleh pacaran ya. Kalau gitu buat Ibu aja bunganya." Tiba-tiba dari arah berlawanan seorang wanita sekitar berumur tiga puluh tahunan menghampiri mereka dan mengambil bunga tersebut dengan tertawa kecil.

"Apa sih Bu, itu bunga hasil jerih payah saya Bu." Raja menatap kesal pada Ibu penjual itu.

"Yaelah, lagian kalian ngapain si? Masih bocah udah bilang my baby segala," nasihat Ibu penjual dengan menatap Vyo tajam.

"Bu gak usah ikut campur ya," ucap Vyo dengan bibir mengejek.
"Ini hancur gara-gara lo!" lanjut Vyo menatap sinis pada Raja.

*****

Pada akhirnya, Raja hanya bisa tersenyum kecil mengingat kejadian itu. Di pertemuan yang singkat itu Raja mengukir kenangan bersamanya. Ketika sebuah kebetulan menghampiri, ia malah berpura-pura tidak mengenalnya.

Entahlah, diantara dua keputusan ini Raja malah merasa bersalah pada Vyo. Keputusan yang ia buat mungkin belum merasakan apa artinya jawaban yang tepat. Yang jelas, dari keputusannya ini membuat Raja sadar. Terkadang mengambil keputusan itu sangat sulit. Memilih diantara mana yang harus ia lakukan.

Di sisi lain, terkadang Raja menyesal pada orangtuanya. Menyalahkan diri sendiri, merasa di titik paling rendah, menyerah dengan keadaan, tidak percaya diri bahkan merasa paling buruk.

"Entahlah, gue gak tahu!"

To Be Continued

Gimana guys untuk bab ini?

Semoga suka :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro