Page 10 : Merindukanmu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi-pagi sekali aku sudah berangkat sekolah. Bel masih tiga puluh menit lagi. Dengan keadaan tangan yang masih dibalut perban aku tidak apa-apa. Tak ada yang sakit. Mungkin saatnya untuk buka perban. Pelan-pelan kutarik, akhirnya lepas juga. Aneh, tidak ada bekas darah sama sekali. Begitu bersih. Tapi bau. Langsung kubuang perban itu, terus aku cuci tangan.

Tanganku ada bekas luka yang unik. Bentukknya hati(love). Baru kali ini aku melihatnya. Memang aneh. Barangkali juga kebetulan. Akan kutunjukkan kepada Paman Suryo.

"Pagi, Paman! Sedang apa?"

"Oh, Reni rupanya! Aku baru membersihkan sebelah sana. Awal sekali kamu datang. Bel masih tiga puluh menit lagi loh. Kamu sudah sembuh ya?"

"Iya, tanganku juga. Lihatlah!"

"Apa ini? Kenapa bekas lukanya berbentuk hati? Ini aneh sekali."

"Entahlah, aku juga tidak tahu. Perbannya baru kulepas."

"Mungkin ini sebuah anugerah. Anugerah cinta." Bisiknya.

"Ah, Paman ini bisa saja!"

"Kamu keponakanku yang paling cantik. Sungguh. Banyak yang naksir kan."

"Paman ada-ada saja. Teko ini mau dipanaskan kan. Biar aku yang menyapu halaman. Nanti buatkan teh lagi ya, Paman."

"Tentu."

Paman terlihat sangat senang. Aku tidak mau membuatnya bersedih lagi seperti kemarin. Tentu aku tidak akan berhenti membantu. Beliau orang yang baik.

Pagi-pagi begini biasanya ada latihan pagi tim sepakbola. Tapi kok belum datang juga. Padahal beberapa hari lagi akan ada pertandingan final. Mereka harus berlatih lebih giat lagi. Suara gemuruh sepatu mengingatkanku kalau mereka sudah datang.

"Satu-dua-tiga! Satu-dua-tiga!..."

Kulihat David memimpin. Pasti dia tidak akan mempedulikan aku lagi. Biarlah, aku juga tidak peduli dengan dia. Memang aku tidak punya kelebihan apa-apa. Hanya ini yang bisa kulakukan. Aku tidak seperti Clara. Tapi aku tak suka dengan kesombongannya.

"Sudah sembuh kau rupanya. Pura-pura mati supaya diperhatikan David. Asal kau tahu, David itu milikku." Sindirnya.

"Memangnya David mau menyukai orang sepertimu?" Aku tak mau kalah.

"Itu lebih baik. Daripada kau, anak yang memalukan dan bodoh. Setiap hari datang ke sekolah hanya untuk menyapu."

"Terserah aku dong!"

Clara langsung menghampiri David yang baru selesai latihan. Seperti biasa, dia memberikan sebotol air dan handuk untuknya.

"Sepertinya kau lelah sekali."

"Aku memang lelah."

"Sampai kapan kau akan main sepakbola?"

"Mungkin sampai pertandingan final berakhir. Tapi sebenarnya aku tidak ingin berhenti."

"Sudah waktunya untuk mempersiapkan ujian nasional. Biarpun juara kelas, belum tentu bisa lulus."

Satu kehormatan. Clara merangkul tangan David. Mereka saling memandang.

"Aku tidak ingin kau gagal. Aku ingin kita bisa masuk SMA yang sama."

Dalam sekejap David menatapku. Tiada senyum yang terukir dari wajahnya. Tak ada sepatah katapun darinya. Biasanya dia memberikan senyuman untukku, dan bilang, "Selamat pagi, Reni! Kamu rajin sekali. Setiap pagi sibuk ya?". Sekarang tidak lagi. Dia langsung pergi tanpa permisi. Pura-pura tidak mengenalku.

Pada saat jam istirahat, aku bertemu Paman Suryo.

"Hai, Paman! Aku haus nih."

"Ini ada teh untukmu. Harum kan."

"Terima kasih, Paman."

Kuminum teh itu. Aku memandang ke jendela. Tidak ada David. Biasanya dia ke sini, ribut dengan Paman.

"Hmm... Sepertinya teh-nya enak. Paman, aku minta dong!"

"Apa? Teh katamu? Di sini tidak ada teh untukmu. Seenaknya saja minta-minta. Aku tahu maksudmu datang ke sini. Pergilah!"

"Ah, Paman pelit!"

Masih kuingat kejadian itu. Karena Paman tidak mau ada siapapun yang mengganggu acara minum teh kami. Tapi Paman bilang, ada maksud yang tersembunyi darinya. Apa itu?

"Reni kok melamun. Lihat apa?"

"Tidak apa-apa, Paman."

"David kok tidak ke sini ya. Biasanya dia..." "Entahlah, aku juga tidak tahu. Mungkin sedang sibuk."

"Benar juga. Dia kan orang penting."

Semakin lama aku memandang, tidak ada David yang lewat. Clara juga. Sedang rapat kah?

"Ayo, David! Cepatlah, nanti kita terlambat!"

"Iya. Daaah, Reni!"

Sungguh aku tidak bisa melupakan dia. David selalu muncul dalam pikiranku. Kenapa seperti ini? Apakah karena aku menyukainya? Padahal aku bukanlah siapa-siapa. Sejak pertama kali datang ke sekolah ini. Setelah aku kehilangan buku cerita Pangeran Bill.

"Aku telah menemukan Pangeran Bill-ku!"

"Pangeran Bill?"

"Oh.. Umm... Ti-tidak apa-apa. M-maaf."

Saat itulah aku pertama kali melihat wajahnya yang tampan. Benar-benar tidak bisa dilupakan. Tidak-tidak-tidak! Jangan ingat dia lagi! Lupakan! Lupakan! Oh, tidak! Aku masih mengingatnya. David tak bisa hilang dalam pikiranku.

Malam ini aku tidak bisa tidur. Semalaman memikirkan David. Rasanya aku ingin dekat dengannya. Bagaimana caranya agar peristiwa buruk itu terlupakan? Pertandingan final semakin dekat. Hampir setiap hari mereka latihan. Begitu juga David. Semakin sibuk dengan urusannya sendiri. Clara juga ikut-ikutan. Kali ini dia tidak pesan kueku. Sudah tahu kalau kue buatanku adalah kue terlezat yang pernah dia makan. Pakai rayuan segala lagi.

Pertandingan final tiba. Waktupun panjang. Aku tidak peduli mereka mau menang atau kalah. Mataku tak tahan memandang semua ini. Ketika aku akan pergi meninggalkan stadion, terdengar sorakan gemuruh dari para penonton. Mereka tergila-gila dengan pertandingan ini.

Memang tim sepakbola sekolahku banyak penggemarnya. Kaptennya ganteng, berbadan kekar atletis, juga pandai dalam permainan. Manajernya juga cantik. Tidak salah pak pelatih memilih mereka. Kedua anak berbakat itu sering disanjung-sanjung. Menjadi idola setiap orang.

Aku tidak bisa seperti mereka. Aku adalah orang yang lemah dan bodoh.

"Memalukan! Apa untungnya mencari perhatian penjaga sekolah?"

Aku hanya ingin membantu Paman. Hanya ini... Hanya ini... Hanya ini yang dapat aku lakukan. Saat ini aku hanya ingin bersedih.

Sekarang mereka dapat berbahagia. Pertandingan final telah berakhir. Piala kemenangan ada di tangannya. Mereka semua bergembira. Sedangkan aku, tidak.

Beberapa hari setelah pertandingan itu.

"Bagaimana denganmu?"

"Apanya?"

"Lho, kamu lupa ya, David! Kapan kamu akan berhenti main sepakbola?"

"Tidak, tidak akan berhenti. Tapi mungkin kali ini aku akan memikirkan soal ujian nasional dulu."

"Benarkah? Wah, aku senang sekali!"

David dan Clara sedang duduk di bangku taman. David melirik ke arah Paman Suryo. Kemudian dia langsung berlari menghampiri. Clara ditinggal pergi.

"Hai, Paman! Lihat deh, keren kan!"

"Oh, gelang itu! Bagus sih. Kau beli di mana?"

"Di toko suvenir dong, Paman. Masa' di toko bangunan."

"Iya ya. Barang seperti itu kan adanya di toko suvenir. Kau mau minum teh?"

"Tidak, terima kasih."

David melihat ke arah yang berbeda. Serius sekali. Aku pura-pura tidak melihatnya. Tapi aku tahu. Yang dia lirik itu aku.

"Hai, Reni! Tatomu bagus. Lebih bagus lagi kalau warna-warni."

Ah, David! Ternyata dia memang memperhatikan aku. Apa Paman akan mencegah dia lagi?

"Tato? Itu bukan tato tahu. Itu adalah bekas luka. Anugerah cinta." Bisik Paman kepada David.

"Maaf, aku tidak tahu."

Tiba-tiba David membuka pintu. Ingin masuk. Bosan terus-terusan melirik lewat jendela.

"E...e...e.... Mau apa kau?"

"Mau masuk."

"Jangan-jangan! Tidak boleh! Aku tahu maksudmu datang ke sini. Seperti biasa."

"Bukan. Maksudku... "

"Pergilah!"

Paman membentak keras sekali. David pun ketakutan dan langsung pergi. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro