Page 8 : Negeri Dongeng : Vetophia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tubuhku rebah di lantai kelas. Tanganku berceceran darah hingga mengenai buku ceritaku. David berusaha membangunkan aku.

"Ren, bangun, bangun! Bangun Ren! Oh, tidak! Tangannya berdarah. Dia menggenggam cermin itu sampai pecah. Detak jantungnya juga lemah sekali. Ayo bantu dia, Ra!"

"Aku tidak sudi membantu dia. Kalau mau mengurusnya, urus saja sendiri."

"Tega sekali kau, Clara. Kalau dia mati bagaimana?"

David masih berusaha membangunkan aku. Siswa-siswi lain mengerubung. Mereka menawarkan bantuan. Tapi David hanya ingin dia sendiri yang menggendongku. Entahlah, mau dibawa ke mana tubuhku itu.

Setelah pintu gerbang terbuka, sesuatu menjadi gelap gulita. Tidak terlihat apapun di sana. Barangkali mati lampu. Bulu kudukku mulai berdiri. Udara terasa dingin sekali. Tubuhku tidak bisa bergerak. Aku berteriak.

"Pintu gerbang, apa yang terjadi?"

"Jangan tanya lagi!"

"Apa yang kau lakukan padaku?"

"Jangan tanya lagi!"

"Di mana ini?"

"Jangan tanya lagi!"

"Kenapa kamu selalu bilang begitu?"

"Aku kan sudah bilang jangan tanya lagi! Apapun yang terjadi, kau tetap diam."

"Tapi... "

"Tidak ada tapi-tapian. Katanya mau dengar cerita. Pasang indera pendengaranmu. Dengarkan aku baik-baik."

Suaranya terdengar lirih. Namun aku bisa mendengar suaranya walaupun samar. Dia menceritakan cerita Pangeran Bill dari awal. Hampir sampai ke cerita yang paling aku nantikan.

"Berkali-kali Pangeran Bill mencari akal untuk menuju ke atas menara. Tadinya Pangeran menggunakan otak kancil untuk menipu buaya-buaya itu. Tetapi mustahil untuk memanjat dinding menara. Sangat licin sekali. Kalau melemparkan tali ke pintu juga tidak bisa. Terlalu jauh. Akhirnya dia menemukan ide. Sapu terbang bisa mengantarnya menuju atas menara. Dia sangat berhati-hati dengan pohon pengait yang berhampiran dengan menara itu. Ranting pohon yang lentur nyaris menarik dirinya. Dan Pangeran pun sampai." Cerita dari pintu gerbang berhenti.

Tiba-tiba aku melihat cahaya mendekat. Menerangi sebuah pintu di depanku. Mirip pintu penjara. Ada seseorang yang mendekat. Dia berusaha membuka pintu tapi terkunci. Dari wajahnya aku kenal. Dia adalah Pangeran Bill.

"Tenanglah, Lily! Aku akan segera menolongmu."

Lily? Apakah di cerita ini aku berperan sebagai Putri Lily? Pantas saja pintu gerbang tidak mau memberi tahu aku. Rupanya aku menjadi salah satu tokoh dalam cerita dongeng ini. Ini adalah akibat aku memiliki buku misterius ini.

Pintu gerbang melanjutkan ceritanya.

"Pangeran Bill menuju ke bawah dan terus ke bawah. Perjalanan menuruni tangga cukup panjang dan melelahkan. Di antara puluhan pintu, ada satu pintu yang bergambar tengkorak. Ternyata itulah tempat disembunyikan bola arwah. Pangeran masuk. Tiada siapapun di sana kecuali burung hantu mati yang sedang bertengger. Di meja nampak ada sesuatu yang berwarna kemerah-merahan, bulat kecil. Itulah bola arwah. Pangeran Bill mengambilnya. Bola itu dibanting tidak pecah, ditusuk pedang tidak retak, dilempar ke dinding tidak pecah, dipotong pedang apalagi. Usahanya sia-sia. Bola itu tidak retak sedikit pun.

Sementara itu, Raja Veto hampir kalah. Duel kedua penyihir hebat itu berlangsung sengit. Anehnya nenek sihir juga tidak terluka sedikit pun. Nyawanya hanya ada di tangan bola arwah.

Demi mencapai kemenangan ini, Pangeran Bill meminta bantuan peri bintang.

'Wahai Peri Bintang! Tolonglah aku, ibuku, ayahku, semua keluargaku, serta seluruh rakyat di kerajaan Vetophia. Kami nyaris tak bisa berkutik. Bahaya telah datang kepada kami. Kumohon, beri tahu aku cara memusnahkan nenek sihir! Bagaimana cara melenyapkan bola arwah ini?'

'Hanya dengan genggaman Putri Lily, bola arwah dapat dilenyapkan.' "

"Apa? Aku?" Aku heran mendengar perkataan peri bintang tadi.

"Hai, Pintu gerbang! Kenapa aku harus jadi seperti ini?"

"Pokoknya jangan tanya lagi! Dengarkan cerita ini sampai selesai. Sebentar lagi Pangeran Bill akan menuju ke tempat kau berada saat ini. Kau tunggu saja di situ. Aku akan membuka pintunya."

Pintunya terbuka. Hanya cahaya obor yang menerangi kegelapan ini. Aku duduk bersandar dinding. Betapa mengerikan tubuhku. Hanya tulang dan kulit tak berdaging. Seperti orang tua yang hampir meninggal. Tunggu, tunggu, dan terus menunggu. Aku harus tetap di sini.

Tak lama kemudian, Pangeran Bill datang. Dia mendekati aku sambil membawa pelita dan bola arwah.

"Lily, tak kusangka kau jadi seperti ini. Aku akan menolongmu. Kumohon genggamlah bola arwah ini. Ayo, remukkan, genggam yang kuat!"

"Tapi aku tidak bisa. Tubuhku lemah tak berdaya."

"Aku yakin kau pasti bisa. Ini demi kita semua."

Aku menggenggam bola arwah itu. Terasa ringan sekali. Lalu terjadilah retakan-retakan. Bola itu langsung berubah menjadi ungu kehitaman. Ada cahaya keluar dari dalamnya menjauh pergi.

"Ke manakah cahaya itu pergi?" Aku bertanya pada pintu gerbang.

"Ke tempat pertarungan dua penyihir itu. Cahaya yang tadi keluar dari bola arwah masuk ke dalam tubuh nenek sihir. Dia terbakar menjadi abu. Selamatlah nyawa Raja Veto dan Ratu Anna. Sekarang cahaya itu berubah menjadi putih. Ia akan menuju ke arahmu."

Benar yang dikatakan oleh pintu gerbang. Cahaya dari bola arwah telah kembali. Cahayanya memutari tubuhku. Pangeran melangkah mundur. Kini aku dapat berdiri. Cahaya mulai menyebar ke seluruh tubuhku. Aku seperti ditutup sesuatu yang hangat. Lama kelamaan cahaya itu menghilang.

Wow, bajuku cantik sekali! Seperti gaun Cinderella. Sepatunya dari kaca berkilauan. Baru pertama kali aku mengalami hal pelik seperti ini. Betapa cantiknya diriku!

"Lily, kau telah kembali seperti semula. Tak kusangka ternyata kau cantik sekali. Kuharap suatu saat nanti kau akan mendampingi hidupku. Mari kita keluar bersama-sama dari tempat ini"

Sementara itu, tubuhku yang asli terbaring di rumah sakit. Semua orang mengkhawatirkan aku. Terlebih lagi ibu. Mereka masih menunggu keputusan dokter. Sejak tadi memang aku belum sadar. Apalagi detak jantungku semakin lemah.

"Bagaimana ini, Dokter? Apakah anak saya bisa diselamatkan?"

"Ibu tenang saja. Kami akan berusaha menangani."

Aku dan Pangeran Bill keluar dari menara menggunakan sapu terbang. Halaman menara yang tadinya terlihat menyeramkan, berubah menjadi pepohonan hijau yang rimbun. Kami mendarat di rerumputan.

"Bagaimana menurutmu?"

"Tempat ini luar biasa!" Aku berlari-lari kecil mengelilingi menara itu.

"Tentu dunia ini selalu indah bila aku bersamamu. Tahukah kau, Lily? Aku sangat mencintaimu. Sekarang, tatap mataku."

Aku menurut saja apa yang dikatakan Pangeran. Kutatap matanya. Tiba-tiba dia memeluk tubuhku dengan erat. Lalu membisikkan kata-kata di telingaku.

"Sekarang aku aku akan menciummu, agar kau terbangun dalam mimpimu, di luka hati dan luka tanganmu."

Inilah saat-saat yang paling memalukan. Kupejamkan mataku. Aku tidak mengerti, apa maksud perkataannya itu?

"Jantungnya sudah kembali normal."

"Jadi, bagaimana?"

"Kita akan memindahkan pasien ini ke ruang rawatan biasa."

Para dokter dan perawat mulai membereskan semuanya. Dokter memakai jas putih. Keluar dari ruangan itu dengan mendorong katil menuju ruang yang sesuai. Sedangkan keluarga yang lain sedang menunggu. Tangis dan haru terdengar serempak. Aku mendengar suara itu lagi.

"Kau akan terbangun dalam mimpimu, di luka hati dan luka tanganmu."

Kurasakan ada sesuatu yang menempel di bibirku. Mungkinkah Pangeran Bill benar-benar menciumku? Tapi kenapa aku tadi mendengar percakapan dokter dengan perawat, serta suara tangisan itu? Udara di sini pun sangat segar.

Tanpa kusadari, ternyata ada segelas air yang sedang kuminum. Aku sudah bangun. Kulihat ada Paman Suryo, ibu, dan ayah yang ternyata baru pulang dari kota.

"Ibu, aku di rumah sakit ya?"

"Iya, Reni. Syukurlah kau selamat. Ibu sangat mengkhawatirkan keadaanmu."

"Ayah juga baru pulang dari kota?"

"Iya, Nak. Karena kau sakit, jadi ayah memutuskan untuk pulang."

"Lalu, apa sebenarnya yang terjadi padaku? Kenapa tanganku diperban?"

"Tadi David menolongmu. Katanya kau berebut cermin dengan Clara. Kemudian kau pingsan dan tanganmu berdarah. Sewaktu dibawa ke sini, darahnya banyak keluar dari tanganmu. Apalagi detak jantungmu semakin lemah. Kami mengira kau akan.... mati." Kata Paman menjelaskan.

"Di mana dia sekarang?"

"Tadi dia sudah pergi. Dia mengira kau memang akan mati."

"Seenaknya dia bilang begitu! Orang yang tak punya perasaan. Mirip dengan Clara. Pasti mereka sedang berkencan. Temannya sakit malah ditinggal pergi. Memang aku ini orang yang bodoh. Bisanya cuma menangis, ketiban malu, marah-marah. Tapi sesungguhnya aku punya harga diri. Sebenarnya tanganku tidak terasa sakit. Dari tadi aku hanya tertidur, bukannya kritis. Aku kecewa sekali. Aku tidak sakit! Aku tidak sakit! Aku mau pergi! Aku tak mau menderita di sini!" Aku mulai berteriak-teriak macam orang kerasukan.

"Tenanglah, Nak! Baiklah, kami akan segera membawamu pulang."

Pada saat itu aku merasa marah sekali. Aku tidak bisa mengendalikan perasaanku. David, orang yang tadinya aku sukai justru membuatku makin kecewa. Kalimat yang diucapkan oleh Pangeran Bill benar-benar menjadi kenyataan pada diriku. Tanganku terluka, hatiku juga terluka. Perih sekali rasanya. Sulit untuk dilupakan. Cukup sudah aku mengalami kegilaan seperti ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro