24. Kau Hamil?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 24 Kau Hamil?

Menemukan Cavelah yang tiba-tiba menerobos masuk kamar mandi di tengah air hangat yang mengguyurnya bukanlah hal yang mengejutkan bagi Lily. Pria itu melucuti pakaian dan bergabung bersamanya. Menangkap tubuhnya dengan gerakan yang ringan untuk mendaratkan ciuman di bibir.

"Kau di sini," bisik pria itu di tengah lumatan bibir.

"Ya, aku masih istrimu." Tubuh Lily didorong ke dinding. Tak ada penolakan yang ia berikan, ia tahu pria itu menginginkannya. Dengan cara yang menggebu. Tatapan Cave menelanjanginya dan napas pria itu menerpa seluruh permukaan wajahnya yang basah.

Cave terkekeh, akan tetap menjadi istrinya, batinnya mengoreksi. Satu lumatan menyapu bibir Lily, lalu merambat di rahang, mendongakkan wajah wanita itu dan bermain-main di belakang telinga. Satu erangan lolos dari celah bibir Lily membuatnya semakin berhasrat. Meluapkan kerinduan pada tubuh wanita itu.

"Aku merindukanmu," bisik Cave. Menekan bibirnya di kulit wanita itu. Menarik napas dalam-dalam dan membiarkan aroma tubuh Lily mengendap di paru-parunya. Memenuhi dadanya dan lebih dari cukup untuk membuatnya merasa lengkap.

Bibirnya Cave kembali menangkap bibir Lily, memperdalam ciumannya yang semakin memanas. Bersama hasrat yang terbakar di dalam dirinya. Mengangkat tubuh Lily dan melingkarkan kaki itu di pinggangnya ketika menyatukan tubuh mereka. Bergerak menemukan puncak kenikmatan mereka. Meluapkan kerinduan selama seminggu lebih ini.

***

Lily membungkus tubuhnya dengan jubah mandi begitu keluar dari bilik shower. Mengikat tali di pinggangnya saat bergabung dengan Cave di ruang ganti. Tak ada sepatah kata pun yang diucapkan pria itu. Tak juga mempertanyakan keberadaannya. Tapi pria itu memang tak terlalu peduli dengan kedatangannya, kan. Hanya sebagai tambahan kesenangan.

Cave keluar saat pintu kamar mereka diketuk. Monica membawakan tas pria itu yang tertinggal di mobil dan ponsel yang terus bergetar. "Sepertinya panggilan penting."

Cave menjawab panggilan tersebut. "Ya, Ronan?"

Pandangan Lily sempat bertatapan dengan Monica sebelum menutup pintu ruang ganti. Dan ketika selesai berpakaian, Cave dan Monica sudah meninggalkan kamar. Lily mengeringkan rambutnya, selesai tepat ketika pelayan memanggilnya untuk menemui Zion di bawah sebelum bergabung di meja makan.

Lily terdiam. Sejak menikah, ini ketiga kalinya Zion ingin bicara dengannya. Menawarkan pekerjaan di galeri dan ia menolaknya. Apakah ini tentang keturunan keluarga ini atau ...

Skandal ...

Lily menatap beberapa lembar fotonya dan Barron. Dalam berbagai kesempatan, bahkan ketika Barron menjemputnya di bandara tadi siang, gambar itu sudah ada di antara lembaran-lembaran yang tertumpuk di hadapannya.

"Saya bekerja di Izzan, sebagai salah satu orang kepercayaan Barron Izzan. Gosip semacam ini hanya untuk orang-orang yang putus asa dan frustrasi karena tak mendapatkan apa yang diinginkan dari saya, Kakek." Lily menjawab dengan penuh ketenangan dan kepercayaan diri yang sempat membuat Zion terpaku.

"Kau membantunya mengambil alih Carim Corporation."

"Kami berasal dari panti asuhan yang sama. Keluarga angkatnya menyayangi saya, menopang seluruh biaya kehidupan dan sekolah saya. Sangat tak tahu diri jika saya tak membantu Barron Izzan untuk mengembangkan perusahaan."

Zion terdiam. Saat cucunya datang dan menginginkan persetujuan untuk menikahi wanita pilihan sang cucu, ia tak pernah mempermasalahkan asal usul dan mempercayakan semuanya pada Cave yang sudah dewasa.

"Dan memang ya, kami pernah menjalin hubungan. Tak serius. Ketika SMA. Kami selalu bersama. Ke manapun dan kapan pun. Dan teman-teman kami suka ikut campur urusan yang bukan urusan mereka. Jadi hanya untuk menyelesaikan masalah yang tak perlu. Agar lebih fokus mendapatkan nilai yang terbaik. Barron Izzan sudah seperti kakak dan saudara yang tidak saya miliki."

Sekali lagi Zion menatap cucu menantunya. Tampak puas dengan jawaban yang diberikan. "Kau tak ingin mempertimbangkan tentang galeri?"

"Saya mendengar ada beberapa kendala dengan pelukis Zhang Xu. Tapi sepertinya itu bukan ranah saya untuk mencari tahu yang kebenarannya. Mama sudah memegangnya sejak galeri itu dibangun."

"Dia salah satu klien eksklusif CC."

Lily mengangguk. "Pewaris Zhang Cosmetic."

"Kudengar kau menemuinya secara pribadi. Dia bahkan tak pernah muncul di hadapan publik."

"Tak pernah melewatkan pesta yang menarik. Hanya beberapa orang tak mengenalinya."

"Benarkah?"

"Saya pernah berjumpa beliau dalam beberapa kesempatan."

Zion sedikit memajukan tubuhnya. Dengan ketertarikan yang semakin intens. "Apakah hanya dia orang-orang eksklusif yang kau kenal?"

"Beberapa."

"Beritahu lebih banyak."

***

Elva baru saja keluar dari kamar utama ketika melihat Lily dan Zion yang keluar dari ruang kerja. Interaksi yang terlihat membuat wanita itu berhenti, menyamarkan tubuhnya di antara lemari hias yang digunakan untuk sekat ruang keluarga dan ruang tengah. Mempertajam pendengarannya ketika dua orang itu berjalan menuju ruang makan.

"Ya, nenek Cave menyukai semua karya-karyanya."

"Jika kakek bersedia, saya akan mengundangnya ke rumah ini."

"Ya tentu saja."

"Saya akan mencoba menghubungi beliau."

Kedua alis Elva bertaut. Mencoba menerka pembicaraan di antara mereka. Wajahnya mengeras, entah akal-akalan apa yang digunakan wanita itu hingga membuat mertuanya tersenyum.

"Mama?" Langkah Lily berhenti, menyapa sang mertua dengan senyum yang lebar.

Elva tak punya pilihan selain memaksa seulas senyum di wajahnya untuk membalas sapaan tersebut. Ketiganya bergabung di meja makan, Cave dan Kruz tak lama kemudian menyusul.

"Kakek Zion, lusa kakek Thomas akan mengunjungi Monica di sini."

"Thomas?"

"Tapi Monica tahu itu hanya alasan kakek untuk bertemu dengan kakek Zion."

Zion terkekeh. "Bagaimana kabarnya?"

"Cukup sehat untuk melakukan perjalanan udara. Meski mengeluhkan tongkatnya yang sering patah dan cemburu pada kakek yang masih mengurus semua hal."

Zion terkekeh. "Dia selalu mengeluhkan semua hal."

"Kakek benar." Monica tertawa, lalu beralih pada Cave. "Ah, Cave. Kakek juga kirim salam untukmu."

Cave memutar wajahnya ke samping. Posisi Lily yang duduk di antara dirinya dan Monica membuatnya tak bisa mengabaikan kesibukan Lily pada ponsel di pangkuan. Jemari wanita itu dengan lincah mengetik balasan pesan pada Barron.

***

Selesai makan malam, Lily langsung naik ke kamar, berniat menyiapkan bahan-bahan untuk pertemuan besok. Pintu kamarnya diketuk satu kali dan Elva berjalan masuk. Mengambil tempat di sofa. Lily yang berdiri di samping meja menatap berkas yang baru saja diletakkan sang mertua.

"Apa ini?"

"Berkas perceraian."

Lily melirik tak tertarik. Tak berpikir semuanya akan semudah ini. Ia pun mengambil tempat duduk di seberang meja. "Ehm, sudah enam bulan," gumamnya sembarai membuka lembaran tersebut. Tak ada tanda tangan Cave di sana.

"Cave akan menyusul." Elva mendekatkan pena ke tangan Lily. "Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan."

"Mendapatkan hakku kembali," koreksi Lily. "Dan akan segera mengembalikan semua pada tempatnya, tante."

Raut Elva membeku. "Apa yang kau bicarakan dengan pimpinan?"

"Kakek?" Lily tersenyum. Mengambil pen dan memain-mainkan benda itu di antara sela jarinya. Wajahnya masih mengarah lurus pada sang mertua, tetapi ujung matanya melirik pada berkas yang terbuka. Senyumnya berubah sedih. "Aku tak tega jika harus memberitahu beliau tentang hal ini."

"Kesepakatan apa yang kau katakan padanya?" desis Elva.

"Hanya perbincangan yang menghibur."

Wajah Elva mengeras. Tetapi segera menenangkan diri.

"Apa yang nenek lakukan malam itu?"

Kepucatan merebak di seluruh permukaan wajah Elva.

Lily tertawa kecil, memegang penanya dengan baik lalu sedikit membungkukkan punggungnya ketika meletakkan ujung pena di atas namanya. "Bukankah lebih baik mengawasi saya dari dekat? Untuk membungkam semuanya?"

"Apa yang kau katakan?" Bibir Elva menipis demi menahan getar dalam suaranya.

Lily menggeleng. Jemarinya sudah menggoreskan di atas lembaran tersebut ketika tiba-tiba pintu kamar didobrak dan Cave menghambur masuk. Dengan ponsel yang masih dalam genggamannya. "Kau hamil?"





















Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro